Pagi ini aku terbangun tanpa
wajah siapapun
dan segera kusimpan wajah itu
jauh di dalam hitamku
hingga aku tak mengejar dan
mencari pada halaman lain hatiku
I'd Rather Go Blind menambah
pedihnya pagi dalam hitam meradang
namun angin jingga menyapa
hitam
dan mengabarkan kemelut hati
bisunya
Lingkaran cinta membelenggu
dalam hitam
menjerat langkah hati kala
perjalanan hampir sampai ke ujung
Haruskah aku meminta
kau bawa kembali aku pada
halaman masa lalu?
Indahnya kini kunikmati
seiring pedihnya menyayat
puing halaman cinta
Dan aku
masih memandang wajahmu walau
tak ingin
semakin memudar
namun jejaknya menuntaskan
luka menganga
Jika bahagia ini milikmu, akan
kuserap sakitmu dalam hati cintaku
esok akan kunikmati indahnya
saat kau peluk tubuhku dalam
balutan kafan
~
Hari ini untuk kesekian
kalinya Rinjani menatap lelaki yang berdiri di depannya dengan kokoh. Bunga
mawar dipilihnya entah untuk siapa, Rinjani menahan keinginannya untuk
bertanya. Dihampirinya lelaki itu beberapa jarak tanpa menengok dan segera
dipilihnya seikat mawar, lalu ditinggalkannya gerai itu tanpa menunggu sang
pelayan memberikan kembalian. Diam-diam hatinya menatap lelaki yang masih
berada di dalam galeri itu. Rinjani sendiri tak mengerti, mengapa dua hari ini
dia selalu mengikuti lelaki yang tak dikenalnya itu, yang secara tak sengaja
dilihatnya menyeberangi jalan ke arah galeri itu beberapa hari yang lalu.
Setelah melihatnya pertama kali, tiba-tiba saja rindu selalu mengajaknya untuk
menanti lelaki itu melewati kembali jalan ini pada hari berikutnya. Dan, lelaki
itu kembali dijumpainya.
"Suka mawar juga ya,
Mbak?" Tiba-tiba lelaki itu sudah berada di sebelah Rinjani dan
menyapanya, tepat seperti yang diinginkan Rinjani.
“Kok tahu?” Rinjani tak
menengok sedikitpun, namun hatinya menatap tajam pada wajah yang seperti telah
lama dikenalnya itu. Wajah pada halaman hatinya, entah berapa tahun lamanya.
"Nah itu, beli mawar
juga."
"Apa kalau saya beli
mawar itu pertanda saya suka dengan mawar?"
"Kalaupun Mbak nggak
suka, atau katakanlah itu Mbak beli untuk orang lain, paling tidak Mbak sudah
memilih mawar dan itu ada pertanda atau kecenderungan Mbak menyukai mawar walau
sedikit."
"Kalau orangnya yang
memesan?"
"Nah, itu lain cerita.
Btw mawar itu Mbak beli untuk siapa?"
"Untuk saya
sendiri."
Mendadak mereka pun tertawa
bersama, lalu saling bertukar hangat yang mendadak pula menghampiri lewat
senyuman. Tak lama Rinjani berpamitan untuk meninggalkan tempat itu, begitu
juga dengan lelaki itu. Mereka menatap hangat satu sama lain, seolah ini
bukanlah pertemuan sesaat tanpa makna, kemudian berjanji dalam hati
masing-masing untuk kembali bertemu pada esok hari. Tak terucap, namun terasa.
Rinjani melambaikan tangannya, lalu menerobos senja itu dengan hati penuh
senyum. Dia nyalakan sebatang kretek untuk menemaninya meniti jalanan menuju
halte yang terletak tak begitu jauh dari sana. Dia tatap hatinya yang mendadak
menjadi riang.
*
Pada hari berikutnya setelah
pertemuan itu, Rinjani mempersiapkan dirinya untuk segera menyelesaikan
pekerjaan. Tepat pukul lima sore segera dia tinggalkan kantornya dengan harapan
yang tak dapat lagi dia sembunyikan. Hatinya berbunga saat dilihatnya lelaki
itu sudah duduk di depan galeri sambil memainkan setangkai mawar berwarna
kuning. Pilihan warna yang sangat tidak umum, tapi Rinjani menyukai apapun
warna yang dipilih lelaki itu. Segera diberikannya senyum terhangat pada lelaki
yang sudah menebar senyum terlebih dahulu itu, lalu kali ini dipilihnya mawar
putih. Selanjutnya, kembali keduanya berbincang di teras kedai sambil menikmati
senja.
Angin berhembus perlahan
tatkala Rinjani menyadari perbincangan mereka sudah lebih dari empat jam. Tapi,
kakinya tak ingin beranjak dari sana, melepas perbincangan yang semakin hangat.
Keduanya kemudian saling memperkenalkan diri lebih jauh dan sepakat untuk
singgah sebentar di cafe yang masih buka di sudut jalan.
"Bagus Mbak, pilihan
warna mawarnya."
"Saya tidak terlalu suka
warnanya."
"Mawar putih bagus
juga."
"Ya, tapi saya lebih suka
mawar hitam."
Lelaki itu tertawa sekaligus
tertegun mendengar Rinjani mengatakan warna kesukaannya akan mawar. Matanya
sejenak menatap tajam pada Rinjani, lalu tertutup kembali oleh tawa renyah.
"Mawar hitam adanya di negeri dongeng, Mbak."
"Dan, saya selalu
memimpikannya."
"Saya pernah bermimpi
tentang mawar hitam, Mbak."
"Saya juga pernah.
Seorang lelaki mengulurkan setangkai mawar hitam untuk saya."
"Semoga impian Mbak
menjadi nyata suatu saat nanti."
"Saya sudah memilikinya.
Satu tangkai mawar hitam di rumah."
"Oya? Beneran,
Mbak?"
"Iya, benar. Mawar hitam
paling indah yang pernah saya lihat. Kelopaknya besar dan tampak segar, durinya
tak terlalu besar, tersembunyi di balik daun dan kelopak, namun sangat
tajam."
"Dapat dari mana,
Mbak?" Mendadak lelaki itu tampak antusias dengan cerita Rinjani tentang
mawar hitam. Matanya menatap Rinjani tak percaya, namun kalimat dalam tiap
pertanyaannya menyiratkan kekaguman.
Rinjani tersenyum.
"Saya juga sebenarnya
menyukai mawar hitam, sama dengan Mbak yang suka berandai-andai tentang adanya
mawar hitam. Tapi, mustahil. Saya agak nggak percaya kalau Mbak Rinjani
memilikinya. Dapat dari mana, coba?"
"Dari kebun saya."
"Dari kebun? Mbak
memiliki pohon mawar hitam?"
"Dari kebun, saya ambil
yang mekarnya penuh, lalu saya pilok dengan warna hitam."
Lelaki itu tergelak nyaring
sehingga mengundang perhatian tamu lain di cafe yang tak begitu ramai itu.
Rinjani menatap lelaki itu sambil tersenyum lucu. Hatinya mendadak bahagia bisa
mengenal lelaki itu dan duduk berdua di sudut cafe walau situasi ini bukanlah
impiannya. Kehangatan dalam sorot mata lelaki itu menenangkan hatinya yang sepi
dan gundah berkepanjangan. Selebihnya keduanya berbincang mengenai mawar hitam
yang disukai Rinjani, menertawakan kekonyolan Rinjani tentang bagaimana dia
selalu membuat mawar hitam seolah memang ada. Lelaki itu semakin terlihat riang
dalam tawanya, namun matanya menyapa Rinjani mengajak singgah pada bait masa
lalu, entah bait yang mana Rinjani sendiri tak memahaminya. Yang diinginkan
Rinjani hanyalah menikmati malam itu tanpa harus mempertanyakan alasan dan
segala sesuatunya. Hatinya mendadak bahagia dan tenang. Seakan rindunya telah
terobati.
"Kalau Mas Damar, beli
mawar buat siapa?"
"Ini buat kekasih
saya."
Jleb!
"Kekasih?"
"Calon istri,
tepatnya."
"Oh." Sakit.
"Ada apa dengan oh itu,
Mbak?" Lelaki itu, yang memperkenalkan dirinya bernama Damar, menatap
Rinjani lekat. Dilihatnya garis kecewa pada nada suara Runjani. Entah mengapa
Damar juga merasakan kepedihan dan kekecewaan itu.
"Nggak apa-apa."
"Seperti ada nada kecewa,
Mbak?"
"Tidak ada apa-apa, Mas.
Lalu, mengapa calon istrinya tidak diajak?"
"Dia berada jauh dari
sini Mbak, saya harus menempuh sekian jam perjalanan jika ingin bertemu
dengannya."
"Di luar kota?"
"Ya."
"Kalau jarak kalian jauh,
kenapa selalu membeli mawar? Untuk siapa mawar-mawar itu?"
"Untuk saya pajang di
kamar kost saya. Agar rindu ini terobati."
"Oh…."
"Kok, oh lagi, Mbak?"
Kali ini Damar bertanya sambil tertawa. Ditatapnya Rinjani penuh tanda tanya.
Ditatapnya juga setangkai mawar di tangannya yang tiba-tiba menjadi tak penting
lagi untuknya.
"Indah sekali cinta yang
kau berikan padanya."
"Bukankah cinta memang
indah, Mbak?"
"Tapi, caramu
memberikannya menambah indah cinta itu. Indah sekali caramu mencintainya."
"Aku memang mencintainya
Mbak, walau ada sedikit keraguan."
Rinjani merasakan darah segar
mengalir dalam hatinya yang telah luka. Ditatapnya kembali wajah masa lalu itu
sedang tersenyum memanggil. Rinjani menggenggam erat hatinya agar tak
mengucapkan sepatah kata pun tentang kehidupan lain yang pernah dilaluinya.
Wajah masa lalu itu masih saja memanggil dengan senyum yang semakin menghangatkan
hatinya. Namun, bayangan seorang gadis yang akan menangis di pelaminan kosong
mencegah langkahnya untuk menyulam lingkaran yang hendak bertaut kembali. Tak
dapat dibayangkannya, apa yang akan terjadi dengan kekasih Damar jika
disambutnya uluran tangan itu.
"Selamat, ya," ucap
Rinjani dengan sekuat tenaga menahan gelisah dan pedih.
Beberapa hari mengejar Damar
telah dapat menghapus penantian dan semua kepedihannya dalam pencarian panjang
yang sangat melelahkan. Namun, segera pula Rinjani terhempas oleh sebuah ikatan
yang dia tak akan mampu memutuskannya begitu saja.
"Untuk apa, Mbak?"
"Pernikahanmu."
"Masih empat bulan lagi,
Mbak. Ini setelah sepuluh tahun saya sendiri."
"Patah hati?"
"Ya."
Rinjani menghempaskan kembali
sesak di dadanya ke dalam pandangan kosong. Ditatapnya Damar tanpa berkedip.
"Terlambatkah aku?" bisiknya dalam hati.
Hatinya bergolak hebat oleh kalimat patah hati Damar. Hatinya
dipenuhi tanda tanya tentang pencariannya dan rentang waktu. Apakah waktu
sepuluh tahun itu untuknya? Rinjani tak berani lagi bertanya dan menebak.
"Kenapa melihatku seperti
itu Mbak?"
Seorang pelayan menghampiri,
menyelamatkan Rinjani dari pertanyaan Damar. Segera keduanya menikmati kopi
panas dan menyalakan kretek masing-masing untuk menghangatkan malam yang
semakin membeku. Rinjani menyibukkan dirinya dengan asap putih yang mengepul
dan menari di udara. Sementara Damar menatap lekat wajah Rinjani, mulai
diliputi banyak tanda tanya.
"Mbak usianya berapa,
sih?"
"Enam puluh."
Mata Damar membelalak.
“Mas Damar sendiri berapa?”
"Saya tiga puluh lima,
Mbak."
"Masih muda, ya."
"Tapi, rasanya kok,
seperti nggak sejauh itu ya, terpautnya usia kita."
Rinjani tersenyum dalam hati
melihat lelaki itu mempercayai ucapannya. Entah mengapa tiba-tiba dia ingin
mengatakan kebohongan itu pada Damar. Rinjami diam, mengepulkan asap
kreteknya dan segera dilihatnya pantulan halaman yang pernah disinggahinya
dalam lingkaran yang dia rasakan tak akan bertaut kembali. Entah di balik layar
atau lukisan apa, Rinjani melihat lelaki itu mengangkat tubuhnya yang telah
membeku sambil menangis. Masih diingatnya kalimat lelaki itu pada detik
napasnya menghilang.
"Sukma, aku izinkan kau
pergi mendahuluiku. Aku akan menyusulmu dan kita bertemu pada lingkaran yang
lain."
"Aku sudah tidak kuat,
Sayang."
"Pergilah. Aku akan
mencarimu pada kehidupan yang lain." Lelaki itu membopong tubuhnya sambil
berjalan mengitari malam, masih berharap sang kekasih akan hidup kembali,
menemaninya meniti hitam. Sementara jiwa Sukma terbang dalam kegelapan, mencari
wujud untuk tempat persinggahan baru, menanti lingkaran cinta akan bertaut
kembali.
Dan, Rinjani merasakan ujung
lingkaran itu kini sudah ditemukannya dalam diri pemuda bernama Damar, namun
kenyataan pemuda itu hendak menikah membuat langkah Rinjani kembali terhenti
dalam gelapnya hitam. Sekian lama penantian dan pencarian yang membelenggu
hatinya menjadi sia-sia.
“Apakah aku salah?” bisik Rinjani lagi dalam hati.
"Mbak? Melamun?"
"Sedang teringat masa
lalu."
"Ah, sama kalau begitu,
Mbak. Tiap saya bertemu denganmu, saya selalu seperti sedang memandang masa
lalu."
"Oya?"
"Entah kenapa, saya
seperti merasa sudah lama mengenalmu."
"Apa kira-kira yang
membuatmu merasa demikian?"
"Itulah, saya tidak tahu
jawabnya, Mbak. Hari ini saya sengaja duduk menunggumu di teras galeri itu,
berharap bertemu kembali denganmu."
"Benarkah? Senang sekali
mendengarnya."
"Silakan jika tak
mempercayainya, tapi kemarin malam sampai tadi pagi saya begitu berharap
bertemu denganmu. Seperti ada rasa rindu. Rindu lama yang telah lama pula tak
bertaut."
"Ah, sudah malam, kita
pulang, yuk." Rinjani tak tahan lagi. Diputuskannya untuk mengakhiri malam
itu dan memutus harapan yang dia rasakan sulit diwujudkan.
"Oke, sampai ketemu
besok, ya. Siapa tahu besok dijual mawar hitam." Damar tertawa.
Rinjani balas tertawa sambil
melambaikan tangannya dan melangkah menerobos pekatnya malam. Tak dapat
disembunyikannya kegembiraan yang entah sudah berapa tahun tak dia rasakan.
Ditatapnya lembut keheningan yang sedang mengiringi langkahnya. Ditaburkannya
selamat menempuh kebahagiaan pada kekasih dalam lingkaran masa lalunya, dan
malam masih menemaninya dalam hitam. Entah sampai kapan.
Rinjani berjalan dengan bibir
menyungging senyum, namun ada gurat sakit di mata hitamnya. Angin malam
merintih menemaninya menata hati yang entah kini berbentuk seperti apa.
* di sudut rindu, Kit Rose
_______________________________
Ada sepasang kekasih dalam
kehidupan kita di lingkaran masa lalu, dan aku akan tetap memeluk hitam ini
menunggu lingkaran yang belum terurai. Jangan takut langkahmu terhenti, aku
akan tersenyum bahagia untukmu. ~KR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar