Sabtu, 30 Mei 2020

Lingkaran


Pagi ini aku terbangun tanpa wajah siapapun
dan segera kusimpan wajah itu jauh di dalam hitamku
hingga aku tak mengejar dan mencari pada halaman lain hatiku

I'd Rather Go Blind menambah pedihnya pagi dalam hitam meradang
namun angin jingga menyapa hitam
dan mengabarkan kemelut hati bisunya

Lingkaran cinta membelenggu dalam hitam
menjerat langkah hati kala perjalanan hampir sampai ke ujung

Haruskah aku meminta
kau bawa kembali aku pada halaman masa lalu?
Indahnya kini kunikmati
seiring pedihnya menyayat puing halaman cinta

Dan aku
masih memandang wajahmu walau tak ingin
semakin memudar
namun jejaknya menuntaskan luka menganga
Jika bahagia ini milikmu, akan kuserap sakitmu dalam hati cintaku
esok akan kunikmati indahnya
saat kau peluk tubuhku dalam balutan kafan

~

Hari ini untuk kesekian kalinya Rinjani menatap lelaki yang berdiri di depannya dengan kokoh. Bunga mawar dipilihnya entah untuk siapa, Rinjani menahan keinginannya untuk bertanya. Dihampirinya lelaki itu beberapa jarak tanpa menengok dan segera dipilihnya seikat mawar, lalu ditinggalkannya gerai itu tanpa menunggu sang pelayan memberikan kembalian. Diam-diam hatinya menatap lelaki yang masih berada di dalam galeri itu. Rinjani sendiri tak mengerti, mengapa dua hari ini dia selalu mengikuti lelaki yang tak dikenalnya itu, yang secara tak sengaja dilihatnya menyeberangi jalan ke arah galeri itu beberapa hari yang lalu. Setelah melihatnya pertama kali, tiba-tiba saja rindu selalu mengajaknya untuk menanti lelaki itu melewati kembali jalan ini pada hari berikutnya. Dan, lelaki itu kembali dijumpainya.

"Suka mawar juga ya, Mbak?" Tiba-tiba lelaki itu sudah berada di sebelah Rinjani dan menyapanya, tepat seperti yang diinginkan Rinjani.

“Kok tahu?” Rinjani tak menengok sedikitpun, namun hatinya menatap tajam pada wajah yang seperti telah lama dikenalnya itu. Wajah pada halaman hatinya, entah berapa tahun lamanya.

"Nah itu, beli mawar juga."

"Apa kalau saya beli mawar itu pertanda saya suka dengan mawar?"

"Kalaupun Mbak nggak suka, atau katakanlah itu Mbak beli untuk orang lain, paling tidak Mbak sudah memilih mawar dan itu ada pertanda atau kecenderungan Mbak menyukai mawar walau sedikit."

"Kalau orangnya yang memesan?"

"Nah, itu lain cerita. Btw mawar itu Mbak beli untuk siapa?"

"Untuk saya sendiri."

Mendadak mereka pun tertawa bersama, lalu saling bertukar hangat yang mendadak pula menghampiri lewat senyuman. Tak lama Rinjani berpamitan untuk meninggalkan tempat itu, begitu juga dengan lelaki itu. Mereka menatap hangat satu sama lain, seolah ini bukanlah pertemuan sesaat tanpa makna, kemudian berjanji dalam hati masing-masing untuk kembali bertemu pada esok hari. Tak terucap, namun terasa. Rinjani melambaikan tangannya, lalu menerobos senja itu dengan hati penuh senyum. Dia nyalakan sebatang kretek untuk menemaninya meniti jalanan menuju halte yang terletak tak begitu jauh dari sana. Dia tatap hatinya yang mendadak menjadi riang.

