Aku menengadah menatap lembut
mesramu,
di antara untaian indah dari
keremangan senja menyelimuti duka.
Aku menari ceria dalam
kehangatanmu,
di antara bayangan hitam dari
pekatnya malam berbaur luka.
sudahlah cukup
dan mawar hitam tak layu lagi
Aku berenang gembira dalam
balutan cinta,
biarlah semu menggelora
menghentak nadi dan gairahnya,
sudahlah cukup dan aku tak
sepi lagi.
Aku berlari ke tepian jurang
cinta,
tempat kita berlayar dalam
kata
tak akan kucari bahagia di
sana,
sudahlah cukup, gurun pasir
tak gersang lagi.
Kuarungi belantara menyatukan
hati yang terburai,
menyusun dan menanti dirimu di
tiap jengkal desah sepi,
kau datang bawa selingkap awan
kelabu,
dan kau jadikan cintaku bagai
pohon perdu mudah patah.
Tak pernah berhenti aku
mencari di matamu
walau tak pernah kutemukan
diriku di sana
Kau rapat memeluk dan nikmati
ranumku
Tapi
kabut itu menghalangi hatimu
untuk terus kudekap.
Kau lumat garang bibirku
tak jua kudapat kehangatan
di sini aku menjadi saksi bisu
cintaku
berkelana arungi pandangmu
di sini akan kuletakkan
cintaku padamu
kusatukan hati yang rapuh
terhalang tirai hitam cintaku
~
Tepuk tangan bergemuruh di
seluruh sudut ruangan saat Venerose mengakhiri puisinya. Gadis itu
membungkukkan badannya, menghormat pada penonton, lalu lenyap di balik
panggung. Dilipatnya kertas berisi puisi itu, dia masukkan ke dalam kantong celana
sambil berlari menuju ke ruang ganti. Hadi yang telah menunggunya di depan
pintu ruang ganti menjabat tangannya lembut.
"Untukkukah puisi
itu?"
"Sori Di, aku mau ganti
kostum dulu, habis ini giliranku lagi."
"Jawab dulu
pertanyaanku."
"Hadi!" Tiba-tiba
seorang gadis datang dan menggandeng tangan Hadi, kemudian berlalu dari sana.
Venerose diam, menatap
kepergian keduanya. Tangannya mengambil lembaran puisi yang baru saja dibacanya
di atas panggung, meremas dan membuangnya ke lantai. Tak dihiraukannya Hadi
melambaikan tangan sebelum hilang di balik dinding.
"Rose! Cepetan! Sebentar
lagi kita tampil, nih. Ini kostum loe." Lena muncul dan melempar kostum.
“Jangan lama-lama, jangan biarkan penonton menunggu. Loe kan, yang suka bilang
begitu."
Venerose tersenyum, lalu
menyibukkan diri dengan kostum barunya. Dilepasnya rambut palsu yang menutup
kepala, lalu memandang dirinya di cermin. Wajah Hadi menatap penuh tanda tanya di
cermin itu, tapi tak ada yang dapat dijelaskannya pada pemuda itu, agar tak ada
hati terluka kelak.
"Heh! Bengong,
lagi." Lena menepuk pundaknya.
"Gimana rambutku?"
"Gila loe, terlalu kuning
kali tuh rambut, tapi keren juga, sih. Mau bawain lagu apa dulu, nih?" tanya Lena bersemangat.
"She's Gone."
"Widih. Tapi, nggak pake
sedih, ya. Gue lihat wajah loe berubah tiap habis bawain lagu itu."
Venerose tersenyum lagi
memandang temannya, lalu kembali menatap cermin. Lagu itu selalu dinyanyikan
Hadi jika mereka sedang berdua. Entah mengapa tiba-tiba mereka berdua
menyukainya hingga tak terasa kini lagu itu menjadi lagu perpisahan mereka.
"Rose, sori nih, jangan
marah, ya."
Menatap, diam.
"Kenapa sih, loe putusin
Hadi? Bukannya kalian masih saling cinta?"
Masih diam, mengalihkan
tatapan kembali ke cermin.
"Gue lihat Hadi juga
masih suka nguber-nguber elo."
Menarik napas.
"Loe juga masih cinta
kan, sama dia?"
Mengangguk.
"Lalu?"
“Lalu apa?” Venerose memandang
temannya sekilas, lalu mengambil gitarnya dan berlalu keluar dari kamar ganti.
Lena mengangkat pundak dan mengikuti langkah temannya setengah berlari.
*
Venerose duduk tak berkedip
memandangi dirinya di cermin. Seraut wajah yang tiba-tiba sangat dibencinya
muncul dalam cermin, menyeringai padanya sambil tersenyum tipis. Kelembutan
yang ditawarkannya membuat gadis itu merasa terluka dan terhina.
"Apa yang sudah kulakukan
hingga membuat lelaki yang pantas menjadi Papaku itu menggodaku?" bisiknya
dalam hati.
Satu per satu kalimat yang
diucapkan Baskoro, atasannya, melintas deras menerjang ingatan dan hati
lembutnya.
"Bapak memanggil
saya?"
"Hmm, duduklah."
Baskoro berdiri perlahan, mengambil sebuah amplop tebal dari laci mejanya, lalu
meletakkan amplop itu di depan Venerose.
Venerose menatap penuh tanda
tanya.
“Buka."
Ragu-ragu Venerus mengambil
amplop itu dan membukanya perlahan. Matanya melebar melihat uang ratusan ribu
tersusun rapi di sana. Lalu, memandang Baskoro lagi, semakin bertanya-tanya.
"Uang itu untukmu."
"Untuk saya? Maksud
Bapak?"
"Mamamu sedang sakit,
kan?"
Mengangguk.
"Aku dengar harus
dioperasi?"
Mengangguk lagi.
"Nah, uang itu bisa kamu
gunakan untuk membiayai operasi Mamamu. Jumlahnya lebih dari cukup. Aku sudah
bertanya ke rumah sakit rujukan perusahaan kita, yang aku berikan itu sekaligus
bisa untuk biaya berobat jalan."
Tak berkedip, Venerose menatap
atasannya tak percaya. Ingin diletakannya kembali amplop itu di meja, tapi
wajah Mamanya segera memenuhi rongga matanya, wajah pias menahan kesakitan.
"Terima kasih sebelumnya, Pak. Bapak ternyata sangat perhatian pada
bawahan."
"Sudah seharusnya kan,
saya memperhatikan sekretarisku?"
"Sekali lagi terima
kasih, Pak. Nanti akan saya ajukan sebagai pinjaman dan dipotong dari gaji saya
setiap bulan."
"Oh, jangan. Itu dari
saya pribadi. Tidak usah dimasukkan dalam pinjaman kantor."
"Pribadi?"
"Ya, betul."
"Tapi…."
"Tapi, ada satu
permintaan saya."
"Apa itu, Pak? Dengan
senang hati dan semampu saya akan saya usahakan untuk memenuhi permintaan
Bapak." Venerose menahan air matanya agar tidak mengalir. Kebahagiaan
sungguh sangat meliputi hatinya. Rasa syukur segera dipanjatkannya pada Sang Pemberi.
Baskoro tersenyum memandang
Venerose. "Tinggalkan Hadi."
"Maksud Bapak?"
Tersentak.
Basokoro menghela napas dalam,
menyalakan rokoknya, lalu kembali memandang Venerose sambil tersenyum.
"Kamu tidak cocok untuknya."
"Saya tidak
mengerti."
Baskoro tidak menjawab,
berdiri menghampiri Venerose dan tersenyum sambil memandangi gadis itu
lekat-lekat, lalu menggenggam tangan Venerose sambil berkata, "Kamu lebih cocok bersamaku
karena kamu lebih membutuhkan aku. Kamu cantik dan cerdas, cekatan, juga pandai
bergaul. Sementara aku juga cukup dapat mengimbangi dirimu dengan apa yang
sekarang aku miliki. Kita akan menjadi pasangan yang serasi."
Venerose tersentak oleh
lamunannya, ditepisnya bayangan itu. Diusapnya air mata yang mengalir deras di
pipi, lalu dengan cepat diputarnya kembali harapan agar tidak berhenti. Gadis
itu mengalunkan Irama Cinta untuk mencari damai bagi dirinya sendiri. Gadis itu
meyakini, menyatu dengan-Nya akan dapat membuatnya berpikir lebih jernih,
membuatnya lebih dapat berdami dengan diri sendiri. Disingkirkannya amarah
perlahan dari hatinya.
"Uang itu akan dapat
membawa Mama pada kehidupannya yang telah lama hilang di atas
pembaringan," bisiknya pelan, "tapi aku harus menikahinya dan
kehilangan cintaku. Apakah ini pilihan yang adil? Apakah hanya dengan menjadi
gundik saja jalan untuk kesehatan Mama?” bisiknya sambil menatap cermin.
Di luar sana suara adzan
mengalun merdu, Venerus tak mau membiarkan hatinya tersayat-sayat tanpa makna.
Gadis itu berdiri perlahan, menatap sekali lagi dirinya di cermin sebelum
melangkah keluar kamar.
*
Venerose memegang tangan
Mamanya yang sedang terlelap, dan menciumnya dengan penuh cinta. Pikirannya
melayang jauh mencari jalan untuk mendapatkan biaya operasi. Hatinya bergolak
menunggu jawaban dari-Nya, sang Kekasih yang dia yakin tak akan berpaling
darinya. Kamar dengan cahaya redup itu menjadi saksi, bagaimana gundah hati
gadis belia itu. Setapak demi setapak gadis itu mengintip hatinya sendiri, ke
mana hendak melangkah? Dia genggam tangan Mamanya lebih erat sambil mengalunkan
doa-doa dan nada rindu pada-Nya. Dikupasnya hati sedmeikian rupa agar noda
dalam dirinya menipis, dan rindunya sampai kepada-Nya. Dia ulang lagi usahanya
seperti hari-hari lalu, mengelus perut Mamanya, sambil mencoba bicara dengan
bongkahan ganas yang berdiam di rahim Mamanya. Hari ini, untuk kesekian ribu
kalinya, dengan pikiran hampir dipenuhi rasa putus asa, Venerose kembali
mengulangnya.
"Wahai engkau yang
bernama kanker di rahim Ibuku, kau tahu aku tak punya cukup uang untuk
mengeluarkanmu dari sana, tidakkah kau mengerti bahwa aku juga ingin bersahabat
denganmu? Tidakkah kau ingin berdiam di sana sebagai sahabat saja, agar tidak
menyakiti tubuh Ibuku? Aku akan sangat berterima kasih dan menyayangimu andai
kau mengerti yang kuinginkan," ujarnya menghiba, suaranya tersendat
menahan isak.
"Wahai Kekasih hatiku
yang berkuasa atas diriku dan kanker di rahim Ibuku, mohon kirimkan keinginanku
pada penyakit yang berdiam di rahim Ibuku, agar kami dapat hidup berdampingan
dalam damai," doanya lagi dalam hati. Venerose memejamkan mata sambil
meletakkan kepala perlahan di perut Mamanya, merasakan dadanya sendiri yang
sesak.
"Kamu nggak kerja,
Rose?"
Venerose terkesiap, mengangkat
dengan cepat kepalanya, dikejutkan suara sang Mama yang sudah bangun tanpa
sepengetahuannya. Semakin erat digenggamnya tangan letih itu sambil terus
memanggil Kekasih hatinya. "Enggak Ma, hari ini ada jadwal ujian pagi.
Tadi sudah telepon kantor untuk minta izin. Mama gimana hari ini?"
"Yah, masih seperti
kemarin, badan sakit semua."
"Sabar ya Ma, aku akan
cari jalan untuk mendapatkan biaya operasi."
"Mama hanya bisa berdoa
dan memohon ampunan, semoga Tuhan mendengar."
"Aamiin Ma, aamiin. Tuhan
pasti mendengar doa kita."
"Kamu anak yang
baik."
"Aku kuliah dulu ya Ma,
kalau ada apa-apa, Bibi suruh cepet telepon," pamit gadis itu sambil
mengecup kening Mamanya. Ditahannya air mata agar tidak bergulir.
Mamanya mengangguk mengiringi
kepergian putri satu-satunya yang semakin beranjak dewasa itu. Ditatapnya
punggung putrinya lenyap di balik pintu. Satu saja, namun menceriakan harinya.
"Sayangilah putriku, ya
Tuhan. Aku mohon berikanlah yang diminta hati putriku ini," bisiknya
perlahan mengiringi kepergian putrinya.
Dua hati dan dua kekuatan
bersatu menjalin cinta untuk memohon belas kasih dari-Nya, mengiringi langkah
pikiran dan ayunan kaki, agar tidak segera terperosok dalam lembah nista. Dan,
di sana alam pun mendengar alunan surgawi yang kian memancar menyeruak di
antara gelap.
*
"Rose. Venerose, bangun
Sayang, sudah Subuh."
Venerose melompat dari
pembaringannya bukan karena suara lembut dan menenangkan jiwa dari mushola yang
berada tidak jauh dari rumahnya, tapi oleh sajian indah di pagi buta, yang
memanggil air untuk segera keluar dari matanya, menyaksikan sang Mama duduk di
sisi pembaringannya. Sudah berapa lama Mamanya tidak pernah beranjak dari
pembaringan? Sudah berapa lama Mamanya tidak lagi menciumnya sebelum tidur dan
dengan lembut membangunkannya untuk menyambut indahya pagi? Venerose bagai
mimpi indah dan tak ingin berkedip sedikitpun. Ditatapnya sang Mama lebih
dekat, dielusnya kulit sang Mama sambil bertanya tak percaya, "Mama? Ini
bener Mama, dan aku tidak sedang mimpi?"
Mamanya tersenyum lembut
bersama sisa-sisa lesu. Dielusnya rambut putrinya dengan penuh kerinduan, wajah
itu Nampak segar walau masih terlihat menahan sakit. "Kenapa, Sayang? Kamu
kaget Mama sudah bisa berjalan? Bahkan Mama sudah Shalat Subuh tadi. Sana,
sekarang giliranmu menghadap-Nya."
Venerose memeluk Mamanya
dengan penuh syukur, air mata bahagia bercampur takjub meluncur deras di
pipinya, menggetarkan seluruh persendian gadis itu. Mamanya yang sudah
berbulan-bulan hanya bisa berbaring pasrah kini sudah duduk di sisi
pembaringannya dan melakukan hal yang sudah lama dirindukannya. Mamanya yang
sudah tak pernah lagi tertawa kini tersenyum lebut di depannya. Pundak Venerus
terguncang oleh tangis bahagia.
"Mama jangan banyak gerak
dulu, nanti kita ke dokter agar tahu perkembangan penyakit Mama, ya."
"Mama juga nggak tahu
dari mana datangnya kekuatan ini. Tadi malam Mama merasa badan Mama tidak
sesakit biasanya, lalu Mama coba berdiri, ternyata juga nggak selemas
biasanya."
"Tapi, jangan terlalu
banyak gerak juga, Ma."
"Mama capek rebahan terus,
Rose. Mama mau coba jalan pagi, siapa tahu dengan sering menghirup udara pagi
kesehatan Mama semakin baik."
"Rose ikut, Ma. Tunggu
sebentar, ya."
Mamanya mengangguk sambil
mengulas senyum. Venerose segera turun dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi.
Setelah membersihkan diri dan mengambil air wudhu, gadis itu segera meleburkan
dirinya dalam doa-doa penuh syukur. Hatinya ingin berbicara banyak pada-Nya,
tetapi lidahnya terlalu kelu untuk menghitung betapa banyak cinta yang telah
Dia limpahkan padanya.
"Ya Allah, aku tak hendak
bertanya segala hal yang kelak akan membuatku lupa mensyukuri nikmat-Mu ini.
Aku juga tak akan bertanya apakah benar Engkau telah menyampaikan pesanku pada
penyakit kanker itu. Aku hanya tahu bahwa aku benar-benar mencintai-Mu, ya
Allah. Aku mohon, janganlah Kau biarkan aku menghilangkan perasaan ini
pada-Mu."
*
"Kenapa kamu pindah
kerja?" Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Hadi sudah berada di depan
Venerose, menemuinya di tempat kerjanya yang baru, tentu saja dengan berbagai
macam pertanyaan yang semakin membuat Venerose tercekat. Bisu, dan diam.
"Rose. Jelaskan padaku
kenapa kamu pindah kerja? Apa karena kita sudah putus?" Hadi mencekal
lengan Venerose. Wajahnya terlihat gusar.
"Nggak ada hubungannya,
Hadi. Aku nggak pernah mencampur aduk urusan pribadi dengan pekerjaan."
"Dan, sekarang kamu sudah
melakukannya."
"Papamu yang melakukannya
Hadi, bukan aku," jawabnya dalam hati, namun tak ada kata yang dapat dia
sampaikan pada wajah menuntut jawaban di depannya. Wajah yang belum dapat
dihilangkannya dari mimpi-mimpinya, wajah yang masih terlalu dicintainya.
"Apa karena Papaku,
atasanmu?"
Venerose masih membisu,
mencoba menyusun kata yang tak juga melahirkan satu pun kalimat yang dapat
menghibur pemuda itu.
"Jawab, Rose. Aku akan
mencoba melupakanmu walaupun sebenarnya sulit, tapi aku tidak mau berantakannya
hubungan kita ini juga membuat hidupmu kacau."
"Hidupku tidak kacau
sedikitpun.”
“Trus, kenapa pindah?”
“Aku bekerja di tempat baru
ini juga bukan sebuah kekacauan. Aku mensyukurinya."
"Papa bilang kamu akan
dipromosikan untuk sebuah jabatan, kenapa kamu menolak dan pindah ke perusahaan
lain. Adakah yang salah?"
"Karena Papamu ingin
memjadikan aku sebagai gundiknya," jerit Venerose, lagi-lagi dalam hati.
Ingin dia katakan pada kekasihnya itu bagaimana Papanya telah merayu dirinya
dengan menggunakan kesulitannya sebagai imbalan atas niat busuknya itu. Ingin
dia ceritakan bahwa Papanya berniat mengusir Mamanya dari rumah besar mereka
setelah berhasil memboyongnya ke dalam rumah mereka. Ditatapnya mata Hadi ingin
melihat ke kedalaman nun jauh di sana, adakah dia akan berduka bila dia
ceritakan apa yang sebenarnya terjadi? Tapi, mata itu meredup. Venerose tak
kuasa menghambur kata yang akan menyakiti orang yang dicintainya itu.
“Jadi?” Mata Hadi masih
menuntut jawaban.
"Aku harus pulang Di,
Mama harus ke dokter sore ini, maaf." Venerose tak tahan lagi, segera
mengambil tasnya dan melangkah hendak pergi.
Hadi segera mencekal
lengannya. "Ini pertanyaan terakhirku. Kenapa kamu sudahi hubungan kita
tanpa beritahukan padaku apa sebabnya.
“Hadi….”
“Baiklah, aku tak memaksamu
menjawab ini, karena aku juga sudah lelah menanyakannya." Lalu melepas
tangan Venerose dan membiarkan gadis itu berlalu.
Tak dilihatnya air mata
Venerose deras mengalir dari balik punggungnya. Tak dirasakannya luka di hati
Venerose yang menganga, tapi coba dikatupkannya kembali. Angin telah
membisikkan duka itu, tapi Hadi tak mendengarnya, hanya pedih yang terkirim
kepadanya. Keduanya diam dan semakin menjauh. Keramaian hati hanyalah tanda
tanya tak pernah terjawab dan tersampaikan. Venerose terus melangkah, mencoba
untuk tidak berbalik. Dibisikkannya merdu suara rintihan Cinta agar hatinya tak
menangis lagi, menanti saat tirai hitam yang membatasi mereka terkuak.
* di puncak sakit, Kit Rose
_______________________________
Jika diam ini tidak akan
membuatmu sakit, aku akan terus diam. Sampai suatu saat angin mengabarkan
padamu sebuah kebenaran, ada tirai hitam membatasi ruang kita. ~KR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar