Sabtu, 30 Mei 2020

Selimut Hitam


Getah cinta mengukir luka di sudut hati,
ke mana genangan pedih ini hendak terkirim?

Bila rindu memahat sayat,
siapa pelipur dahaga
akan bersatu dalam pelukku?

Beri aku jawabmu
mengapa relung ini selalu berair
Beri aku sapamu
mengapa bisu ini merobek rindu
dan tanyalah
mengapa diam ini menusuk jiwa
lalu
tertatih menyapa bisu

Biarkan aku menyatu dengan dirimu
Biarkan aku menikmati tubuhmu

katanya

~

Wanita itu menyelesaikan kalimat terakhir puisinya, memandangi sekali lagi bait-bait kesakitan yang diukirnya dengan tinta merah di atas selembar kertas berwarna hitam. Kebencian dan dendam memancar indah menari di bola matanya yang tak berhenti berair, lalu diselipkannya kertas hitam itu ke dalam lipatan selimut berwarna hitam di sampingnya. Diletakkannya diam-diam selimut hitam itu di atas meja rias berukir, lalu mengukir wajah halusnya sedemikian rupa, hingga tak lama kemudian wajah cantik itu berubah menjadi wajah tampan berkumis tipis. Dikenakannya kemeja hitam dan celana hitam, mengambil kaca mata hitam, lalu berjalan meninggalkan kamarnya, yang kini menjadi ruang hampa di antara ruang-ruang penuh cahaya gemerlap di tengah gedung-gedung bertingkat.

Tak lama kemudian kakinya berjalan tegap menyisir lorong gelap di tengah kepulan asap kota, ditemani jentik-jentik malam tak bersuara. Wanita itu merapatkan jaket hitamnya sambil mengendus malam, mencari tempat berpijak. Dicengkeramnya ransel berisi selimut hitam di tangannya dengan wajah penuh murka.

"Berangkat Mas?" sapa seorang wanita di ujung jalan.

Wanita itu tersenyum genit mencoba memancing sekedar senyum tipis keluar dari mulut yang sudah tak berpoles gincu lagi itu. Tapi, wanita yang telah berubah menjadi lelaki tampan itu hanya mengangguk tanpa senyum, dan mengumpat dalam hati, 'tunggu sampai kau terjerembab ke jurang terjal karena senyum genitmu itu, wanita jalang,' lalu meneruskan langkahnya memasuki kegelapan malam, menuju sebuah apartemen di seberang jalan. Sesampai di sana wanita itu menghentikan langkah, memperhatikan kanan kiri, lalu memasuki halaman gedung dengan cepat. Pintu besi berderit pelan saat dia buka dan ditutupnya kembali. Matanya melirik tajam pada petugas keamanan berwajah tampan yang sedang duduk di mejanya. Lelaki dengan sorot mata kelam itu balas menatapnya, tak kalah tajam. Wanita itu mengangguk, memberikan isyarat dan berlalu dengan cepat.

Sesampai di ujung lorong, wanita itu menatap penuh dendam pada pintu yang tertutup rapat di depan kamarnya, sebelum menutup pintu kamarnya sendiri. Segera dilepasnya topi dan kaca mata, meletakkannya di meja lusuh berdebu, yang menjadi satu-satunya penghias ruangan kosong itu selain kursi kayu berukir naga bermata merah. Dinyalakannya sebatang kretek sambil berjalan menuju jendela di ujung ruangan kosong dan luas, termangu memandang ke luar jendela. Menunggu.

"Masuk," sahutnya pelan saat terdengar pintu diketuk.

Penjaga keamanan berwajah tampan itu memasuki ruangan, lalu menutup kembali pintunya perlahan, seolah tak ingin jentik pun mendengar deritnya. Sinar cinta terburai penuh luka di matanya, memandang wanita itu berdiri dengan kokoh di tepi jendela. Penjaga keamanan berwajah tampan itu menghela napas sebelum melangkah ke jendela.

“Apa sebenarnya yang kamu cari, Bintang?" tanyanya perlahan. Suaranya mengabarkan betapa ingin dia mendekap erat wanita yang berdiri kokoh itu, namun batu es di mata wanita itu menyurutkan langkahnya. Mata bening itu bersinar penuh kemarahan entah karena apa. Arya menelan kembali kalimat rindunya melewati lehernya yang kering.

"Kamu tidak usah banyak bertanya, Arya. Kalau kamu sudah bosan menemaniku, pergilah. Aku tak akan memaksamu."

"Mana bisa aku membiarkanmu sendirian di sini setiap malam?"

"Kalau begitu, jangan banyak tanya. Aku toh tidak meminta banyak."

"Oke. Tugasku hanya menemanimu sebentar, mengisyaratkan pada penghuni lain bahwa kamu tidak sendiri di sini. Sudah kulakukan. Tapi, apa maksud dari semua ini? Kamu menyewa unit kamar ini dengan harga yang tidak murah, tapi untuk apa? Aku lihat kamu berdiam di kamar ini tak pernah lebih dari dua jam, lalu menghilang entah ke mana. Selanjutnya, kamar ini kamu biarkan kosong, sampai sekarang."

Bintang menangkap ada gurat kelam pada mata Arya. Hatinya bergolak ingin berlari ke dalam pelukan laki-laki itu memohon perlindungan, namun mata bekunya menghalangi getar-getar rindu untuk bersatu. Tak dapat dia pungkiri, tatapan teduh dan perhatian Arya sudah sempurna membuatnya luluh, namun hitam dan sakitnya sebuah malam begitu kuat terbayang dalam kenangan. Bintang menggelengkan kepala tipis, berusaha menepis bayangan masa lalu yang tiba-tiba melintas di ingatannya, menggores luka yang belum sembuh.

"Aku hanya memintamu untuk menemaniku, bukan untuk memikirkan urusan pribadiku."

"Tapi, aku berhak. Kamu sudah mengundangku masuk ke dalam kehidupanmu, jadi aku berhak juga mengenal biarpun sedikit tentang dirimu."

"Kalau begitu, pergilah. Aku tak akan mengganggumu lagi."

"Paling tidak, biarkan aku mengantarmu pulang, Bintang. Di sini aku selalu menjagamu, tapi di jalanan sana bahaya menanti setiap kamu melangkah keluar dari sini."

"Ingat, di jalanan sana aku seorang laki-laki."

"Apa tujuan penyamaranmu ini?"

"Itu bukan urusanmu."

"Kalau begitu berikan aku alamat atau nomor teleponmu."

"Itu juga tidak ada hubungannya dengan kehidupanmu."

Arya menatap Bintang dengan kekecewaan disembunyikan, lalu mengambil secarik kertas dari kantong bajunya dan meletakkannya di meja. "Ini aku tinggalkan nomor telepon genggamku. Siapa tahu suatu saat kamu ingin menghubungi aku." Kemudian berjalan keluar dan menutup pintu tanpa menoleh lagi.

Bintang berdiri kaku, ada keinginan kuat untuk mengejar Arya, tapi langkahnya terhalang kebencian. Diambilnya kertas di meja yang ditinggalkan Arya, lalu berjalan lagi ke jendela. Kembali mata hitamnya menelusuri pekat malam di luar sana dengan air mata deras mengalir.

*

Seminggu kemudian apartemen gempar, mayat seorang lelaki ditemukan tergeletak kaku dengan mata melebar dan mulut penuh dengan busa di sebuah kamar apartemen itu. Keterangan polisi sementara, dibunuh dengan racun mematikan. Tidak ada tanda-tanda kekerasan atau perampokan di dalam kamar itu selain sebuah selimut berwarna hitam menyelimuti tubuh kaku lelaki bernasib malang itu.

"Pak, saya menemukan secarik kertas berwarna hitam di dalam gelas anggur di meja sudut." Seorang polisi tak berseragam melapor pada atasannya.

"Ada petunjuk lain?" Mengerutkan dahi.

"Tidak ada, Pak. Hanya saja, kertas ini seperti bekas ada tulisan dengan tinta merah, tapi sudah tak terbaca karena tintanya hilang bercampur dengan anggur."

"Bawa ke laboratorium untuk sidik jari. Pasti di sana ada jejak."

"Siap, Pak."

"Pak Arya, saya minta data lengkap tentang seluruh penghuni kamar di apartemen ini."

"Siap, Pak."

Arya berlalu dengan cepat meninggalkan kamar itu. Tiba-tiba langkahnya terhenti dan dadanya berdegup kencang saat memandang pintu kamar Bintang yang letaknya tepat berhadapan dengan pintu kamar tempat ditemukan mayat itu. Matanya nyalang menatap ke sela-sela pintu dan lantai.

"Ada apa, Pak Arya?"

"Tidak Pak, saya lupa mengingatkan petugas kebersihan untuk membersihkan lorong ini."

"Jangan dibersihkan dulu sampai kami selesai mengadakan penyidikan, Pak Arya."

"Siap Pak."

Dengan cepat Arya mengambil sobekan kertas berwarna hitam di bawah pintu itu dan berlalu dari sana dengan wajah berkerut penuh tanda tanya. Digenggamnya kertas itu sambil merekam semua kejadian di kamar yang baru saja ditinggalkannya. Diamatinya sobekan kertas hitam yang tercecer di sela pintu kamar Bintang dan dibandingkannya dengan kertas yang dia temukan di gelas anggur korban.

*

Pagi keesokan harinya, Arya menyeberangi jalan dan memasuki sebuah toko kecil di depan pintu gerbang sebuah apartemen mewah. Toko ketiga setelah pagi yang cerah ini. Dikitarinya toko itu dengan mata tajamnya dan mengambil gulungan kertas berwarna hitam di sudut rak. Diamatinya dengan seksama sobekan kertas di tangannya dan yang masih berupa gulungan. "Sama persis," gumamnya dalam hati.

"Emang ada Bu, yang beli ini?" tanyanya sambil menunjukkan gulungan kertas di tangannya pada pemilik toko.

"Ya ada dong Den, kalau nggak ada ngapain dipajang."

"Buat apa ya, kertas warna hitam?" Arya menertawakan dirinya sendiri dengan pertanyaan bodoh yang dilontarkannya pada Ibu pemilik toko itu.

"Emang jarang sih, yang beli warna hitam. Itu pesanan non Bintang."

Alarm dengan nyaring berbunyi di kepala Arya. Dia temukan sobekan kertas yang sama di pintu kamar Bintang. Dan, sekarang Ibu pemilik toko itu memberitahukan bahwa gulungan kertas berwarna hitam itu adalah pesanan Bintang.

"Bintang? Siapa itu, Bu?"

"Dia itu salah satu penghuni apartemen ini, pelanggan setia saya. Orangnya cantik Den, baik pula, tapi sudah satu minggu ini nggak pernah datang lagi."

"Kenapa emangnya, Bu?"

"Nggak tahu juga, Den. Saya juga kangen sama non Bintang. Biasanya dia suka lama berdiri di depan toko saya sambil melamun."

Arya mencatat keterangan kecil ini dalam hati. "Rugi dong Ibu, sudah belanja pesanan pelanggan, tapi nggak dibeli?"

"Ah, nggak juga, Den. Soalnya setiap beli di sini non Bintang selalu memberikan uang lebih pada saya. Kembaliannya nggak pernah diambil."

"Oh, begitu. Ya sudah, saya beli samsunya satu bungkus Bu, kembaliannya juga nggak saya ambil."

"Wah, sebenarnya bisa dapat dua bungkus ini, Den."

"Nggak apa-apa Bu, satu bungkus saja." Arya menukar uangnya dengan pesanannya, membalas tawa pemilik toko, lalu berjalan perlahan keluar toko. Ditatapnya apartemen tempatnya bertugas sambil berpikir keras. Apatemen tempatnya bertugas sangat jelas terlihat dari toko itu, dan menurut keterangan pemilik toko, Bintang tinggal di apartemen mewah ini. Arya merasakan ada sesuatu yang penting dan menarik yang dapat membuat Bintang betah berlama-lama berdiri di sana.

"Hmmm…, Bintang bisa mengawasi orang-orang yang keluar masuk dari apartemen itu dari toko ini," gumamnya pelan. "Dan dia sudah mencatat jadwal keluar masuk seseorang." Dia nyalakan sebatang kreteknya, lalu berjalan cepat meninggalkan toko itu. Dadanya sesak menahan beribu rasa. Wajah Bintang tak mau lepas dari hatinya, tapi semakin hari pandangan itu semakin pekat berhias pedih. Entah mengapa.

*

Arya memasuki kamar apartemen Bintang setelah semua polisi lebih dulu berada di dalam. Kepalanya menunduk tak berani menatap wajah Bintang yang memandangnya entah dengan reaksi seperti apa.

"Kamu?" Mata Bintang menatap Arya tak percaya. Dibiarkannya dua orang polisi memborgol tangannya. Dibiarkannya juga air deras mengalir dari matanya yang sayu, tapi tak kehilangan keindahannya. Mulutnya terkunci rapat dengan gigi gemeletuk menahan pedih berbaur amarah.

"Maafkan aku, Bintang. Akulah detektif yang diceritakan oleh para polisi ini, dan aku yang mengungkap kasus pembunuhan yang kamu lakukan."

"Petugas keamanan itu?"

"Itu kerja sampinganku untuk biaya kuliahku selama ini."

"Dan, sekarang kamu sudah puas?" Mata Bintang tak dapat menyembunyikan kesakitan dan murka di dadanya.

Arya menggeleng dan menatapnya dengan lembut.

"Mengapa? Apa ini belum cukup untuk membuatmu puas?"

"Karena aku mencintaimu, sama seperti aku mencintai kebenaran. Keduanya telah menguasai hatiku."

"Mencintaiku, dan kamu wujudkan dengan memenjarakan aku?"

Arya memberikan tanda pada kedua polisi yang memegangi Bintang untuk meninggalkan kamar. Digenggamnya tangan Bintang dengan lembut ingin mengirimkan kehangatan. Bintang tak dapat menarik tangannya dan memalingkan muka. Air matanya semakin deras mengalir, tangannya menggigil dan gemetar dalam genggaman Arya.

"Kamu tahu, Arya? Janin yang ada di kandunganku ini adalah anak dari laki-laki yang kamu temukan mulutnya telah berbusa itu. Ya, aku yang memberikan racun itu kepadanya, melalui tinta yang kupakai untuk menuliskan puisi itu. Puisi yang pernah dia bacakan sebelum memperkosaku. Dan, selimut hitam itu, adalah selimut yang dia tutupkan di tubuhku sebelum pergi." Bintang menatap tajam, menantang pandangan mata Arya yang semakin lembut dan penuh gelora cinta. Bintang kembali memalingkan muka tak ingin menikmati getaran yang menyakitkan persendian hatinya itu.

"Dan, kalian para penegak hukum, hanya memberikan ganjaran padanya beberapa bulan kurungan. Apa menurutmu itu bisa membersihkan luka di hatiku dan noktah di wajahku? Apa menurutmu itu dapat menghapus kekelaman dalam tiap tidurku? Kamu tidak merasakannya, Arya. Kamu tak pernah bisa merasakan kesakitanku. Maka jangan sekali-sekali mengatakan kamu lakukan ini atas nama cinta."

"Bintang."

"Keluar! Pergi kamu!" Bintang berteriak histeris, "Pergi kamu, Arya. Bahkan aku tak berani lagi mengharapkan dirimu. Pergilah Arya, kumohon. Jangan lagi menambah rasa sakitku."

Arya menarik Bintang ke dalam pelukannya. Dibelainya wajah penuh keputusasaan itu, lalu dikulumnya bibir pucatnya dengan lembut. Bintang tak dapat lagi menahan kesakitan dan ditariknya wajahnya, lalu mundur beberapa langkah menjauhi Arya.

"Aku sangat mencintaimu Bintang, sejak pertama kali melihatmu. Tak dapat kuhilangkan ini dari hatiku."

Bintang memalingkan muka.

"Kamu kira aku tidak menahan siksa menyadari apa yang sebenarnya terjadi? Mengungkap kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang diam-diam sangat aku cintai. Apa kamu pikir ini tidak menyiksa?"

Bintang membisu.

"Tapi, aku harus melakukannya."

"Sekarang kau sudah tahu siapa aku. Pergilah. Jangan lagi kita saling menyiksa."

"Tidak. Aku akan terus bersamamu menghadapi ini."

"Aku sudah menjadi sampah busuk, Arya. Aku tak pantas untukmu. Hidupku sudah kotor dan hitam, jangan kau ceburkan dirimu yang bersih ke dalam lumpur. Aku mohon, pergilah."

Arya membungkam bibir Bintang dengan kehangatan. Air mata Bintang menyatukan kehangatan panjang di antara keduanya.

"Aku akan terus mendampingimu sampai proses persidangan selesai."

"Aku tidak mencintaimu Arya, jadi percuma kau lakukan ini."

Arya mendaratkan lagi kehangatan di bibir Bintang yang semakin bergetar. Dikirimnya sejuta cinta ke dalam bibir yang perlahan mulai menghangat dan bergerak lembut mengikuti irama cinta itu.

"Aku akan menunggu sampai masa hukumanmu selesai. Jangan kau padamkan api cinta di matamu itu, sampai aku menjemputmu dari jeruji yang mengurungmu kelak."

Bintang tak dapat lagi menolak hatinya, dia hanya bisa merasakan kuncup-kuncup layu yang perlahan mengembang dalam alunan kehangatan yang sedang mereka reguk. Kebahagiaan di antara perjalanan sepi yang menghadang menyelusup dalam hatinya. Angin sejuk menyeruak dari jendela yang terbuka, mengiringi kehangatan berbalut penantian untuk bersatu.

* di dalam puisi, Kit Rose

_____________________________________
Jasadku terkulai beku ketika nyanyian sukma membahana ngilu, menapaki pencarian panjang tiada akhir. Temaram memudar bersama binar bersimbah peluh, akankah pencarian ini berakhir? Akulah si kucing hitam memandang kelam bertemu cinta di keremangan senja. Bagai alam terdiam dalam kesakitan, cinta bertebar di seluruh penjurunya. Aku pun tak akan pernah lelah menunggumu, kubiarkan diriku sendiri nikmati penantian. Akulah si kucing hitam menatap wajah-wajah cinta, ingin kubisikkan aku lelah menantimu, tapi tak kulakukan dan aku pun masih menanti. Kini aku menatapmu dengan penuh cinta, walau kita berdiri di antara dua ruang berbeda. ~KR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar