Getah cinta mengukir luka di
sudut hati,
ke mana genangan pedih ini
hendak terkirim?
Bila rindu memahat sayat,
siapa pelipur dahaga
akan bersatu dalam pelukku?
Beri aku jawabmu
mengapa relung ini selalu
berair
Beri aku sapamu
mengapa bisu ini merobek rindu
dan tanyalah
mengapa diam ini menusuk jiwa
lalu
tertatih menyapa bisu
Biarkan aku menyatu dengan
dirimu
Biarkan aku menikmati tubuhmu
katanya
~
Wanita itu menyelesaikan
kalimat terakhir puisinya, memandangi sekali lagi bait-bait kesakitan yang
diukirnya dengan tinta merah di atas selembar kertas berwarna hitam. Kebencian
dan dendam memancar indah menari di bola matanya yang tak berhenti berair, lalu
diselipkannya kertas hitam itu ke dalam lipatan selimut berwarna hitam di
sampingnya. Diletakkannya diam-diam
selimut hitam itu di atas meja rias berukir, lalu mengukir wajah halusnya
sedemikian rupa, hingga tak lama kemudian wajah cantik itu berubah menjadi
wajah tampan berkumis tipis. Dikenakannya kemeja hitam dan celana hitam,
mengambil kaca mata hitam, lalu berjalan meninggalkan kamarnya, yang kini
menjadi ruang hampa di antara ruang-ruang penuh cahaya gemerlap di tengah
gedung-gedung bertingkat.
Tak lama kemudian kakinya
berjalan tegap menyisir lorong gelap di tengah kepulan asap kota, ditemani
jentik-jentik malam tak bersuara. Wanita itu merapatkan jaket hitamnya sambil
mengendus malam, mencari tempat berpijak. Dicengkeramnya ransel berisi selimut hitam
di tangannya dengan wajah penuh murka.
"Berangkat Mas?"
sapa seorang wanita di ujung jalan.
Wanita itu tersenyum genit
mencoba memancing sekedar senyum tipis keluar dari mulut yang sudah tak
berpoles gincu lagi itu. Tapi, wanita yang telah berubah menjadi lelaki tampan
itu hanya mengangguk tanpa senyum, dan mengumpat dalam hati, 'tunggu sampai kau
terjerembab ke jurang terjal karena senyum genitmu itu, wanita jalang,' lalu
meneruskan langkahnya memasuki kegelapan malam, menuju sebuah apartemen di seberang
jalan. Sesampai di sana wanita itu menghentikan langkah, memperhatikan kanan
kiri, lalu memasuki halaman gedung dengan cepat. Pintu besi berderit pelan saat
dia buka dan ditutupnya kembali. Matanya melirik tajam pada petugas keamanan
berwajah tampan yang sedang duduk di mejanya. Lelaki dengan sorot mata kelam
itu balas menatapnya, tak kalah tajam. Wanita itu mengangguk, memberikan
isyarat dan berlalu dengan cepat.
Sesampai di ujung lorong,
wanita itu menatap penuh dendam pada pintu yang tertutup rapat di depan
kamarnya, sebelum menutup pintu kamarnya sendiri. Segera dilepasnya topi dan
kaca mata, meletakkannya di meja lusuh berdebu, yang menjadi satu-satunya
penghias ruangan kosong itu selain kursi kayu berukir naga bermata merah.
Dinyalakannya sebatang kretek sambil berjalan menuju jendela di ujung ruangan
kosong dan luas, termangu memandang ke luar jendela. Menunggu.
"Masuk," sahutnya
pelan saat terdengar pintu diketuk.
Penjaga keamanan berwajah
tampan itu memasuki ruangan, lalu menutup kembali pintunya perlahan, seolah tak
ingin jentik pun mendengar deritnya. Sinar cinta terburai penuh luka di
matanya, memandang wanita itu berdiri dengan kokoh di tepi jendela. Penjaga
keamanan berwajah tampan itu menghela napas sebelum melangkah ke jendela.
“Apa sebenarnya yang kamu
cari, Bintang?" tanyanya perlahan. Suaranya mengabarkan betapa ingin dia
mendekap erat wanita yang berdiri kokoh itu, namun batu es di mata wanita itu
menyurutkan langkahnya. Mata bening itu bersinar penuh kemarahan entah karena
apa. Arya menelan kembali kalimat rindunya melewati lehernya yang kering.
"Kamu tidak usah banyak
bertanya, Arya. Kalau kamu sudah bosan menemaniku, pergilah. Aku tak akan
memaksamu."
"Mana bisa aku
membiarkanmu sendirian di sini setiap malam?"
"Kalau begitu, jangan
banyak tanya. Aku toh tidak meminta banyak."
"Oke. Tugasku hanya
menemanimu sebentar, mengisyaratkan pada penghuni lain bahwa kamu tidak sendiri
di sini. Sudah kulakukan. Tapi, apa maksud dari semua ini? Kamu menyewa unit
kamar ini dengan harga yang tidak murah, tapi untuk apa? Aku lihat kamu berdiam
di kamar ini tak pernah lebih dari dua jam, lalu menghilang entah ke mana. Selanjutnya, kamar ini kamu biarkan kosong, sampai sekarang."
Bintang menangkap ada gurat
kelam pada mata Arya. Hatinya bergolak ingin berlari ke dalam pelukan laki-laki
itu memohon perlindungan, namun mata bekunya menghalangi getar-getar rindu
untuk bersatu. Tak dapat dia pungkiri, tatapan teduh dan perhatian Arya sudah
sempurna membuatnya luluh, namun hitam dan sakitnya sebuah malam begitu kuat
terbayang dalam kenangan. Bintang menggelengkan kepala tipis, berusaha menepis
bayangan masa lalu yang tiba-tiba melintas di ingatannya, menggores luka yang belum sembuh.
"Aku hanya memintamu
untuk menemaniku, bukan untuk memikirkan urusan pribadiku."
"Tapi, aku berhak. Kamu
sudah mengundangku masuk ke dalam kehidupanmu, jadi aku berhak juga mengenal
biarpun sedikit tentang dirimu."
"Kalau begitu, pergilah.
Aku tak akan mengganggumu lagi."
"Paling tidak, biarkan
aku mengantarmu pulang, Bintang. Di sini aku selalu menjagamu, tapi di jalanan
sana bahaya menanti setiap kamu melangkah keluar dari sini."
"Ingat, di jalanan sana
aku seorang laki-laki."
"Apa tujuan penyamaranmu
ini?"
"Itu bukan
urusanmu."
"Kalau begitu berikan aku
alamat atau nomor teleponmu."
"Itu juga tidak ada
hubungannya dengan kehidupanmu."
Arya menatap Bintang dengan
kekecewaan disembunyikan, lalu mengambil secarik kertas dari kantong bajunya
dan meletakkannya di meja. "Ini aku tinggalkan nomor telepon genggamku.
Siapa tahu suatu saat kamu ingin menghubungi aku." Kemudian berjalan
keluar dan menutup pintu tanpa menoleh lagi.
Bintang berdiri kaku, ada
keinginan kuat untuk mengejar Arya, tapi langkahnya terhalang kebencian.
Diambilnya kertas di meja yang ditinggalkan Arya, lalu berjalan lagi ke
jendela. Kembali mata hitamnya menelusuri pekat malam di luar sana dengan air
mata deras mengalir.
*
Seminggu kemudian apartemen
gempar, mayat seorang lelaki ditemukan tergeletak kaku dengan mata melebar dan
mulut penuh dengan busa di sebuah kamar apartemen itu. Keterangan polisi sementara,
dibunuh dengan racun mematikan. Tidak ada tanda-tanda kekerasan atau perampokan
di dalam kamar itu selain sebuah selimut berwarna hitam menyelimuti tubuh kaku
lelaki bernasib malang itu.
"Pak, saya menemukan
secarik kertas berwarna hitam di dalam gelas anggur di meja sudut."
Seorang polisi tak berseragam melapor pada atasannya.
"Ada petunjuk lain?"
Mengerutkan dahi.
"Tidak ada, Pak. Hanya
saja, kertas ini seperti bekas ada tulisan dengan tinta merah, tapi sudah tak
terbaca karena tintanya hilang bercampur dengan anggur."
"Bawa ke laboratorium
untuk sidik jari. Pasti di sana ada jejak."
"Siap, Pak."
"Pak Arya, saya minta
data lengkap tentang seluruh penghuni kamar di apartemen ini."
"Siap, Pak."
Arya
berlalu dengan cepat meninggalkan kamar itu. Tiba-tiba langkahnya terhenti dan
dadanya berdegup kencang saat memandang pintu kamar Bintang yang letaknya tepat
berhadapan dengan pintu kamar tempat ditemukan mayat itu. Matanya nyalang
menatap ke sela-sela pintu dan lantai.
"Ada apa, Pak Arya?"
"Tidak Pak, saya lupa
mengingatkan petugas kebersihan untuk membersihkan lorong ini."
"Jangan dibersihkan dulu
sampai kami selesai mengadakan penyidikan, Pak Arya."
"Siap Pak."
Dengan
cepat Arya mengambil sobekan kertas berwarna hitam di bawah pintu itu dan
berlalu dari sana dengan wajah berkerut penuh tanda tanya. Digenggamnya kertas
itu sambil merekam semua kejadian di kamar yang baru saja ditinggalkannya.
Diamatinya sobekan kertas hitam yang tercecer di sela pintu kamar Bintang dan
dibandingkannya dengan kertas yang dia temukan di gelas anggur korban.
*
Pagi keesokan harinya, Arya
menyeberangi jalan dan memasuki sebuah toko kecil di depan pintu gerbang sebuah
apartemen mewah. Toko ketiga setelah pagi yang cerah ini. Dikitarinya toko itu
dengan mata tajamnya dan mengambil gulungan kertas berwarna hitam di sudut rak.
Diamatinya dengan seksama sobekan kertas di tangannya dan yang masih berupa gulungan.
"Sama persis," gumamnya dalam hati.
"Emang ada Bu, yang beli
ini?" tanyanya sambil menunjukkan gulungan kertas di tangannya pada
pemilik toko.
"Ya ada dong Den, kalau
nggak ada ngapain dipajang."
"Buat apa ya, kertas
warna hitam?" Arya menertawakan dirinya sendiri dengan pertanyaan bodoh
yang dilontarkannya pada Ibu pemilik toko itu.
"Emang jarang sih, yang
beli warna hitam. Itu pesanan non Bintang."
Alarm dengan nyaring berbunyi
di kepala Arya. Dia temukan sobekan kertas yang sama di pintu kamar Bintang.
Dan, sekarang Ibu pemilik toko itu memberitahukan bahwa gulungan kertas berwarna
hitam itu adalah pesanan Bintang.
"Bintang? Siapa itu,
Bu?"
"Dia itu salah satu
penghuni apartemen ini, pelanggan setia saya. Orangnya cantik Den, baik pula,
tapi sudah satu minggu ini nggak pernah datang lagi."
"Kenapa emangnya,
Bu?"
"Nggak tahu juga, Den.
Saya juga kangen sama non Bintang. Biasanya dia suka lama berdiri di depan toko
saya sambil melamun."
Arya mencatat keterangan kecil
ini dalam hati. "Rugi dong Ibu, sudah belanja pesanan pelanggan, tapi
nggak dibeli?"
"Ah, nggak juga, Den.
Soalnya setiap beli di sini non Bintang selalu memberikan uang lebih pada saya.
Kembaliannya nggak pernah diambil."
"Oh, begitu. Ya sudah,
saya beli samsunya satu bungkus Bu, kembaliannya juga nggak saya ambil."
"Wah, sebenarnya bisa
dapat dua bungkus ini, Den."
"Nggak apa-apa Bu, satu
bungkus saja." Arya menukar uangnya dengan pesanannya, membalas tawa
pemilik toko, lalu berjalan perlahan keluar toko. Ditatapnya apartemen
tempatnya bertugas sambil berpikir keras. Apatemen tempatnya bertugas sangat
jelas terlihat dari toko itu, dan menurut keterangan pemilik toko, Bintang
tinggal di apartemen mewah ini. Arya merasakan ada sesuatu yang penting dan
menarik yang dapat membuat Bintang betah berlama-lama berdiri di sana.
"Hmmm…, Bintang bisa
mengawasi orang-orang yang keluar masuk dari apartemen itu dari toko ini,"
gumamnya pelan. "Dan dia sudah mencatat jadwal keluar masuk
seseorang." Dia nyalakan sebatang kreteknya, lalu berjalan cepat
meninggalkan toko itu. Dadanya sesak menahan beribu rasa. Wajah Bintang tak mau
lepas dari hatinya, tapi semakin hari pandangan itu semakin pekat berhias
pedih. Entah mengapa.
*
Arya memasuki kamar apartemen
Bintang setelah semua polisi lebih dulu berada di dalam. Kepalanya menunduk tak
berani menatap wajah Bintang yang memandangnya entah dengan reaksi seperti apa.
"Kamu?" Mata Bintang
menatap Arya tak percaya. Dibiarkannya dua orang polisi memborgol tangannya.
Dibiarkannya juga air deras mengalir dari matanya yang sayu, tapi tak
kehilangan keindahannya. Mulutnya terkunci rapat dengan gigi gemeletuk menahan pedih berbaur amarah.
"Maafkan aku, Bintang.
Akulah detektif yang diceritakan oleh para polisi ini, dan aku yang mengungkap
kasus pembunuhan yang kamu lakukan."
"Petugas keamanan
itu?"
"Itu kerja sampinganku
untuk biaya kuliahku selama ini."
"Dan, sekarang kamu sudah
puas?" Mata Bintang tak dapat menyembunyikan kesakitan dan murka di
dadanya.
Arya menggeleng dan menatapnya
dengan lembut.
"Mengapa? Apa ini belum
cukup untuk membuatmu puas?"
"Karena aku mencintaimu,
sama seperti aku mencintai kebenaran. Keduanya telah menguasai hatiku."
"Mencintaiku, dan kamu
wujudkan dengan memenjarakan aku?"
Arya memberikan tanda pada
kedua polisi yang memegangi Bintang untuk meninggalkan kamar. Digenggamnya
tangan Bintang dengan lembut ingin mengirimkan kehangatan. Bintang tak dapat
menarik tangannya dan memalingkan muka. Air matanya semakin deras mengalir,
tangannya menggigil dan gemetar dalam genggaman Arya.
"Kamu tahu, Arya? Janin
yang ada di kandunganku ini adalah anak dari laki-laki yang kamu temukan
mulutnya telah berbusa itu. Ya, aku yang memberikan racun itu kepadanya,
melalui tinta yang kupakai untuk menuliskan puisi itu. Puisi yang pernah dia
bacakan sebelum memperkosaku. Dan, selimut hitam itu, adalah selimut yang dia
tutupkan di tubuhku sebelum pergi." Bintang menatap tajam, menantang
pandangan mata Arya yang semakin lembut dan penuh gelora cinta. Bintang kembali
memalingkan muka tak ingin menikmati getaran yang menyakitkan persendian
hatinya itu.
"Dan, kalian para penegak
hukum, hanya memberikan ganjaran padanya beberapa bulan kurungan. Apa menurutmu
itu bisa membersihkan luka di hatiku dan noktah di wajahku? Apa menurutmu itu
dapat menghapus kekelaman dalam tiap tidurku? Kamu tidak merasakannya, Arya.
Kamu tak pernah bisa merasakan kesakitanku. Maka jangan sekali-sekali
mengatakan kamu lakukan ini atas nama cinta."
"Bintang."
"Keluar! Pergi
kamu!" Bintang berteriak histeris, "Pergi kamu, Arya. Bahkan aku tak
berani lagi mengharapkan dirimu. Pergilah Arya, kumohon. Jangan lagi menambah
rasa sakitku."
Arya menarik Bintang ke dalam
pelukannya. Dibelainya wajah penuh keputusasaan itu, lalu dikulumnya bibir
pucatnya dengan lembut. Bintang tak dapat lagi menahan kesakitan dan ditariknya
wajahnya, lalu mundur beberapa langkah menjauhi Arya.
"Aku sangat mencintaimu
Bintang, sejak pertama kali melihatmu. Tak dapat kuhilangkan ini dari
hatiku."
Bintang memalingkan muka.
"Kamu kira aku tidak
menahan siksa menyadari apa yang sebenarnya terjadi? Mengungkap kasus
pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang diam-diam sangat aku cintai. Apa kamu
pikir ini tidak menyiksa?"
Bintang membisu.
"Tapi, aku harus
melakukannya."
"Sekarang kau sudah tahu
siapa aku. Pergilah. Jangan lagi kita saling menyiksa."
"Tidak. Aku akan terus
bersamamu menghadapi ini."
"Aku sudah menjadi sampah
busuk, Arya. Aku tak pantas untukmu. Hidupku sudah kotor dan hitam, jangan kau
ceburkan dirimu yang bersih ke dalam lumpur. Aku mohon, pergilah."
Arya membungkam bibir Bintang
dengan kehangatan. Air mata Bintang menyatukan kehangatan panjang di antara
keduanya.
"Aku akan terus
mendampingimu sampai proses persidangan selesai."
"Aku tidak mencintaimu
Arya, jadi percuma kau lakukan ini."
Arya mendaratkan lagi
kehangatan di bibir Bintang yang semakin bergetar. Dikirimnya sejuta cinta ke
dalam bibir yang perlahan mulai menghangat dan bergerak lembut mengikuti irama
cinta itu.
"Aku akan menunggu sampai masa hukumanmu selesai. Jangan kau padamkan api cinta di matamu itu,
sampai aku menjemputmu dari jeruji yang mengurungmu kelak."
Bintang tak dapat lagi menolak
hatinya, dia hanya bisa merasakan kuncup-kuncup layu yang perlahan mengembang
dalam alunan kehangatan yang sedang mereka reguk. Kebahagiaan di antara
perjalanan sepi yang menghadang menyelusup dalam hatinya. Angin sejuk menyeruak
dari jendela yang terbuka, mengiringi kehangatan berbalut penantian untuk
bersatu.
* di dalam puisi, Kit Rose
_____________________________________
Jasadku terkulai beku ketika
nyanyian sukma membahana ngilu, menapaki pencarian panjang tiada akhir. Temaram
memudar bersama binar bersimbah peluh, akankah pencarian ini berakhir? Akulah
si kucing hitam memandang kelam bertemu cinta di keremangan senja. Bagai alam
terdiam dalam kesakitan, cinta bertebar di seluruh penjurunya. Aku pun tak akan
pernah lelah menunggumu, kubiarkan diriku sendiri nikmati penantian. Akulah si
kucing hitam menatap wajah-wajah cinta, ingin kubisikkan aku lelah menantimu,
tapi tak kulakukan dan aku pun masih menanti. Kini aku menatapmu dengan penuh
cinta, walau kita berdiri di antara dua ruang berbeda. ~KR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar