Sabtu, 30 Mei 2020

Tirai Hitam


Aku menengadah menatap lembut mesramu,
di antara untaian indah dari keremangan senja menyelimuti duka.
Aku menari ceria dalam kehangatanmu,
di antara bayangan hitam dari pekatnya malam berbaur luka.

sudahlah cukup
dan mawar hitam tak layu lagi

Aku berenang gembira dalam balutan cinta,
biarlah semu menggelora menghentak nadi dan gairahnya,
sudahlah cukup dan aku tak sepi lagi.

Aku berlari ke tepian jurang cinta,
tempat kita berlayar dalam kata
tak akan kucari bahagia di sana,
sudahlah cukup, gurun pasir tak gersang lagi.

Kuarungi belantara menyatukan hati yang terburai,
menyusun dan menanti dirimu di tiap jengkal desah sepi,
kau datang bawa selingkap awan kelabu,
dan kau jadikan cintaku bagai pohon perdu mudah patah.

Tak pernah berhenti aku mencari di matamu
walau tak pernah kutemukan diriku di sana

Kau rapat memeluk dan nikmati ranumku
Tapi
kabut itu menghalangi hatimu
untuk terus kudekap.

Kau lumat garang bibirku
tak jua kudapat kehangatan
di sini aku menjadi saksi bisu cintaku
berkelana arungi pandangmu
di sini akan kuletakkan cintaku padamu
kusatukan hati yang rapuh
terhalang tirai hitam cintaku

~

Tepuk tangan bergemuruh di seluruh sudut ruangan saat Venerose mengakhiri puisinya. Gadis itu membungkukkan badannya, menghormat pada penonton, lalu lenyap di balik panggung. Dilipatnya kertas berisi puisi itu, dia masukkan ke dalam kantong celana sambil berlari menuju ke ruang ganti. Hadi yang telah menunggunya di depan pintu ruang ganti menjabat tangannya lembut.

"Untukkukah puisi itu?"

"Sori Di, aku mau ganti kostum dulu, habis ini giliranku lagi."

"Jawab dulu pertanyaanku."

"Hadi!" Tiba-tiba seorang gadis datang dan menggandeng tangan Hadi, kemudian berlalu dari sana.

Venerose diam, menatap kepergian keduanya. Tangannya mengambil lembaran puisi yang baru saja dibacanya di atas panggung, meremas dan membuangnya ke lantai. Tak dihiraukannya Hadi melambaikan tangan sebelum hilang di balik dinding.

"Rose! Cepetan! Sebentar lagi kita tampil, nih. Ini kostum loe." Lena muncul dan melempar kostum. “Jangan lama-lama, jangan biarkan penonton menunggu. Loe kan, yang suka bilang begitu."

Venerose tersenyum, lalu menyibukkan diri dengan kostum barunya. Dilepasnya rambut palsu yang menutup kepala, lalu memandang dirinya di cermin. Wajah Hadi menatap penuh tanda tanya di cermin itu, tapi tak ada yang dapat dijelaskannya pada pemuda itu, agar tak ada hati terluka kelak.

"Heh! Bengong, lagi." Lena menepuk pundaknya.

"Gimana rambutku?"

"Gila loe, terlalu kuning kali tuh rambut, tapi keren juga, sih. Mau bawain lagu apa dulu, nih?" tanya Lena bersemangat.

"She's Gone."

"Widih. Tapi, nggak pake sedih, ya. Gue lihat wajah loe berubah tiap habis bawain lagu itu."

Venerose tersenyum lagi memandang temannya, lalu kembali menatap cermin. Lagu itu selalu dinyanyikan Hadi jika mereka sedang berdua. Entah mengapa tiba-tiba mereka berdua menyukainya hingga tak terasa kini lagu itu menjadi lagu perpisahan mereka.

"Rose, sori nih, jangan marah, ya."

Menatap, diam.

"Kenapa sih, loe putusin Hadi? Bukannya kalian masih saling cinta?"

Masih diam, mengalihkan tatapan kembali ke cermin.

"Gue lihat Hadi juga masih suka nguber-nguber elo."

Menarik napas.

"Loe juga masih cinta kan, sama dia?"

Mengangguk.

"Lalu?"

“Lalu apa?” Venerose memandang temannya sekilas, lalu mengambil gitarnya dan berlalu keluar dari kamar ganti. Lena mengangkat pundak dan mengikuti langkah temannya setengah berlari.

*

Venerose duduk tak berkedip memandangi dirinya di cermin. Seraut wajah yang tiba-tiba sangat dibencinya muncul dalam cermin, menyeringai padanya sambil tersenyum tipis. Kelembutan yang ditawarkannya membuat gadis itu merasa terluka dan terhina.

"Apa yang sudah kulakukan hingga membuat lelaki yang pantas menjadi Papaku itu menggodaku?" bisiknya dalam hati.

Satu per satu kalimat yang diucapkan Baskoro, atasannya, melintas deras menerjang ingatan dan hati lembutnya.

"Bapak memanggil saya?"

"Hmm, duduklah." Baskoro berdiri perlahan, mengambil sebuah amplop tebal dari laci mejanya, lalu meletakkan amplop itu di depan Venerose.

Venerose menatap penuh tanda tanya.

“Buka."

Ragu-ragu Venerus mengambil amplop itu dan membukanya perlahan. Matanya melebar melihat uang ratusan ribu tersusun rapi di sana. Lalu, memandang Baskoro lagi, semakin bertanya-tanya.

"Uang itu untukmu."

"Untuk saya? Maksud Bapak?"

"Mamamu sedang sakit, kan?"

Mengangguk.

"Aku dengar harus dioperasi?"

Mengangguk lagi.

"Nah, uang itu bisa kamu gunakan untuk membiayai operasi Mamamu. Jumlahnya lebih dari cukup. Aku sudah bertanya ke rumah sakit rujukan perusahaan kita, yang aku berikan itu sekaligus bisa untuk biaya berobat jalan."

Tak berkedip, Venerose menatap atasannya tak percaya. Ingin diletakannya kembali amplop itu di meja, tapi wajah Mamanya segera memenuhi rongga matanya, wajah pias menahan kesakitan. "Terima kasih sebelumnya, Pak. Bapak ternyata sangat perhatian pada bawahan."

"Sudah seharusnya kan, saya memperhatikan sekretarisku?"

"Sekali lagi terima kasih, Pak. Nanti akan saya ajukan sebagai pinjaman dan dipotong dari gaji saya setiap bulan."

"Oh, jangan. Itu dari saya pribadi. Tidak usah dimasukkan dalam pinjaman kantor."

"Pribadi?"

"Ya, betul."

"Tapi…."

"Tapi, ada satu permintaan saya."

"Apa itu, Pak? Dengan senang hati dan semampu saya akan saya usahakan untuk memenuhi permintaan Bapak." Venerose menahan air matanya agar tidak mengalir. Kebahagiaan sungguh sangat meliputi hatinya. Rasa syukur segera dipanjatkannya pada Sang Pemberi.

Baskoro tersenyum memandang Venerose. "Tinggalkan Hadi."

"Maksud Bapak?" Tersentak.

Basokoro menghela napas dalam, menyalakan rokoknya, lalu kembali memandang Venerose sambil tersenyum. "Kamu tidak cocok untuknya."

"Saya tidak mengerti."

Baskoro tidak menjawab, berdiri menghampiri Venerose dan tersenyum sambil memandangi gadis itu lekat-lekat, lalu menggenggam tangan Venerose sambil berkata, "Kamu lebih cocok bersamaku karena kamu lebih membutuhkan aku. Kamu cantik dan cerdas, cekatan, juga pandai bergaul. Sementara aku juga cukup dapat mengimbangi dirimu dengan apa yang sekarang aku miliki. Kita akan menjadi pasangan yang serasi."

Venerose tersentak oleh lamunannya, ditepisnya bayangan itu. Diusapnya air mata yang mengalir deras di pipi, lalu dengan cepat diputarnya kembali harapan agar tidak berhenti. Gadis itu mengalunkan Irama Cinta untuk mencari damai bagi dirinya sendiri. Gadis itu meyakini, menyatu dengan-Nya akan dapat membuatnya berpikir lebih jernih, membuatnya lebih dapat berdami dengan diri sendiri. Disingkirkannya amarah perlahan dari hatinya.

"Uang itu akan dapat membawa Mama pada kehidupannya yang telah lama hilang di atas pembaringan," bisiknya pelan, "tapi aku harus menikahinya dan kehilangan cintaku. Apakah ini pilihan yang adil? Apakah hanya dengan menjadi gundik saja jalan untuk kesehatan Mama?” bisiknya sambil menatap cermin.

Di luar sana suara adzan mengalun merdu, Venerus tak mau membiarkan hatinya tersayat-sayat tanpa makna. Gadis itu berdiri perlahan, menatap sekali lagi dirinya di cermin sebelum melangkah keluar kamar.

*

Venerose memegang tangan Mamanya yang sedang terlelap, dan menciumnya dengan penuh cinta. Pikirannya melayang jauh mencari jalan untuk mendapatkan biaya operasi. Hatinya bergolak menunggu jawaban dari-Nya, sang Kekasih yang dia yakin tak akan berpaling darinya. Kamar dengan cahaya redup itu menjadi saksi, bagaimana gundah hati gadis belia itu. Setapak demi setapak gadis itu mengintip hatinya sendiri, ke mana hendak melangkah? Dia genggam tangan Mamanya lebih erat sambil mengalunkan doa-doa dan nada rindu pada-Nya. Dikupasnya hati sedmeikian rupa agar noda dalam dirinya menipis, dan rindunya sampai kepada-Nya. Dia ulang lagi usahanya seperti hari-hari lalu, mengelus perut Mamanya, sambil mencoba bicara dengan bongkahan ganas yang berdiam di rahim Mamanya. Hari ini, untuk kesekian ribu kalinya, dengan pikiran hampir dipenuhi rasa putus asa, Venerose kembali mengulangnya.

"Wahai engkau yang bernama kanker di rahim Ibuku, kau tahu aku tak punya cukup uang untuk mengeluarkanmu dari sana, tidakkah kau mengerti bahwa aku juga ingin bersahabat denganmu? Tidakkah kau ingin berdiam di sana sebagai sahabat saja, agar tidak menyakiti tubuh Ibuku? Aku akan sangat berterima kasih dan menyayangimu andai kau mengerti yang kuinginkan," ujarnya menghiba, suaranya tersendat menahan isak.

"Wahai Kekasih hatiku yang berkuasa atas diriku dan kanker di rahim Ibuku, mohon kirimkan keinginanku pada penyakit yang berdiam di rahim Ibuku, agar kami dapat hidup berdampingan dalam damai," doanya lagi dalam hati. Venerose memejamkan mata sambil meletakkan kepala perlahan di perut Mamanya, merasakan dadanya sendiri yang sesak.

"Kamu nggak kerja, Rose?"

Venerose terkesiap, mengangkat dengan cepat kepalanya, dikejutkan suara sang Mama yang sudah bangun tanpa sepengetahuannya. Semakin erat digenggamnya tangan letih itu sambil terus memanggil Kekasih hatinya. "Enggak Ma, hari ini ada jadwal ujian pagi. Tadi sudah telepon kantor untuk minta izin. Mama gimana hari ini?"

"Yah, masih seperti kemarin, badan sakit semua."

"Sabar ya Ma, aku akan cari jalan untuk mendapatkan biaya operasi."

"Mama hanya bisa berdoa dan memohon ampunan, semoga Tuhan mendengar."

"Aamiin Ma, aamiin. Tuhan pasti mendengar doa kita."

"Kamu anak yang baik."

"Aku kuliah dulu ya Ma, kalau ada apa-apa, Bibi suruh cepet telepon," pamit gadis itu sambil mengecup kening Mamanya. Ditahannya air mata agar tidak bergulir.

Mamanya mengangguk mengiringi kepergian putri satu-satunya yang semakin beranjak dewasa itu. Ditatapnya punggung putrinya lenyap di balik pintu. Satu saja, namun menceriakan harinya.

"Sayangilah putriku, ya Tuhan. Aku mohon berikanlah yang diminta hati putriku ini," bisiknya perlahan mengiringi kepergian putrinya.

Dua hati dan dua kekuatan bersatu menjalin cinta untuk memohon belas kasih dari-Nya, mengiringi langkah pikiran dan ayunan kaki, agar tidak segera terperosok dalam lembah nista. Dan, di sana alam pun mendengar alunan surgawi yang kian memancar menyeruak di antara gelap.

*

"Rose. Venerose, bangun Sayang, sudah Subuh."

Venerose melompat dari pembaringannya bukan karena suara lembut dan menenangkan jiwa dari mushola yang berada tidak jauh dari rumahnya, tapi oleh sajian indah di pagi buta, yang memanggil air untuk segera keluar dari matanya, menyaksikan sang Mama duduk di sisi pembaringannya. Sudah berapa lama Mamanya tidak pernah beranjak dari pembaringan? Sudah berapa lama Mamanya tidak lagi menciumnya sebelum tidur dan dengan lembut membangunkannya untuk menyambut indahya pagi? Venerose bagai mimpi indah dan tak ingin berkedip sedikitpun. Ditatapnya sang Mama lebih dekat, dielusnya kulit sang Mama sambil bertanya tak percaya, "Mama? Ini bener Mama, dan aku tidak sedang mimpi?"

Mamanya tersenyum lembut bersama sisa-sisa lesu. Dielusnya rambut putrinya dengan penuh kerinduan, wajah itu Nampak segar walau masih terlihat menahan sakit. "Kenapa, Sayang? Kamu kaget Mama sudah bisa berjalan? Bahkan Mama sudah Shalat Subuh tadi. Sana, sekarang giliranmu menghadap-Nya."

Venerose memeluk Mamanya dengan penuh syukur, air mata bahagia bercampur takjub meluncur deras di pipinya, menggetarkan seluruh persendian gadis itu. Mamanya yang sudah berbulan-bulan hanya bisa berbaring pasrah kini sudah duduk di sisi pembaringannya dan melakukan hal yang sudah lama dirindukannya. Mamanya yang sudah tak pernah lagi tertawa kini tersenyum lebut di depannya. Pundak Venerus terguncang oleh tangis bahagia.

"Mama jangan banyak gerak dulu, nanti kita ke dokter agar tahu perkembangan penyakit Mama, ya."

"Mama juga nggak tahu dari mana datangnya kekuatan ini. Tadi malam Mama merasa badan Mama tidak sesakit biasanya, lalu Mama coba berdiri, ternyata juga nggak selemas biasanya."

"Tapi, jangan terlalu banyak gerak juga, Ma."

"Mama capek rebahan terus, Rose. Mama mau coba jalan pagi, siapa tahu dengan sering menghirup udara pagi kesehatan Mama semakin baik."

"Rose ikut, Ma. Tunggu sebentar, ya."

Mamanya mengangguk sambil mengulas senyum. Venerose segera turun dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan mengambil air wudhu, gadis itu segera meleburkan dirinya dalam doa-doa penuh syukur. Hatinya ingin berbicara banyak pada-Nya, tetapi lidahnya terlalu kelu untuk menghitung betapa banyak cinta yang telah Dia limpahkan padanya.

"Ya Allah, aku tak hendak bertanya segala hal yang kelak akan membuatku lupa mensyukuri nikmat-Mu ini. Aku juga tak akan bertanya apakah benar Engkau telah menyampaikan pesanku pada penyakit kanker itu. Aku hanya tahu bahwa aku benar-benar mencintai-Mu, ya Allah. Aku mohon, janganlah Kau biarkan aku menghilangkan perasaan ini pada-Mu."

*

"Kenapa kamu pindah kerja?" Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Hadi sudah berada di depan Venerose, menemuinya di tempat kerjanya yang baru, tentu saja dengan berbagai macam pertanyaan yang semakin membuat Venerose tercekat. Bisu, dan diam.

"Rose. Jelaskan padaku kenapa kamu pindah kerja? Apa karena kita sudah putus?" Hadi mencekal lengan Venerose. Wajahnya terlihat gusar.

"Nggak ada hubungannya, Hadi. Aku nggak pernah mencampur aduk urusan pribadi dengan pekerjaan."

"Dan, sekarang kamu sudah melakukannya."

"Papamu yang melakukannya Hadi, bukan aku," jawabnya dalam hati, namun tak ada kata yang dapat dia sampaikan pada wajah menuntut jawaban di depannya. Wajah yang belum dapat dihilangkannya dari mimpi-mimpinya, wajah yang masih terlalu dicintainya.

"Apa karena Papaku, atasanmu?"

Venerose masih membisu, mencoba menyusun kata yang tak juga melahirkan satu pun kalimat yang dapat menghibur pemuda itu.

"Jawab, Rose. Aku akan mencoba melupakanmu walaupun sebenarnya sulit, tapi aku tidak mau berantakannya hubungan kita ini juga membuat hidupmu kacau."

"Hidupku tidak kacau sedikitpun.”

“Trus, kenapa pindah?”

“Aku bekerja di tempat baru ini juga bukan sebuah kekacauan. Aku mensyukurinya."

"Papa bilang kamu akan dipromosikan untuk sebuah jabatan, kenapa kamu menolak dan pindah ke perusahaan lain. Adakah yang salah?"

"Karena Papamu ingin memjadikan aku sebagai gundiknya," jerit Venerose, lagi-lagi dalam hati. Ingin dia katakan pada kekasihnya itu bagaimana Papanya telah merayu dirinya dengan menggunakan kesulitannya sebagai imbalan atas niat busuknya itu. Ingin dia ceritakan bahwa Papanya berniat mengusir Mamanya dari rumah besar mereka setelah berhasil memboyongnya ke dalam rumah mereka. Ditatapnya mata Hadi ingin melihat ke kedalaman nun jauh di sana, adakah dia akan berduka bila dia ceritakan apa yang sebenarnya terjadi? Tapi, mata itu meredup. Venerose tak kuasa menghambur kata yang akan menyakiti orang yang dicintainya itu.

“Jadi?” Mata Hadi masih menuntut jawaban.

"Aku harus pulang Di, Mama harus ke dokter sore ini, maaf." Venerose tak tahan lagi, segera mengambil tasnya dan melangkah hendak pergi.

Hadi segera mencekal lengannya. "Ini pertanyaan terakhirku. Kenapa kamu sudahi hubungan kita tanpa beritahukan padaku apa sebabnya.

“Hadi….”

“Baiklah, aku tak memaksamu menjawab ini, karena aku juga sudah lelah menanyakannya." Lalu melepas tangan Venerose dan membiarkan gadis itu berlalu.

Tak dilihatnya air mata Venerose deras mengalir dari balik punggungnya. Tak dirasakannya luka di hati Venerose yang menganga, tapi coba dikatupkannya kembali. Angin telah membisikkan duka itu, tapi Hadi tak mendengarnya, hanya pedih yang terkirim kepadanya. Keduanya diam dan semakin menjauh. Keramaian hati hanyalah tanda tanya tak pernah terjawab dan tersampaikan. Venerose terus melangkah, mencoba untuk tidak berbalik. Dibisikkannya merdu suara rintihan Cinta agar hatinya tak menangis lagi, menanti saat tirai hitam yang membatasi mereka terkuak.

* di puncak sakit, Kit Rose

_______________________________
Jika diam ini tidak akan membuatmu sakit, aku akan terus diam. Sampai suatu saat angin mengabarkan padamu sebuah kebenaran, ada tirai hitam membatasi ruang kita. ~KR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar