Selasa, 02 Juni 2020

Terpasung


aku berlari mengejar bayangan kian menjauh
bayangan bersama peluh kesakitan dan luka menganga

aku tak ingin berhenti pada lubang tempatku dapat tenggelam kelak
sampai kalian bertanya
mengapa di sana hanya ada risau
hitam
dan pekat.

apa yang ingin kalian dapatkan?
dari hati yang telah tak berbentuk ini

apa yang dapat kujelaskan?
pada tanya yang selalu mengejar

pada saat aku semakin terpuruk dalam ketidakpastian
hanya cinta dan kerinduan yang dapat kulukiskan
walau tak harus kumiliki
namun tetap kulukis

dan aku masih mencintai

~

Kintan membaca pesan-pesan yang bertumpuk di meja kerjanya. Semua menuntut tema cerita yang sama, lebih ceria. Diletakkannya lagi kertas-kertas kecil itu, lalu duduk memandang keluar jendela. Semua masih menanyakan hal yang sama, mengapa cerita yang dia sajikan selalu berbau kelam dan penuh misteri.

"Cerita apa yang bisa kusajikan agar mereka bisa bahagia?" gumamnya pelan.

Tangannya mulai menari di atas kertas yang berserakan di meja kaca beningnya. Dia tuliskan bait-bait mengikuti suara dari dalam hatinya, lalu ditambahkannya rangkaian cerita dari perjalanan dan masa lalunya pada tiap bait yang ditulisnya. Semua tertuang begitu cepat, jemarinya menari indah tanpa direncana, lalu berhenti sambil menatap lurus keluar jendela.

"Bisakah aku seceria yang mereka inginkan?" Menatap langit-langit, "Aku harus bisa."

Jemarinya kembali dan terus menari indah di atas kertas, lembar demi lembar, sebelum dituangkannya ke dalam tombol-tombol aksara pada layar pandai bicara di depannya, lalu terhamparlah satu cerita baru dalam lembaran yang dia sendiri tak meyakininya. Sambil tersenyum tipis dibacanya ulang lembaran cerita itu, dan semakin tak yakin bahwa itu cerita yang dibuatnya. Tak pernah ada cerita menggembirakan dalam hidupnya. Tak pernah ada senyum bahagia dalam hidupnya, seperti dalam cerita yang baru saja dibuatnya.
"Kenapa terlihat hambar?" tanyanya pada diri sendiri.

"Apanya yang hambar?" tanya Zameel yang sudah berdiri di samping mejanya. Wajahnya sedikit berkerut membaca judul cerita yang terpampang di layar. "Ini judul baru?"

"Aku ingin memenuhi kemauan mereka. Ini, bacalah. Menurutku kurang bagus, makanya aku berikan judul yang masih kelabu agar tak tampak drastis perubahannya."

Kintan menikmati kopinya sambil menunggu Zameel membaca cerita terbaru yang telah selesai dibuatnya. Dia nyalakan kretek sambil matanya mengawasi dengan cermat ekspresi wajah temannya saat membaca cerita itu.

"Aku setuju. Bagus ini, bagus banget. Warnanya lain, tapi biar nggak terlihat drastis perubahannya, judulnya masih kelabu."

"Adakah bagian yang harus aku edit lagi?"

"Jangan. Jangan diedit lagi. Itu sudah pas."

Kintan membaca sekali lagi naskah yang selesai dibaca Zameel, lalu menambahkan sedikit dialog untuk memoles sebuah cerita kelam menjadi lebih ceria. Disembunyikannya kekelaman dengan warna-warna baru, dan tiba-tiba hatinya juga ikut tersenyum. Hal yang tak pernah dilakukannya entah untuk berapa lama.

*

”Terpasung," gumam Fero, membuyarkan lamunan Kintan. Lelaki itu mengelus dagunya yang tak berbulu sambil mengernyitkan dahinya yang memang sudah berlipat.

Kintan hanya melirik sekilas tak hendak menjawab. Diraihnya lagi lamunannya yang hampir buyar.

"Kamu yakin dengan judul ini?" Kembali Fero membuyarkan lamunan Kintan dengan pertanyaan yang tak pernah berbeda tiap kali keduanya membahas judul film yang akan mereka garap.

Kembali Kintan hanya menatap sekilas.

"Coba, bisa nggak, cari judul lain? Kita sudah banyak mendapat kritikan karena kebanyakan ide cerita yang kamu lempar bernuansa misteri."

Kintan mengembuskan asap kreteknya dan melempar lembaran kertas yang sedang ditekuninya ke meja begitu saja. "Sebelum ini kita telah meluncurkan Wajah Pias dan kamu mengeruk keuntungan tidak sedikit."

"Aku tahu, tapi kita juga mendapat kecaman dan kritikan." Fero tak mau kalah.

"Kalau kamu nggak mau dikritik sembunyi saja di kamar."

"Bukan begitu, Kintan. Aku cuma pingin judul yang lebih ceria, itu saja."

Kintan menatap wajah Fero yang mulai memerah pertanda pembicaraan akan merusak cuaca indah, lalu berdiri dan menyingkir, menghindar dari perdebatan yang tak akan pernah berujung. Perdebatan yang sama dan mulai membosankan bagi Kintan. Ditinggalkannya laki-laki itu tanpa berkata-kata lagi.

"Kintan, pikirkan usulku," teriak Fero.

Kintan hanya melambai tak ingin menjanjikan apapun sebelum hilang di balik pintu. Fero mengambil lembaran-lembaran kertas tempat Kintan membuat coretan-coretan dialog. Matanya menyipit, lalu memandang ke pintu mencari bayangan punggung Kintan yang telah lenyap.

"Aku hanya ingin kamu sedikit ceria Kintan, itu saja," gumamnya pada angin yang bertiup semakin nyaring.

Dibawanya kertas-kertas Kintan memasuki ruangannya, lalu dibacanya coretan-coretan yang ditulis Kintan dengan serampangan, kemudian disimpannya di laci meja. Matanya menerawarang keluar jendela, mencari kalimat indah yang tak pernah dapat tersampaikan.

"Andai kamu tahu, aku sangat ingin membuatmu bahagia, Kintan. Tapi dinginnya tatapanmu membekukan kehangatan yang hendak kukirim."

*

Kintan menunduk menekuni dialog yang hendak disusunnya. Matanya lurus memandang lembaran-lembaran penuh kata di depannya, memoles lebih detil. Tak dihiraukannya Fero yang sudah berjam-jam duduk dengan patuh di depannya sambil nikmat memandangi dirinya. Kemudian diserahkannya tumpukan kertas-kertas itu pada Fero.

"Nih. Kalau ada yang mau diubah bilang dulu, jangan main hapus saja. Dialog dan cerita ini bernyawa, jadi baca dulu sampai tuntas baru kasih komentar."

"Kamu mau ke mana?"

"Istirahat sebentar."

"Pantai atau gunung?"

"Gunung."

Fero terdiam memperhatikan Kintan mengemasi barang-barangnya. Hatinya ingin bersuara, tapi mulutnya terkunci, apalagi untuk sebuah pernyataan cinta.

"Apa nggak ngobrol dulu di sini?"

"Tentang?"

"Tentang apa saja. Tentang film juga boleh."

"Aku bosan."

"Kalau begitu kita berbincang tentang kita, tentang kamu maksudku. Apa ajalah, yang penting ngobrol saja, kita sudah lama nggak ngobrol santai, jadi biar nggak melulu mengenai pekerjaan."

"Nggak ada yang menarik lagi mengenai diriku."

"Ayolah Kin, dari sini kan kita juga bisa sambil memandangi perbukitan di depan sana."

Kintan meletakkan tas ranselnya, lalu duduk sambil menyalakan kretek. Fero benar, pikirnya, kantor mereka terletak di pinggiran kota, dikelilingi bukit-bukit menghijau. Ditatapnya perbukitan menghijau nun jauh di hadapannya. Hijau pepohonannya memancarkan keteduhan. Sebagian mulai tertutup bayangan gelap dari mentari yang bersiap berkunjung ke sisi lain. Hitamnya mengalun merdu suarakan kedalaman rimbanya.

"Udara di sini semakin sore semakin segar. Aku sering duduk di sini menikmati pemandangan sore sebelum pulang."

"Enak juga duduk di sini." Melirik Fero sebentar. "Aku pikir kamu orang yang nggak peduli dengan pemandangan alam," lanjutnya pelan.

"Apa yang membuatmu bisa mengambil kesimpulan begitu?"

"Dari cara kerjamu, caramu bicara, dari semua. Selama kita bersahabat belum pernah kamu membicarakan indahnya alam."

"Kamu salah, Kintan. Aku juga sering menyepi di pegunungan, terutama jika sedang membaca naskah-naskahmu."

"Kenapa?"

"Karena membaca naskahmu dibutuhkan suasana yang santai dan jauh dari kebisingan, agar aku bisa lebih menyelami isi cerita dan pesan yang ingin kamu sampaikan dari cerita itu."

"Makasih."

Kintan menyandarkan punggung di kursi dan meluruskan kakinya lebih santai. Matanya kembali menekuni pemandangan yang semakin indah dalam taburan keremangan senja. Fero mengatur napas sebelum memberanikan dirinya memulai pembicaraan yang lebih akrab.

"Aku perhatikan, sikapmu berubah setelah hubunganmu dengan Ferdi berantakan. Kita seperti bukan sahabat lagi."

Kintan membisu.

"Apa ada sikapku yang salah?"

"Jangan menghubung-hubungkan persahabatan kita dengan urusan pribadiku. Kamu tak bersalah sedikitpun. Keputusanmu menunjukkan padaku bahwa Ferdi sudah menikah sebelum berhubungan denganku itu patut diacungin jempol."

“Sekali lagi, itu untuk kebaikanmu, Kintan.”

“Aku tahu.”

"Kamu nggak marah, kan?"

“Marah?”

“Sikapmu belakangan seperti sedang memendam amarah.”

"Aku justru sangat berterima kasih padamu," menatap Fero sejenak, "yang aku sayangkan, mengapa kamu nggak memberitahukannya lebih awal, sebelum hatiku benar-benar terpikat padanya?"

"Maafkan aku Kin, aku harus merenung dan mempertimbangkan dulu keputusan itu sebelum akhirnya memberanikan diri mengungkapnya."

"Alasan apa yang membuatmu perlu waktu lama untuk mengambil keputusan yang memang harus dilakukan?"

Fero terdiam dan lama hanya memandang Kintan, lalu diambilnya jemari Kintan dalam genggamannya. "Karena aku sangat menyayangimu. Memberitahumu mengenai yang sebenarnya adalah sebuah keputusan sulit bagiku. Dilakukan atau tidak, keduanya sama-sama menyakitkan buatmu."

Kintan menarik tangannya perlahan, diambilnya sebatang lagi kretek untuk menenangkan hati. Nalurinya bisa menangkap maksud tersembunyi di balik tatapan dan kalimat Fero, tapi hatinya memutuskan untuk menutup dulu pintu agar dia bisa berdamai dengan kenyataan yang merebut kebahagiaan yang belum terlalu lama dia rasakan.

“Maafkan aku, ya?”

"Yah, keputusan yang sulit," gumam Kintan, "Keduanya menyakitkan, aku tahu." Mengepulkan asap dengan sekali hentakan ke tiupan angin. "Jika tidak kamu beritahukan, aku akan terpuruk lebih dalam pada saat aku sudah terlambat mengetahuinya. Dan kini pun, setelah kamu beritahukan lebih awal, aku juga merasakan goresan hampir nyeri."
Keduanya membisu, menatap satu sama lain.

"Tapi, kamu nggak usah khawatir. Luka kecil ini akan lebih mudah menyembuhkannya daripada terlanjur terperosok ke dalam jurang."

"Sekali lagi dan lagi, maafkan aku, Kintan."

"Tak ada yang perlu dimaafkan, Fero. Apa yang kamu lakukan sebagai bukti bahwa kamu benar-benar menyayangiku."

"Apakah aku boleh menyayangimu lebih dari sekedar sahabat?"

Lama Kintan terdiam mencari jawaban yang tidak akan menyakiti sahabat yang sudah sangat baik padanya itu. Pertanyaan itu sudah diduganya akan terlontar suatu saat, namun sulit baginya menemukan jawaban yang tidak akan menyakiti hati sahabatnya itu. Dia tak ingin membagi perih pada orang yang telah menyayanginya sedemikian rupa. "Berikan aku sedikit kesempatan untuk menata dulu hatiku, Fero. Paling tidak, biarkan aku menghapus dulu bayangan wajah Ferdi dari hatiku. Akan sangat tidak adil rasanya jika aku membuka pintu hatiku untukmu sementara di dalam sana masih ada orang lain. hatiku masih terpasung oleh bayangan Ferdi."

"Makasih Kin, aku akan menunggu sampai dia keluar dari hatimu."

"Makasih juga untuk pengertian ini."

"Oya, akhir pekan depan aku ada acara peluncuran album pertama teman. Kamu dampingi aku, ya? Sudah lama kita nggak jalan bareng, kan? Hitung-hitung nostalgia." Fero menatap Kintan penuh harap, dan tersenyum lebar saat melihat Kintan mengangguk walaupun penuh keraguan.

*

Temaram lampu kota kian menebar perih di hati Kintan. Matanya tak lepas memandang ke tepian jalan yang dilalui mobil yang ditumpanginya bersama Fero. Dicarinya bayangan yang masih erat mendekam di dalam hatinya di pojok-pojok gelap malam. Ingin diusirnya bayangan itu, tapi hatinya tak mampu. Dia tetap berteriak memanggil nama yang telah dia coba untuk mengusirnya.

"Kamu nggak apa-apa, Kin?" tanya Fero dari balik setirnya.

Kintan menggeleng dan terus menatap ke luar jendela di tepian gelap, berharap melihat bayangan yang dicarinya, walau hanya dalam gelap.

"Kamu masih mikirin dia, ya?"

Mengangguk.

"Aku bisa mengerti. Tak mudah mengusir nama yang sudah terlanjur menancap di hati. Tapi, cobalah terus."

Mereka memasuki sebuah gedung pertemuan tanpa merasa, tiga pasang mata memperhatikan dari jauh. Kintan menegakkan kepalanya tak ingin terlihat muram. Fero menebar senyum penuh kebahagiaan ingin membagikannya pada setiap teman yang menegurnya.

"Selamat malam," sapa seorang lelaki sambil menggandeng perempuan cantik di sebelahnya.
Di belakang mereka berdiri seorang lelaki lain berwajah tampan, tersenyum ramah pada Kintan, kemudian matanya menatap tajam ketika berpindah pada Fero. Dengan wajah pucat Fero membalas tangan Ferdi yang telah terulur dengah gagah. Tangannya bergetar dalam genggaman tangan Ferdi. Sementara Kintan menatap keduanya dengan perasaan tak menentu, lalu mengalihkan pandangannya pada perempuan yang sudah dapat ditebaknya, siapa dia gerangan. Sedetik kemudian matanya menatap penuh tanda tanya pada lelaki tampan dengan senyum ramah padanya yang berdiri di belakang mereka.

"Ini istri barumu ya, Fer?" tanya Fero.

Kintan semakin heran ketika menangkap getaran aneh pada suara sahabatnya, Fero.

"Tidak usah banyak basa-basi Mas, kami buru-buru," sela perempuan di sebelah Ferdi.

"Kamu benar Fero, tapi sekaligus salah," jawab Ferdi dengan tatapan sinis.

"Kenalkan Kintan, ini Ratna, mantan istriku, dan ini Fajar, suaminya yang sekarang." Ferdi memperkenalkan perempuan cantik di sampingnya dan lelaki tampan dengan senyum ramah itu pada Kintan. Terlihat sekali, Ferdi memperkenalkan satu per satu dengan wajah penuh kebahagiaan yang tak dapat disembunyikan.

"Apa maksudnya ini?" tanya Kintan dengan pikiran berkecamuk. Dia lepas tangannya dari genggaman Fero dan menjabat wajah-wajah yang baru dikenalnya itu dengan ragu.

"Aku dan Ratna sudah bercerai jauh sebelum aku mengenalmu. Fajar adalah suaminya yang sekarang hidup berbahagia bersama Ratna. Aku perlu waktu tak lebih dari satu bulan untuk menemukan mereka."

"Jadi?"

"Ya. Fero sengaja memanfaatkan pernikahan kami untuk merebutmu dariku. Kamu segera memutuskan untuk tidak mendengarkan penjelasan dariku. Aku tadinya sudah putus asa Kintan, tapi kekuatan cinta membuatku berpikir lebih sehat dari yang diperkirakan Fero, sahabatmu itu."

Kintan tak dapat berkata apa-apa selain membiarkan air matanya mengalir dan lenyap dalam pelukan Ferdi. Ditatapnya sahabatnya dengan pandangan bertanya, namun tak ada kata yang dapat diucapkannya untuk meminta penjelasan. Hatinya bicara, berharap sahabatnya mendengar, namun Fero segera menghilang dari sana.

* di balik layar, Kit Rose

_________________________
Kurangkai kisah demi kisah mengalir dalam kelam. Kureguk nikmat keringnya rasa haus dalam keterpurukan kian menghitam. Inilah hitamku, inilah pekatku, dan inilah utuh diriku. Tak berani menatapmu, karena dirimu terlalu bercahaya mematikan hitamku, dan menghidupkannya. Kenapa kau rebut kembali sinar yang hampir menerangi hitamku? ~KR

Jejak Cinta


Jika langit menyapa malam dengan bulan,
dan mentari menyapa siang dengan sinarnya,
aku telah menyapamu dengan rindu dan cintaku,
walau kau terus berlari menjauh.

Sekian helaan napas telah kulepas.
mencari bentuk dari rasa ini
mengejar jejak cintamu tanpa batas waktu
namun waktu memberiku batas untuk berhenti

Lalu, kucoba merangkai kata untuk tetap berucap,
langkah tak dapat berhenti di persimpangan,
aku harus menghapus jejakmu walau tak mampu,
dan menyimpan rindu ini dalam kegelapan.

Agar hatiku mengerti kau sudah jauh berlari,
tinggalkan seonggok rindu dan cinta dari hatiku,
kubiarkan malam menyapa halaman lain,
di sana wajahmu masih ada,
di sana jejakmu masih tersimpan,
aku hanya menatap dari kejauhan

tak ingin mendekat lagi.

~

Arief menatap Wini dari kejauhan. Untuk kesekian kali kakinya berhenti melangkah di depan rumah itu. Hatinya berdegup kencang, matanya tak mau berhenti mengikuti gerakan gadis itu. Menyapu halaman sambil sesekali menyibakkan rambut indahnya. Ketakutan di matanya setiap Arief menyatakan cintanya membuat pemuda itu semakin mencintai gadis itu. Perasaan ingin melindungi semakin kuat menguasai hati Arief.

"Mas Arief mau kuliah?" sapa Rena dengan tawa riangnya, mengagetkan Arief. Gadis itu sudah berdiri di sampingnya. Matanya mengerjap penuh makna pada pemuda tampan di depannya. Dan, tanpa malu-malu balas menatap mata Arief.

"Iya, kamu sendiri?"

"Aku sedang santai. Tadi lihat Mas Arief berhenti. Mau mampir, Mas?"

"Terima kasih, lain kali saja, ya. Salam," jawab Arief, kemudian cepat berlalu meninggalkan Rena termangu sendiri.

Wini melirik dengan ekor matanya. Tangannya mencengkeram hendak melambai, senyumnya meletup hendak mengembang dan wajahnya pias antara rindu dan takut.

"Jangan macam-macam, ya. Aku tak akan membiarkan dia jatuh ke tanganmu. Kau dengar?" Rena berbisik tajam di telinga Wini, lalu melenggang memasuki rumah diikuti pandangan ngeri dari balik punggungnya.

Wini hanya bisa menatap kakak sepupunya itu tanpa dapat berkata apapun. Matanya memerah sendu menyimpan pedih dan rindu. Hatinya berbisik penuh luka, "Tak dapatkah harapan berjalan beriringan? Pilihankah namanya untuk cinta yang sedang dipertaruhkan?" Lalu menatap di kejauhan punggung lelaki yang berjalan semakin menjauh sambil menundukkan kepalanya. "Andai aku boleh mengejarnya, akan kuberitahukan padanya bahwa aku juga mencintainya," bisiknya lagi sambil menggenggam gagang sapu.

*

Endang, sang kakak tertua dan pemilik rumah, duduk dengan tatapan tajam. Sudah bisa dipastikan perempuan itu sudah menerima laporan mengenai perebutan seorang pemuda di antara adik kandung dan adik sepupunya itu. Wini tak berani menatap dan hanya menundukkan wajahnya, sementara Rena menatap sinis penuh kemenangan.

"Untuk kesekian kalinya Kakak mengingatkan. Jangan sampai Kakak dengar lagi kalian memperebutkan cinta dengan cara yang tidak pantas."

"Aku mencintai Mas Arief dari sejak awal bertemu Kak, aku tak pernah merebutnya dari siapapun." Rena mencari pijakan pembenaran dirinya.

"Dan kau Wini, biarkan Kakakmu menemukan cintanya terlebih dahulu karena waktumu masih panjang," sela Endang.

"Baik, Kak." Menunduk.

"Lagipula aku duluan yang suka sama Mas Arief," sungut Rena.

"Ibumu menitipkan kamu di sini untuk mencari pekerjaan, meniti masa depan, bukan untuk mencari jodoh. Kalau mau cari jodoh tidak usah jauh-jauh, di kampung sana banyak lelaki yang bisa kamu pilih," sahut Endang ketus.

Alhasil, Wini semakin menunduk. Ada desir tajam di dadanya, namun diredamnya dengan sekuat tenaga. Kenyataan dirinya menumpang di rumah ini selalu menjadi pembahasan bahwa dia harus serba mengalah dan menyimpan kepentingannya, bahkan kepentingan hati dan cintanya. Wajah Arief terlintas, dengan senyumnya yang hangat menatap seolah ingin melindungi, namun apa daya dirinya tidak mampu melawan tatapan menghakimi dari dua pasang mata kakak sepupunya.

"Lebih baik kamu tekun mencari pekerjaan daripada memikirkan lelaki. Ingat tujuan utamamu datang ke sini, jangan sia-siakan waktumu."

"Akan saya ingat itu, Kak."

"Aku tidak mau cerita ini sampai ke keluarga di kampung. Kamu tidak usah membahas hal ini dengan siapapun, karena ini untuk kebaikanmu juga. Mengerti?"

"Mengerti, Kak."

Endang mengakhiri kalimatnya tanpa menunggu jawaban dari Wini, lalu meninggalkan ruangan itu dengan wajah penuh amarah. Rena tersenyum puas, mengambil majalah dan membuka halamannya tanpa ingin membacanya. Matanya sesekali tajam melirik Wini yang masih terduduk mencerna kata demi kata dan untaian cinta dalam hatinya. Tak dihiraukannya senyum sinis Rena, gadis itu beranjak dan menghilang ke dalam kamarnya.

*

Keesokan harinya, Wini memutuskan untuk mengakhiri saja hubungan cintanya dengan Arief yang belum sempat terjalin rapi dan terukir indah. Ditemuinya Arief sepulang dari pasar untuk menyampaikan niatnya, sekaligus memenuhi rindunya untuk yang terakhir kali.

"Mungkin ini pertemuan kita yang terakhir, Rief. Aku tidak mau menjadi anak yang tidak tahu berterima kasih."

"Kenapa kamu begitu takut pada mereka hingga tega mempertaruhkan cinta kita?"

"Aku bukan takut, tapi menghormati."

"Menghormati apa dan siapa?"

"Menghormati kedua orang tuaku yang telah menitipkan aku di rumah Kakak, dan menghormati Kakak sepupuku yang telah rela memberikan aku tumpangan selama di sini."

"Bukankah kalian bersaudara? Menurutku wajar kalau sesama saudara saling menolong."

"Juga menghormati tujuanku ke Jakarta ini, yaitu mencari pekerjaan."

"Alasan yang tidak masuk akal."

"Memang tidak masuk akal, tapi ini kenyataannya. Kita tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini."

"Aku tidak tahu, kenapa kamu jadi seperti ini?"

"Aku mohon kamu mengerti, Rief."

"Aku tidak bisa Win, dan tidak melihat alasan yang masuk akal. Kita saling mencintai. Kenapa harus tiba-tiba memutuskan hubungan tanpa sebab yang jelas?"

"Sudah jelas penyebabnya Rief, aku harus lebih konsentrasi mencari pekerjaan dulu."

"Selama ini apa hubungan kita mengganggu langkahmu dalam mencari pekerjaan?"

Wini terdiam, tak dapat berkata apa-apa. Ingin gadis itu mengatakan tidak, namun disimpannya saja kata-katanya. Bayangan kemarahan dari wajah Kakaknya membungkam bibirnya yang semakin bergetar.

"Tolong kamu jujur, Win. Ini tentang Rena, kan?"

"Aku takut, Rief." Akhirnya Wini menjawab pelan.

"Kenapa harus takut? Aku benar-benar tidak mengerti."

Wini menunduk, keduanya membisu kemudian. Tak ada lagi yang dapat diungkapkan dari sebuah ketidakberdayaan. Gadis itu ingin menceritakan, berbagi kepedihan, betapa setiap hari dirinya dihadapkan pada sidang yang dilakukan kedua kakaknya, Endang dan Rena. Betapa semakin hari semakin tajam dan menyakitkan kata-kata mereka, namun bayangan wajah kedua orang tuanya kembali membungkam bibirnya. Ditatapnya Arief yang semakin erat menggenggam tangannya. Dibiarkannya hatinya sejuk menikmati hangatnya genggaman tangan itu, lalu keduanya terlonjak kaget saat Rena sudah bertolak pinggang di depan mereka sambil matanya menatap tajam pada Wini.

"Di sini rupanya kamu, dan begini rupanya kelakuanmu di luar rumah."

Wajah Wini yang sudah pucat pasi menarik tangannya dari genggaman Arief, tak berani menatap Rena, hanya menunduk dan menahan gemetar tubuhnya. Sementara Arief menatap tajam pada Rena. Penuh kebencian.

"Pulang!" bentak Rena.

Wini menatap sekilas pada Arief, lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu sambil sekuat tenaga menyembunyikan air matanya. Arief hanya dapat memandangnya tak berdaya. Teriakannya tak dihiraukan oleh Wini yang semakin jauh berlari meninggalkan tempat itu, sementara Rena memandangi langkah Wini dengan tatapan penuh kebencian.

*

Arief melangkah gontai keluar dari rumah Endang. Rena mengikutinya dengan tatapan sinis. Wini tak ada lagi di rumah itu. Tak ada keterangan yang bisa didapatkan Arief, ke mana gadis itu pergi. Semua mengatakan tidak ada dan tidak tahu. Dicobanya untuk mengejar gadis pujaan hati ke kampung halaman. Sepanjang jalan dikirimnya doa agar langkahnya tidak terlambat untuk menemukan cintanya. Namun, tanpa hasil juga. Ya, perjalanan panjangnya tanpa hasil dan kepastian.

"Kami tidak tahu di mana Wini sekarang," jawab perempuan setengah baya itu dingin. Matanya tak mau menatap Arief seolah ingin menyembunyikan jendela hatinya yang terlihat menyimpan banyak kata.

"Tolong Bu, saya sangat mencintainya. Saya yakin Wini juga mencintai saya." Arif masih memohon sebelum keluar dari rumah itu.

"Itu bukan urusan saya, anak muda."

"Tapi, bukankah Wini putri Ibu? Apakah Ibu tidak menginginkan kebahagiaan untuk putri Ibu?"
"Pertanyaan bodoh."

"Maafkan saya, Bu. Untuk itu tolong beritahu saya di mana Wini? Saya akan menjemputnya dan mencarikan pekerjaan untuk dia. Saya yakin Wini membawa cinta saya."

"Maaf, saya tidak mempunyai cukup waktu untuk mendengarkan ceramah cintamu, anak muda, dan ingin kusampaikan, jangan ganggu Wini lagi dengan cerita cinta, biarkan dia melangkah meniti masa depannya." Kemudian tersenyum pahit dan menutup pintu tanpa berkata lagi.

Arief terpaku tanpa dapat berkata lagi. Kembali ditelusurinya jalanan beku mencari jejak cinta yang semakin menghilang. Matanya menerawang mencoba mengintip langkah cintanya, namun keheningan yang ditemuinya. "Mengapa?" desisnya perlahan dan kesakitan, "mengapa harus seperti ini? Aku tak bisa berjalan sendiri di sini, Wini." Kemudian membelokkan langkahnya tanpa menggenggam lagi harapan bertemu cintanya. Dia tinggalkan kota kecil itu, dia tinggalkan bangku kuliah dan impiannya, dia tinggalkan jejak cintanya yang menghilang. Arief bertekad, sampai ke ujung dunia akan dicobanya untuk menghilangkan jejak cinta yang masih berdiam dalam hatinya. Dalam kegelapan malam matanya menyala penuh amarah dan kecewa, kemudian melembut karena duka.

*

Gemerlap malam Kota Batam mengiringi langkah gontai Arief, perlahan menerobos pekat malam. Ditinggalkannya beberapa lembar uang untuk penjaga masjid yang sedang duduk di halaman. Ditinggalkannya rumah persinggahannya di sudut kota itu dengan hati lebih ringan. Rumah Cintanya, tempat dia menumpahkan aroma cinta dan rindu, tempat dia bercengkerama dengan lagu Cinta dan tanya. Kini tak ada lagi hati mencari, tak ada lagi kisah menanti, dan tak ada lagi jejak bermimpi. Indahnya telah direguk walau setetes dan pahitnya telah direkamnya, lalu dia simpan dalam peti cinta di hatinya. Matanya menatap lurus ke depan, menyongsong matahari walau dengan hati beku. Tak ada lagi tanya, tak ada lagi sisa menanti.
Ditutupnya pintu kamar perlahan, mengambil sepucuk surat yang tergeletak di lantai dekat pintu, membukanya dengan amarah dan membacanya dengan harapan ini adalah surat yang terakhir.

