Sabtu, 30 Mei 2020

Pangeran Cinta


Rembulan menyapa wajah malu-malu
dalam remang dan indahnya
Angin malam membelai dinding hati
membisikkan cinta penuh mesra.
Redup bintang mengukirkan lukisan hangat
pada senyap yang kian rakus menggerogoti sunyinya mimpi.

Di sini aku masih menatap kelam
Aku tetap memeluk mimpi
Aku merintih kedinginan di tengah alunan cinta
Dan aku mencari
di mana sang kekasih hati hendak menjemput?

Aku juga masih merajut dongeng
pangeran pujaan hati singgah di hati yang tak pernah bicara ini
Adakah tersisa dongeng itu untukku walau hanya sekejap?
Aku akan menunggu sampai kering hausku
dan lenyap dibawa nyanyian bisu.

Aku masih bersama Cinta
merangkai hari-hari indah

~

Titan duduk di teras rumahnya, sendiri seperti kebanyakan hari-harinya. Sesekali gadis itu terlonjak kaget oleh suara petasan di jalanan. Di sana ramai orang sedang merayakan malam tahun baru, tak kalah ramai dengan mereka yang menghujat karena merasa terganggu. Mata Titan menatap sayu, untuk kesekian kali malam ini dilewatinya seorang diri, diam membisu di tengah ramai perayaan dan gelas-gelas bersulang para keluarga.

"Aku sangat kesepian," desahnya pada angin malam, "tapi aku tak ingin siapapun menemaniku. Aku hanya ingin menangis, ke mana engkau, wahai airmataku?"

Gerimis menyapa Titan dari kegelapan, rintiknya tak pernah lelah mengingatkan betapa merdu Irama Cinta. Di sana segala rasa dan rupa terburai menjadi tak ada, namun sisanya tetap terasa dan hitamnya menyimpan berjuta kata juga cerita.

"Pada siapa aku akan bercerita?" Titan kembali mendesah perlahan, mencari air mata yang tak kunjung datang.

Tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat, semakin dekat, dan menyapa Titan dengan senyum hangatnya. Titan berdiri dan berjalan mendekat, membukakan pintu pagar untuk tamu tak diundang itu.

"Namaku Ramda," sapa tamu itu seraya mengulurkan tangan. "Kamu Titan, kan?" Digenggamnya erat tangan halus gadis itu.

Titan mendapatkan tangan itu tiba-tiba menghantarkan rasa yang tak dapat dipahaminya. Hatinya yang sepi dan dingin mendadak menghangat bersama genggaman dan tatapan hangat di depannya. Tak ingin dipersoalkannya apa nama rasa itu, tiba-tiba hatinya telah mensyukuri hal itu, dan gadis ini memutuskan tak akan meminta yang lain.

"Kamu siapa?" tanya Titan perlahan. Hatinya heran berbaur senang. Ada sedikit cairan empedu tergulir dari pedihnya. Menimbang rasa yang sedang menggelora, ditatapnya wajah asing berhias senyum itu dengan takjub.

"Apakah lelaki ini pangeranku yang sudah diturunkan dari langit? Atau, ini hanya lamunanku saja?" bisiknya dalam hati. "Dari mana datangnya lelaki ini, dan apakah dia ingin bercengkerama denganku dalam sepi? Mengapa hatiku tiba-tiba tak sepi lagi?"

"Titan? Kenapa bengong?" Ramda mendekat dan menatap Titan dengan senyum semakin hangat. Matanya meneliti dan menikmati wajah cantik itu dengan hati berbinar.

“Hah? Apa? Eh, iya, aku senang kok." Titan tak dapat menyembunyikan terkejut dan gembiranya. Hatinya sungguh takjub pada sorot mata lelaki di hadapannya. Hati gadis itu berdendang lembut, berharap malam semakin lambat berangsur.

"Senang apa? Tadi aku bilang aku tetangga barumu."

"Oh, begitu? Maaf ya, aku tak begitu mendengar tadi." Titan menyembunyikan gugupnya dengan mengambil kursi untuk sang tamu. Sedetik kemudian gadis itu dihinggapi kesadaran bahwa pemuda itu baru saja mengatakan dia adalah tetangga barunya. "Apa? Tetangga baru?" serunya malu.

Ramda tertawa memperlihatkan sederet gigi putih dan rapi, semakin manis memberikan senyum hangatnya pada Titan. "Iya, aku tetangga barumu. Rumahku berjarak dua rumah dari sini."

"Oh. Selamat datang kalau begitu."

"Tadi aku lihat kamu sendirian di sini, nggak jalan-jalan menikmati malam tahun baru?"

"Kamu sendiri?"

"Aku habis jalan-jalan, putar-putar sebentar lalu pulang. Jalanan macet dan bising oleh suara petasan, jadi lebih baik pulang saja."

"Jalan-jalan sendiri?"

"Dengan teman."

"Perempuan?"

"Ya."

"Pacar?"

"Boleh dibilang begitu."

Titan menatap Ramda tak berkedip. Hatinya bergetar kedinginan dan mendesah pelan, "Mengapa kecewa Titan? Mengapa?" tanya dalam hati, lalu mengangguk dan mempersilakan tamunya duduk. Ditekuninya suara-suara bising dari hatinya agar mengerti satu keinginan yang sedang tak mau didengarkannya. Hatinya semakin bergemuruh menerima tatapan Ramda yang hangat bagai bara di atas batu es.

"Kamu tinggal sendiri di sini?"

"Nggak selalu sendiri sih, kadang ditemani Mama." Segera Titan menjerit dalam hati setelah mengucapkan kalimat itu, mencari tempat bersembunyi dari pertanyaan berikut yang benar-benar tak ingin didengarnya. "Ya Allah, jangan biarkan lelaki ini menanyakan keluargaku. Bolehkah aku meminta, Tuhan? Aku tak ingin mengabarkan kesalahan yang tak sadar telah dilakukan kedua orang tuaku," bisiknya kemudian.

"Sekarang Mamamu ke mana?"

"Di rumah Nenek."

"Kok, kamu nggak ikut?"

"Biasa, dapat giliran jaga rumah." Segera Titan berdoa lagi agar lelaki yang tiba-tiba membuat hatinya tak sepi ini segera pergi saja dari hadapannya. Angin sepoi bagai badai menerpa wajahnya yang halus tersiram cahaya purnama.

"Gadis cantik di rumah sendiri. Kenapa pangerannya nggak menemani?" tanya Ramda selanjutnya.

Titan hanya menggeleng tak ingin lagi menambah kata yang kelak bakal menuai duka. Kemudian malam yang kering itu mencair tanpa disadari keduanya, sampai Ramda menyatakan rasa gembiranya bertemu dan dapat berbincang akrab dengan Titan. Tak lama kemudian Ramda mengundurkan diri, menyisakan rintihan panjang lebih pedih dari yang seharusnya di hati Titan. Titan menutup pintu gerbang dengan hati berbunga bercampur nyeri. Matanya tak mau lepas meneliti di rumah mana lelaki itu berhenti, lalu sunyi. Malamnya kembali terasa sunyi. Tak ada pangeran yang selalu dinanti untuk menyelamatkannya dari puing-puing kesepian.

*

Titan membuka buku agendanya sambil meregangkan leher yang menjadi lebih kaku dari sebelumnya. Tidurnya semakin hari semakin terganggu oleh pangeran yang tak boleh tahu perasaannya itu. Mulai diisinya lembar demi lembar buku saksi bisu cintanya.

"Apakah aku bersalah ketika membiarkan hati yang kosong ini tiba-tiba berharap? Bergerak lambat namun pasti, aku berharap dia benar-benar pangeranku. Berjalan pelan, tapi menerobos bagai badai, aku merasa cinta ini tak dapat kutolak lagi. Apa aku harus mencarikan nama lain untuk cinta ini agar tidak ada rasa sakit? Tapi, itu tak penting, dan tak harus kupermasalahkan nama untuk perasaan yang diam-diam mengisi kekosongan ini. Biarlah cinta ini kunikmati walau dari kejauhan. Dia sudah melangkah pada persimpangan di depanku, jangan aku merusak yang telah hadir sebelum aku datang. Bukan salah siapapun jika tiba-tiba hati ini menganggapnya pangeran. Aku akan tetap tersenyum padanya, karena hanya ini yang bisa kulakukan," tulisnya dengan senyum tipis.

"Titan, ada yang cari tuh." Mamanya berdiri di pintu kamar dengan dandanan sudah rapi.

"Mama mau pergi lagi?" tanyanya sambil menutup agenda.

Mamanya tak menjawab, mendekatinya, lalu memegang tangannya dengan mata hampir berair. Titan cukup mengerti kenapa Mamanya tak sekuat dan setegar sebelumnya.

"Mama terpaksa harus minta pengertianmu lebih banyak, Sayang. Mama ingin duduk bersamamu dengan hati benar-benar sudah ringan."

"Tidak bisakah Mama berbagi kesedihan dengan Titan, Ma?"

Mamanya menunduk.

"Rasa kehilangan Papa bukan hanya milik Mama, tapi milik Titan juga. Kenapa Mama masih ingin terus berlari?"

Mamanya masih diam dan membiarkan air mengalir deras dari mata cantiknya yang sudah mulai dihinggapi gurat ketuaan.

"Tidak bisakah kita hadapi ini berdua, Ma? Papa sudah bahagia di sana dengan istri barunya. Kita doakan agar mereka benar-benar bahagia."

Mamanya bergeming. Titan tak tahu apa yang sedang dipikirkan perempuan yang sangat dicintainya itu, namun hati dan jiwanya bisa merasakan kepedihan yang bersembunyi di balik wajah tua itu. Ingin gadis itu berlari memeluknya, namun kesedihan membuat Mamanya seolah semakin sulit dijangkaunya.

"Titan tahu bagaimana perasaan Mama. Tapi, jika memang Papa bahagia, kita nikmati juga kebahagiaan Papa. Memang sulit. Buat Titan juga sulit, tapi kita minta saja pada Tuhan agar hati kita mudah menerimanya."

"Mama sudah berusaha Sayang, tapi Mama belum bisa memaafkan perbuatan Papamu. Mudah-mudahan suatu saat bisa Mama lakukan."

"Sampai kapan Mama akan seperti ini? Membawa lari duka dan kecewa. Tiap hari Mama pergi sampai larut malam. Titan nggak pernah tahu ke mana Mama pergi. Mau sampai kapan, Ma?"

"Entahlah, Mama akan terus berusaha membujuk hati Mama." Mamanya melepaskan genggaman, berjalan ke meja rias Titan, mengambil tisue dan mengusap matanya di depan cermin. Titan ingin berlari memeluk Mamanya. Dibiarkannya rasa itu sampai suatu saat Mamanya mengerti bahwa dirinya pun tak ingin kehilangan. "Mama pergi dulu, ya. Kasihan temanmu sudah lama menunggu. Temui sana. Dagh, Sayang."

Titan mengikuti Mamanya sambil mendekap hatinya yang meronta ingin menikmati kesedihan. Dibujuknya agar sebongkah genangan di dalam sana bersenandung indah, menghantar ketenangan pada hati luka Mamanya. Ditatapnya sang mama, berharap hari ini adalah hari terakhir Mamanya mencari senyuman yang sudah lama menghilang.

"Sore Tante," sapa Ramda ramah dan sopan.

"Sore. Tante tinggal dulu, ya."

Titan menahan lesu di hatinya agar dapat berbagi senyum dengan pangeran yang sedang mematung memandangi dirinya. Raut wajahnya tak bisa ditebak, sedang memikirkan apa lelaki itu gerangan?

"Pantas kamu cantik. Keturunan rupanya. Mamamu cantik sekali."

"Terima kasih."

"Sayang aku sudah mempunyai calon."

"Aku sudah mengucapkan kalimat itu saat pertama kali bertemu denganmu pangeranku," bisik Titan dalam hati. "Silahkan duduk," jawabnya kemudian.

Dialihkannya pandangan pada buku-buku yang dipegang Ramda untuk menyimpan pedih hatinya mendapati tatapan mata Ramda yang semakin hangat dan mesra. "Buku-buku apa itu?"

"Ini katalog baju-baju pengantin. Aku mau minta tolong kamu yang memilihkannya untuk kami berdua."