*

Pada hari berikutnya setelah pertemuan itu, Rinjani mempersiapkan dirinya untuk segera menyelesaikan pekerjaan. Tepat pukul lima sore segera dia tinggalkan kantornya dengan harapan yang tak dapat lagi dia sembunyikan. Hatinya berbunga saat dilihatnya lelaki itu sudah duduk di depan galeri sambil memainkan setangkai mawar berwarna kuning. Pilihan warna yang sangat tidak umum, tapi Rinjani menyukai apapun warna yang dipilih lelaki itu. Segera diberikannya senyum terhangat pada lelaki yang sudah menebar senyum terlebih dahulu itu, lalu kali ini dipilihnya mawar putih. Selanjutnya, kembali keduanya berbincang di teras kedai sambil menikmati senja.

Angin berhembus perlahan tatkala Rinjani menyadari perbincangan mereka sudah lebih dari empat jam. Tapi, kakinya tak ingin beranjak dari sana, melepas perbincangan yang semakin hangat. Keduanya kemudian saling memperkenalkan diri lebih jauh dan sepakat untuk singgah sebentar di cafe yang masih buka di sudut jalan.

"Bagus Mbak, pilihan warna mawarnya."

"Saya tidak terlalu suka warnanya."

"Mawar putih bagus juga."

"Ya, tapi saya lebih suka mawar hitam."

Lelaki itu tertawa sekaligus tertegun mendengar Rinjani mengatakan warna kesukaannya akan mawar. Matanya sejenak menatap tajam pada Rinjani, lalu tertutup kembali oleh tawa renyah. 

"Mawar hitam adanya di negeri dongeng, Mbak."

"Dan, saya selalu memimpikannya."

"Saya pernah bermimpi tentang mawar hitam, Mbak."

"Saya juga pernah. Seorang lelaki mengulurkan setangkai mawar hitam untuk saya."

"Semoga impian Mbak menjadi nyata suatu saat nanti."

"Saya sudah memilikinya. Satu tangkai mawar hitam di rumah."

"Oya? Beneran, Mbak?"

"Iya, benar. Mawar hitam paling indah yang pernah saya lihat. Kelopaknya besar dan tampak segar, durinya tak terlalu besar, tersembunyi di balik daun dan kelopak, namun sangat tajam."

"Dapat dari mana, Mbak?" Mendadak lelaki itu tampak antusias dengan cerita Rinjani tentang mawar hitam. Matanya menatap Rinjani tak percaya, namun kalimat dalam tiap pertanyaannya menyiratkan kekaguman.

Rinjani tersenyum.

"Saya juga sebenarnya menyukai mawar hitam, sama dengan Mbak yang suka berandai-andai tentang adanya mawar hitam. Tapi, mustahil. Saya agak nggak percaya kalau Mbak Rinjani memilikinya. Dapat dari mana, coba?"

"Dari kebun saya."

"Dari kebun? Mbak memiliki pohon mawar hitam?"

"Dari kebun, saya ambil yang mekarnya penuh, lalu saya pilok dengan warna hitam."

Lelaki itu tergelak nyaring sehingga mengundang perhatian tamu lain di cafe yang tak begitu ramai itu. Rinjani menatap lelaki itu sambil tersenyum lucu. Hatinya mendadak bahagia bisa mengenal lelaki itu dan duduk berdua di sudut cafe walau situasi ini bukanlah impiannya. Kehangatan dalam sorot mata lelaki itu menenangkan hatinya yang sepi dan gundah berkepanjangan. Selebihnya keduanya berbincang mengenai mawar hitam yang disukai Rinjani, menertawakan kekonyolan Rinjani tentang bagaimana dia selalu membuat mawar hitam seolah memang ada. Lelaki itu semakin terlihat riang dalam tawanya, namun matanya menyapa Rinjani mengajak singgah pada bait masa lalu, entah bait yang mana Rinjani sendiri tak memahaminya. Yang diinginkan Rinjani hanyalah menikmati malam itu tanpa harus mempertanyakan alasan dan segala sesuatunya. Hatinya mendadak bahagia dan tenang. Seakan rindunya telah terobati.

"Kalau Mas Damar, beli mawar buat siapa?"

"Ini buat kekasih saya."

Jleb!

"Kekasih?"

"Calon istri, tepatnya."

"Oh." Sakit.

"Ada apa dengan oh itu, Mbak?" Lelaki itu, yang memperkenalkan dirinya bernama Damar, menatap Rinjani lekat. Dilihatnya garis kecewa pada nada suara Runjani. Entah mengapa Damar juga merasakan kepedihan dan kekecewaan itu.

"Nggak apa-apa."

"Seperti ada nada kecewa, Mbak?"

"Tidak ada apa-apa, Mas. Lalu, mengapa calon istrinya tidak diajak?"

"Dia berada jauh dari sini Mbak, saya harus menempuh sekian jam perjalanan jika ingin bertemu dengannya."

"Di luar kota?"

"Ya."

"Kalau jarak kalian jauh, kenapa selalu membeli mawar? Untuk siapa mawar-mawar itu?"

"Untuk saya pajang di kamar kost saya. Agar rindu ini terobati."

"Oh…."

"Kok, oh lagi, Mbak?" Kali ini Damar bertanya sambil tertawa. Ditatapnya Rinjani penuh tanda tanya. Ditatapnya juga setangkai mawar di tangannya yang tiba-tiba menjadi tak penting lagi untuknya.

"Indah sekali cinta yang kau berikan padanya."

"Bukankah cinta memang indah, Mbak?"

"Tapi, caramu memberikannya menambah indah cinta itu. Indah sekali caramu mencintainya."

"Aku memang mencintainya Mbak, walau ada sedikit keraguan."

Rinjani merasakan darah segar mengalir dalam hatinya yang telah luka. Ditatapnya kembali wajah masa lalu itu sedang tersenyum memanggil. Rinjani menggenggam erat hatinya agar tak mengucapkan sepatah kata pun tentang kehidupan lain yang pernah dilaluinya. Wajah masa lalu itu masih saja memanggil dengan senyum yang semakin menghangatkan hatinya. Namun, bayangan seorang gadis yang akan menangis di pelaminan kosong mencegah langkahnya untuk menyulam lingkaran yang hendak bertaut kembali. Tak dapat dibayangkannya, apa yang akan terjadi dengan kekasih Damar jika disambutnya uluran tangan itu.

"Selamat, ya," ucap Rinjani dengan sekuat tenaga menahan gelisah dan pedih.

Beberapa hari mengejar Damar telah dapat menghapus penantian dan semua kepedihannya dalam pencarian panjang yang sangat melelahkan. Namun, segera pula Rinjani terhempas oleh sebuah ikatan yang dia tak akan mampu memutuskannya begitu saja.

"Untuk apa, Mbak?"

"Pernikahanmu."

"Masih empat bulan lagi, Mbak. Ini setelah sepuluh tahun saya sendiri."

"Patah hati?"

"Ya."

Rinjani menghempaskan kembali sesak di dadanya ke dalam pandangan kosong. Ditatapnya Damar tanpa berkedip.

"Terlambatkah aku?" bisiknya dalam hati.

Hatinya bergolak hebat oleh kalimat patah hati Damar. Hatinya dipenuhi tanda tanya tentang pencariannya dan rentang waktu. Apakah waktu sepuluh tahun itu untuknya? Rinjani tak berani lagi bertanya dan menebak.

"Kenapa melihatku seperti itu Mbak?"

Seorang pelayan menghampiri, menyelamatkan Rinjani dari pertanyaan Damar. Segera keduanya menikmati kopi panas dan menyalakan kretek masing-masing untuk menghangatkan malam yang semakin membeku. Rinjani menyibukkan dirinya dengan asap putih yang mengepul dan menari di udara. Sementara Damar menatap lekat wajah Rinjani, mulai diliputi banyak tanda tanya.

"Mbak usianya berapa, sih?"

"Enam puluh."

Mata Damar membelalak.

“Mas Damar sendiri berapa?”

"Saya tiga puluh lima, Mbak."

"Masih muda, ya."

"Tapi, rasanya kok, seperti nggak sejauh itu ya, terpautnya usia kita."

Rinjani tersenyum dalam hati melihat lelaki itu mempercayai ucapannya. Entah mengapa tiba-tiba dia ingin mengatakan kebohongan itu pada Damar. Rinjami diam, mengepulkan asap kreteknya dan segera dilihatnya pantulan halaman yang pernah disinggahinya dalam lingkaran yang dia rasakan tak akan bertaut kembali. Entah di balik layar atau lukisan apa, Rinjani melihat lelaki itu mengangkat tubuhnya yang telah membeku sambil menangis. Masih diingatnya kalimat lelaki itu pada detik napasnya menghilang.

"Sukma, aku izinkan kau pergi mendahuluiku. Aku akan menyusulmu dan kita bertemu pada lingkaran yang lain."

"Aku sudah tidak kuat, Sayang."

"Pergilah. Aku akan mencarimu pada kehidupan yang lain." Lelaki itu membopong tubuhnya sambil berjalan mengitari malam, masih berharap sang kekasih akan hidup kembali, menemaninya meniti hitam. Sementara jiwa Sukma terbang dalam kegelapan, mencari wujud untuk tempat persinggahan baru, menanti lingkaran cinta akan bertaut kembali.

Dan, Rinjani merasakan ujung lingkaran itu kini sudah ditemukannya dalam diri pemuda bernama Damar, namun kenyataan pemuda itu hendak menikah membuat langkah Rinjani kembali terhenti dalam gelapnya hitam. Sekian lama penantian dan pencarian yang membelenggu hatinya menjadi sia-sia.

“Apakah aku salah?” bisik Rinjani lagi dalam hati.

"Mbak? Melamun?"

"Sedang teringat masa lalu."

"Ah, sama kalau begitu, Mbak. Tiap saya bertemu denganmu, saya selalu seperti sedang memandang masa lalu."

"Oya?"

"Entah kenapa, saya seperti merasa sudah lama mengenalmu."

"Apa kira-kira yang membuatmu merasa demikian?"

"Itulah, saya tidak tahu jawabnya, Mbak. Hari ini saya sengaja duduk menunggumu di teras galeri itu, berharap bertemu kembali denganmu."

"Benarkah? Senang sekali mendengarnya."

"Silakan jika tak mempercayainya, tapi kemarin malam sampai tadi pagi saya begitu berharap bertemu denganmu. Seperti ada rasa rindu. Rindu lama yang telah lama pula tak bertaut."

"Ah, sudah malam, kita pulang, yuk." Rinjani tak tahan lagi. Diputuskannya untuk mengakhiri malam itu dan memutus harapan yang dia rasakan sulit diwujudkan.

"Oke, sampai ketemu besok, ya. Siapa tahu besok dijual mawar hitam." Damar tertawa.

Rinjani balas tertawa sambil melambaikan tangannya dan melangkah menerobos pekatnya malam. Tak dapat disembunyikannya kegembiraan yang entah sudah berapa tahun tak dia rasakan. Ditatapnya lembut keheningan yang sedang mengiringi langkahnya. Ditaburkannya selamat menempuh kebahagiaan pada kekasih dalam lingkaran masa lalunya, dan malam masih menemaninya dalam hitam. Entah sampai kapan.

Rinjani berjalan dengan bibir menyungging senyum, namun ada gurat sakit di mata hitamnya. Angin malam merintih menemaninya menata hati yang entah kini berbentuk seperti apa.

* di sudut rindu, Kit Rose

_______________________________
Ada sepasang kekasih dalam kehidupan kita di lingkaran masa lalu, dan aku akan tetap memeluk hitam ini menunggu lingkaran yang belum terurai. Jangan takut langkahmu terhenti, aku akan tersenyum bahagia untukmu. ~KR


Tidak ada komentar:

Posting Komentar