aku berlari mengejar bayangan
kian menjauh
bayangan bersama peluh
kesakitan dan luka menganga
aku tak ingin berhenti pada
lubang tempatku dapat tenggelam kelak
sampai kalian bertanya
mengapa di sana hanya ada
risau
hitam
dan pekat.
apa yang ingin kalian
dapatkan?
dari hati yang telah tak
berbentuk ini
apa yang dapat kujelaskan?
pada tanya yang selalu
mengejar
pada saat aku semakin terpuruk
dalam ketidakpastian
hanya cinta dan kerinduan yang
dapat kulukiskan
walau tak harus kumiliki
namun tetap kulukis
dan aku masih mencintai
~
Kintan membaca pesan-pesan
yang bertumpuk di meja kerjanya. Semua menuntut tema cerita yang sama, lebih
ceria. Diletakkannya lagi kertas-kertas kecil itu, lalu duduk memandang keluar
jendela. Semua masih menanyakan hal yang sama, mengapa cerita yang dia sajikan
selalu berbau kelam dan penuh misteri.
"Cerita apa yang bisa
kusajikan agar mereka bisa bahagia?" gumamnya pelan.
Tangannya mulai menari di atas
kertas yang berserakan di meja kaca beningnya. Dia tuliskan bait-bait mengikuti
suara dari dalam hatinya, lalu ditambahkannya rangkaian cerita dari perjalanan
dan masa lalunya pada tiap bait yang ditulisnya. Semua tertuang begitu cepat,
jemarinya menari indah tanpa direncana, lalu berhenti sambil menatap lurus
keluar jendela.
"Bisakah aku seceria yang
mereka inginkan?" Menatap langit-langit, "Aku harus bisa."
Jemarinya kembali dan terus
menari indah di atas kertas, lembar demi lembar, sebelum dituangkannya ke dalam
tombol-tombol aksara pada layar pandai bicara di depannya, lalu terhamparlah
satu cerita baru dalam lembaran yang dia sendiri tak meyakininya. Sambil
tersenyum tipis dibacanya ulang lembaran cerita itu, dan semakin tak yakin
bahwa itu cerita yang dibuatnya. Tak pernah ada cerita menggembirakan dalam
hidupnya. Tak pernah ada senyum bahagia dalam hidupnya, seperti dalam cerita
yang baru saja dibuatnya.
"Kenapa terlihat
hambar?" tanyanya pada diri sendiri.
"Apanya yang
hambar?" tanya Zameel yang sudah berdiri di samping mejanya. Wajahnya
sedikit berkerut membaca judul cerita yang terpampang di layar. "Ini judul
baru?"
"Aku ingin memenuhi
kemauan mereka. Ini, bacalah. Menurutku kurang bagus, makanya aku berikan judul
yang masih kelabu agar tak tampak drastis perubahannya."
Kintan menikmati kopinya
sambil menunggu Zameel membaca cerita terbaru yang telah selesai dibuatnya. Dia
nyalakan kretek sambil matanya mengawasi dengan cermat ekspresi wajah temannya
saat membaca cerita itu.
"Aku setuju. Bagus ini,
bagus banget. Warnanya lain, tapi biar nggak terlihat drastis perubahannya,
judulnya masih kelabu."
"Adakah bagian yang harus
aku edit lagi?"
"Jangan. Jangan diedit
lagi. Itu sudah pas."
Kintan membaca sekali lagi
naskah yang selesai dibaca Zameel, lalu menambahkan sedikit dialog untuk
memoles sebuah cerita kelam menjadi lebih ceria. Disembunyikannya kekelaman
dengan warna-warna baru, dan tiba-tiba hatinya juga ikut tersenyum. Hal yang
tak pernah dilakukannya entah untuk berapa lama.
*
”Terpasung," gumam Fero,
membuyarkan lamunan Kintan. Lelaki itu mengelus dagunya yang tak berbulu sambil
mengernyitkan dahinya yang memang sudah berlipat.
Kintan hanya melirik sekilas
tak hendak menjawab. Diraihnya lagi lamunannya yang hampir buyar.
"Kamu yakin dengan judul
ini?" Kembali Fero membuyarkan lamunan Kintan dengan pertanyaan yang tak
pernah berbeda tiap kali keduanya membahas judul film yang akan mereka garap.
Kembali Kintan hanya menatap
sekilas.
"Coba, bisa nggak, cari
judul lain? Kita sudah banyak mendapat kritikan karena kebanyakan ide cerita
yang kamu lempar bernuansa misteri."
Kintan mengembuskan asap
kreteknya dan melempar lembaran kertas yang sedang ditekuninya ke meja begitu
saja. "Sebelum ini kita telah meluncurkan Wajah Pias dan kamu mengeruk
keuntungan tidak sedikit."
"Aku tahu, tapi kita juga
mendapat kecaman dan kritikan." Fero tak mau kalah.
"Kalau kamu nggak mau
dikritik sembunyi saja di kamar."
"Bukan begitu, Kintan.
Aku cuma pingin judul yang lebih ceria, itu saja."
Kintan menatap wajah Fero yang
mulai memerah pertanda pembicaraan akan merusak cuaca indah, lalu berdiri dan
menyingkir, menghindar dari perdebatan yang tak akan pernah berujung.
Perdebatan yang sama dan mulai membosankan bagi Kintan. Ditinggalkannya
laki-laki itu tanpa berkata-kata lagi.
"Kintan, pikirkan
usulku," teriak Fero.
Kintan hanya melambai tak
ingin menjanjikan apapun sebelum hilang di balik pintu. Fero mengambil
lembaran-lembaran kertas tempat Kintan membuat coretan-coretan dialog. Matanya
menyipit, lalu memandang ke pintu mencari bayangan punggung Kintan yang telah
lenyap.
"Aku hanya ingin kamu
sedikit ceria Kintan, itu saja," gumamnya pada angin yang bertiup semakin
nyaring.
Dibawanya kertas-kertas Kintan
memasuki ruangannya, lalu dibacanya coretan-coretan yang ditulis Kintan dengan
serampangan, kemudian disimpannya di laci meja. Matanya menerawarang keluar
jendela, mencari kalimat indah yang tak pernah dapat tersampaikan.
"Andai kamu tahu, aku
sangat ingin membuatmu bahagia, Kintan. Tapi dinginnya tatapanmu membekukan
kehangatan yang hendak kukirim."
*
Kintan menunduk menekuni
dialog yang hendak disusunnya. Matanya lurus memandang lembaran-lembaran penuh
kata di depannya, memoles lebih detil. Tak dihiraukannya Fero yang sudah
berjam-jam duduk dengan patuh di depannya sambil nikmat memandangi dirinya.
Kemudian diserahkannya tumpukan kertas-kertas itu pada Fero.
"Nih. Kalau ada yang mau
diubah bilang dulu, jangan main hapus saja. Dialog dan cerita ini bernyawa,
jadi baca dulu sampai tuntas baru kasih komentar."
"Kamu mau ke mana?"
"Istirahat
sebentar."
"Pantai atau
gunung?"
"Gunung."
Fero terdiam memperhatikan
Kintan mengemasi barang-barangnya. Hatinya ingin bersuara, tapi mulutnya
terkunci, apalagi untuk sebuah pernyataan cinta.
"Apa nggak ngobrol dulu
di sini?"
"Tentang?"
"Tentang apa saja.
Tentang film juga boleh."
"Aku bosan."
"Kalau begitu kita
berbincang tentang kita, tentang kamu maksudku. Apa ajalah, yang penting
ngobrol saja, kita sudah lama nggak ngobrol santai, jadi biar nggak melulu
mengenai pekerjaan."
"Nggak ada yang menarik
lagi mengenai diriku."
"Ayolah Kin, dari sini
kan kita juga bisa sambil memandangi perbukitan di depan sana."
Kintan meletakkan tas
ranselnya, lalu duduk sambil menyalakan kretek. Fero benar, pikirnya, kantor
mereka terletak di pinggiran kota, dikelilingi bukit-bukit menghijau.
Ditatapnya perbukitan menghijau nun jauh di hadapannya. Hijau pepohonannya
memancarkan keteduhan. Sebagian mulai tertutup bayangan gelap dari mentari yang
bersiap berkunjung ke sisi lain. Hitamnya mengalun merdu suarakan kedalaman
rimbanya.
"Udara di sini semakin
sore semakin segar. Aku sering duduk di sini menikmati pemandangan sore sebelum
pulang."
"Enak juga duduk di
sini." Melirik Fero sebentar. "Aku pikir kamu orang yang nggak peduli
dengan pemandangan alam," lanjutnya pelan.
"Apa yang membuatmu bisa
mengambil kesimpulan begitu?"
"Dari cara kerjamu,
caramu bicara, dari semua. Selama kita bersahabat belum pernah kamu
membicarakan indahnya alam."
"Kamu salah, Kintan. Aku
juga sering menyepi di pegunungan, terutama jika sedang membaca
naskah-naskahmu."
"Kenapa?"
"Karena membaca naskahmu
dibutuhkan suasana yang santai dan jauh dari kebisingan, agar aku bisa lebih
menyelami isi cerita dan pesan yang ingin kamu sampaikan dari cerita itu."
"Makasih."
Kintan menyandarkan punggung
di kursi dan meluruskan kakinya lebih santai. Matanya kembali menekuni
pemandangan yang semakin indah dalam taburan keremangan senja. Fero mengatur
napas sebelum memberanikan dirinya memulai pembicaraan yang lebih akrab.
"Aku perhatikan, sikapmu
berubah setelah hubunganmu dengan Ferdi berantakan. Kita seperti bukan sahabat
lagi."
Kintan membisu.
"Apa ada sikapku yang
salah?"
"Jangan
menghubung-hubungkan persahabatan kita dengan urusan pribadiku. Kamu tak
bersalah sedikitpun. Keputusanmu menunjukkan padaku bahwa Ferdi sudah menikah
sebelum berhubungan denganku itu patut diacungin jempol."
“Sekali lagi, itu untuk
kebaikanmu, Kintan.”
“Aku tahu.”
"Kamu nggak marah,
kan?"
“Marah?”
“Sikapmu belakangan seperti
sedang memendam amarah.”
"Aku justru sangat
berterima kasih padamu," menatap Fero sejenak, "yang aku sayangkan,
mengapa kamu nggak memberitahukannya lebih awal, sebelum hatiku benar-benar
terpikat padanya?"
"Maafkan aku Kin, aku
harus merenung dan mempertimbangkan dulu keputusan itu sebelum akhirnya
memberanikan diri mengungkapnya."
"Alasan apa yang
membuatmu perlu waktu lama untuk mengambil keputusan yang memang harus
dilakukan?"
Fero terdiam dan lama hanya
memandang Kintan, lalu diambilnya jemari Kintan dalam genggamannya. "Karena
aku sangat menyayangimu. Memberitahumu mengenai yang sebenarnya adalah sebuah
keputusan sulit bagiku. Dilakukan atau tidak, keduanya sama-sama menyakitkan
buatmu."
Kintan menarik tangannya
perlahan, diambilnya sebatang lagi kretek untuk menenangkan hati. Nalurinya
bisa menangkap maksud tersembunyi di balik tatapan dan kalimat Fero, tapi
hatinya memutuskan untuk menutup dulu pintu agar dia bisa berdamai dengan
kenyataan yang merebut kebahagiaan yang belum terlalu lama dia rasakan.
“Maafkan aku, ya?”
"Yah, keputusan yang
sulit," gumam Kintan, "Keduanya menyakitkan, aku tahu."
Mengepulkan asap dengan sekali hentakan ke tiupan angin. "Jika tidak kamu
beritahukan, aku akan terpuruk lebih dalam pada saat aku sudah terlambat
mengetahuinya. Dan kini pun, setelah kamu beritahukan lebih awal, aku juga
merasakan goresan hampir nyeri."
Keduanya membisu, menatap satu
sama lain.
"Tapi, kamu nggak usah
khawatir. Luka kecil ini akan lebih mudah menyembuhkannya daripada terlanjur
terperosok ke dalam jurang."
"Sekali lagi dan lagi,
maafkan aku, Kintan."
"Tak ada yang perlu
dimaafkan, Fero. Apa yang kamu lakukan sebagai bukti bahwa kamu benar-benar
menyayangiku."
"Apakah aku boleh
menyayangimu lebih dari sekedar sahabat?"
Lama Kintan terdiam mencari
jawaban yang tidak akan menyakiti sahabat yang sudah sangat baik padanya itu.
Pertanyaan itu sudah diduganya akan terlontar suatu saat, namun sulit baginya
menemukan jawaban yang tidak akan menyakiti hati sahabatnya itu. Dia tak ingin
membagi perih pada orang yang telah menyayanginya sedemikian rupa.
"Berikan aku sedikit kesempatan untuk menata dulu hatiku, Fero. Paling
tidak, biarkan aku menghapus dulu bayangan wajah Ferdi dari hatiku. Akan sangat
tidak adil rasanya jika aku membuka pintu hatiku untukmu sementara di dalam sana
masih ada orang lain. hatiku masih terpasung oleh bayangan Ferdi."
"Makasih Kin, aku akan
menunggu sampai dia keluar dari hatimu."
"Makasih juga untuk
pengertian ini."
"Oya, akhir pekan depan
aku ada acara peluncuran album pertama teman. Kamu dampingi aku, ya? Sudah lama
kita nggak jalan bareng, kan? Hitung-hitung nostalgia." Fero menatap
Kintan penuh harap, dan tersenyum lebar saat melihat Kintan mengangguk walaupun
penuh keraguan.
*
Temaram lampu kota kian
menebar perih di hati Kintan. Matanya tak lepas memandang ke tepian jalan yang
dilalui mobil yang ditumpanginya bersama Fero. Dicarinya bayangan yang masih
erat mendekam di dalam hatinya di pojok-pojok gelap malam. Ingin diusirnya
bayangan itu, tapi hatinya tak mampu. Dia tetap berteriak memanggil nama yang
telah dia coba untuk mengusirnya.
"Kamu nggak apa-apa,
Kin?" tanya Fero dari balik setirnya.
Kintan menggeleng dan terus
menatap ke luar jendela di tepian gelap, berharap melihat bayangan yang
dicarinya, walau hanya dalam gelap.
"Kamu masih mikirin dia,
ya?"
Mengangguk.
"Aku bisa mengerti. Tak
mudah mengusir nama yang sudah terlanjur menancap di hati. Tapi, cobalah
terus."
Mereka memasuki sebuah gedung
pertemuan tanpa merasa, tiga pasang mata memperhatikan dari jauh. Kintan
menegakkan kepalanya tak ingin terlihat muram. Fero menebar senyum penuh
kebahagiaan ingin membagikannya pada setiap teman yang menegurnya.
"Selamat malam,"
sapa seorang lelaki sambil menggandeng perempuan cantik di sebelahnya.
Di belakang mereka berdiri
seorang lelaki lain berwajah tampan, tersenyum ramah pada Kintan, kemudian
matanya menatap tajam ketika berpindah pada Fero. Dengan wajah pucat Fero
membalas tangan Ferdi yang telah terulur dengah gagah. Tangannya bergetar dalam
genggaman tangan Ferdi. Sementara Kintan menatap keduanya dengan perasaan tak
menentu, lalu mengalihkan pandangannya pada perempuan yang sudah dapat
ditebaknya, siapa dia gerangan. Sedetik kemudian matanya menatap penuh tanda
tanya pada lelaki tampan dengan senyum ramah padanya yang berdiri di belakang
mereka.
"Ini istri barumu ya,
Fer?" tanya Fero.
Kintan semakin heran ketika
menangkap getaran aneh pada suara sahabatnya, Fero.
"Tidak usah banyak
basa-basi Mas, kami buru-buru," sela perempuan di sebelah Ferdi.
"Kamu benar Fero, tapi
sekaligus salah," jawab Ferdi dengan tatapan sinis.
"Kenalkan Kintan, ini
Ratna, mantan istriku, dan ini Fajar, suaminya yang sekarang." Ferdi
memperkenalkan perempuan cantik di sampingnya dan lelaki tampan dengan senyum
ramah itu pada Kintan. Terlihat sekali, Ferdi memperkenalkan satu per satu dengan
wajah penuh kebahagiaan yang tak dapat disembunyikan.
"Apa maksudnya ini?"
tanya Kintan dengan pikiran berkecamuk. Dia lepas tangannya dari genggaman Fero
dan menjabat wajah-wajah yang baru dikenalnya itu dengan ragu.
"Aku dan Ratna sudah
bercerai jauh sebelum aku mengenalmu. Fajar adalah suaminya yang sekarang hidup
berbahagia bersama Ratna. Aku perlu waktu tak lebih dari satu bulan untuk
menemukan mereka."
"Jadi?"
"Ya. Fero sengaja
memanfaatkan pernikahan kami untuk merebutmu dariku. Kamu segera memutuskan untuk
tidak mendengarkan penjelasan dariku. Aku tadinya sudah putus asa Kintan, tapi
kekuatan cinta membuatku berpikir lebih sehat dari yang diperkirakan Fero,
sahabatmu itu."
Kintan tak dapat berkata
apa-apa selain membiarkan air matanya mengalir dan lenyap dalam pelukan Ferdi.
Ditatapnya sahabatnya dengan pandangan bertanya, namun tak ada kata yang dapat
diucapkannya untuk meminta penjelasan. Hatinya bicara, berharap sahabatnya
mendengar, namun Fero segera menghilang dari sana.
* di balik layar, Kit Rose
_________________________
Kurangkai kisah demi kisah
mengalir dalam kelam. Kureguk nikmat keringnya rasa haus dalam keterpurukan
kian menghitam. Inilah hitamku, inilah pekatku, dan inilah utuh diriku. Tak berani
menatapmu, karena dirimu terlalu bercahaya mematikan hitamku, dan
menghidupkannya. Kenapa kau rebut kembali sinar yang hampir menerangi hitamku?
~KR