Apa kabar lagi Ariefku,
Aku berharap kau tak pernah bosan dengan surat-suratku ini dan berharap pintu cintamu suatu saat terbuka untukku.

Aku dengar dari temanku, kau berada jauh dariku, di Kota Batam. Aku yakin, sekarang kamu sedang membaca suratku, walau tak pernah ingin membacanya. Aku juga dengar berita, kamu akan terbang menggali ilmu ke Jepang, entah sampai kapan dan bersama siapa aku tak dapat mencari tahu, tapi aku masih berharap, kamu membawa hatiku ke kota sakura itu, dan kemanapun kamu mengayunkan langkahmu.

Cepat dilipatnya surat itu tanpa menyelesaikan isinya. Surat yang semakin membuatnya mendendam. Surat yang penulisnya membuatnya kehilangan harapan akan cinta.

"Kau hancurkan hidupku dengan mengusir cintaku, Rena. Kini kau tak pernah berhenti mengganggu ketenanganku," rutuk Arief sambil melempar surat itu ke dalam keranjang sampah di sudut ruangan, seperti yang sudah-sudah.

Dibukanya lagi surat yang sudah satu minggu tergeletak di meja kerjanya. Surat yang belum dapat dibalasnya, yang sangat menguras perhatian dan menuntutnya untuk segera mengambil keputusan. Tidak hanya mengambil keputusan, tapi terpaksa harus mengikuti keputusan kedua orangtuanya. Dibacanya lagi surat itu diam-diam. Tak ada lagi pilihan dan alasan untuk menolak perjodohan yang sudah dipersiapkan untuknya. Harapannya untuk dapat menemukan Wini sudah lenyap. Keinginannya untuk mengisi hatinya dengan cinta baru sudah hilang. Kemudian dikemasnya beberapa pakaian dan keperluan lain ke dalam koper.

"Semoga kelak aku tak menyesali keputusan ini," bisiknya dalam hati, lalu dihempaskannya tubuh ke pembaringan. Dipejamkannya mata, mencoba membayangkan apa yang akan dia lakukan dengan pernikahannya kelak.

*

Ditatapnya perempuan yang tergolek nyenyak di pembaringan. Sudah sekian tahun mereka hidup dalam ikatan perkawinan dan tak pernah sekalipun Arief mengatakan cintanya pada perempuan yang memperoleh status sebagai istrinya itu. Tak pernah.

"Maafkan aku, Rahmi," keluhnya dalam hati. "Aku tak tahu apakah aku bisa mencintaimu atau tidak, aku sendiri tak tahu apakah di hatiku masih bisa tumbuh perasaan cinta."

Didekatinya wajah tenang itu. Wajah yang pemiliknya tak pernah satu kali pun menuntut kata cinta. Ya, Rahmi tak pernah sekalipun meminta Arief untuk menyatakan cinta padanya. Yang mereka lakukan hanyalah sekedar mengikuti apa yang diinginkan kedua orang tua mereka.

"Aku belum bisa menghapus nama itu dari hatiku, maafkan."

Arief berjalan keluar rumah diam-diam. Dihirupnya angin malam dengan langkah panjang memecah keheningan malam. Satu per satu wajah-wajah silih berganti kembali menatap, menghiasi keheningan malam, semakin jauh menanggalkan jejak cintanya. Lelaki itu mulai berpikir, kenapa dia tidak belajar mencintai istrinya? Lelaki itu berpikir, mungkin ini yang bernama jodoh. Ya, Arief mencoba menyadarkan dirinya sendiri, untuk menghapus jejak cinta yang tak dapat lagi dikejarnya.

* di persimpangan jalan, Kit Rose

________________________________
Cinta tak harus memiliki. Indahnya akan kukirim bersama kincir yang selalu berputar di sana. Sakitnya terukir indah pada tiap kelopak mawar hitam. Teteskanlah setitik cinta untuk hati yang selalu menanti, cintamu untuk satu kelopak lain tak akan hilang. ~KR