"Aku?"

"Ya. Kamu." Ramda mengangguk sambil tersenyum.

"Kenapa bukan kalian sendiri yang memilih? Selera kita kan, beda."

"Aku lebih suka seleramu. Aku berpacaran hampir dua tahun, selalu diwarnai pertengkaran dalam memutuskan sesuatu. Tapi, selama hampir satu tahun ini bersahabat denganmu, apa yang kita inginkan kebanyakan sama. Untuk itu tolong pilihkan salah satu yang sesuai untukku."

Kemudian keduanya sibuk dengan berbagai macam gambar baju dan pernak pernik pernikahan. Titan lebih banyak tertawa agar airmatanya tidak sampai mengalir. Dilihatnya dengan teliti pakaian yang indah dan anggun untuk sang pangeran dan pasangannya. Nyeri tak dirasakannya, yang ada hanya ingin berbagi kebahagiaan. Tusukan-tusukan pedih di setiap pori-pori kulitnya pun tak dirasakannya agar kebahagiaan benar-benar dapat dinikmatinya.

"Jangan biarkan hati ini merintih, Tuhan. Pangeranku tak tahu bahwa sikapnya ini membuatku pedih. Izinkan aku berbagi kebahagiaan dengannya dan damaikan hatiku, agar aku benar-benar bahagia untuknya." Lagi-lagi Titan berisik dalam hati.

*

Pada hari kesekian Titan masih harus kecewa menemukan Mamanya belum juga bisa berdamai dengan kenyataan yang mereka hadapi. Juga untuk kesekian kalinya dia masih melihat airmata di wajah cantik itu. Wajah yang telah kehilangan senyum bahagia, wajah yang masih berlari mencari maaf untuk cinta yang berlalu tiba-tiba. Dan, untuk kesekian kali Mamanya tidak mengizinkan dia menemui Papanya walau hanya sekedar mengucap rindu. Mamanya masih belum bisa mengerti bahwa kerinduan di hatinya tak dapat diusir begitu saja.

"Maafkan Titan, Ma. Titan tahu Papa telah menyakiti kita berdua, tapi bukan hak Titan untuk mengadili Papa. Apapun kesalahan Papa terhadap Mama, Titan tetap anak Papa dan Mama. Sudah seharusnya Titan hormat pada Papa dan Mama."
"Kamu tidak tahu bagaimana rasanya dikhianati Titan, bagaimana rasa kehilangan cinta dan kepercayaan."

"Titan tahu Ma, sangat tahu bagaimana rasanya, tapi tetap saja sama. Titan di sini hanya sebagai anak, yang tak boleh tak hormat pada orang tua, bisakah Mama mengerti ini?"

"Anak dari seorang Papa yang tak pernah lagi memberi penghidupan? Anak dari seorang Papa yang tak lagi peduli mau ke mana dan jadi apa anaknya itu?"

"Izinkan Titan menemui Papa, Ma. Mungkin dengan begitu Papa akan kembali mengingat kehadiran kita di sisi lain hidupnya, mengingat bahwa kita adalah salah satu lembaran hidup yang tak bisa dia lupakan begitu saja."

"Tak bisakah kamu memberikan sedikit lagi kelonggaran waktu untuk Mama, Sayang? Mama hanya ingin mengobati dulu luka ini. Mama hanya ingin yakin bahwa Mama tak akan kehilanganmu juga."

Hening sejenak. Titan membiarkan Mamanya menghabiskan tangis, lalu dipeluknya perempuan cantik itu dengan lembut.

"Tolonglah Mama mengerti apa yang sedang Titan coba untuk hayati. Titan tidak mengingkari bahwa Papa menyakiti kita. Tapi, biarlah itu menjadi urusan Papa dengan Tuhan. Kita sama sekali tidak berhak untuk mengadili, karena kita juga tidak tahu apakah hanya Papa yang benar-benar memiliki kesalahannya."

"Hanya kamu yang seolah ingin membenarkan perselingkuhan dan penghianatan ini. Mama juga ingin memiliki pembenaran dan maaf untuk Papamu, tapi Mama tetap tidak mengizinkan kamu datang berkunjung ke rumah Papamu yang baru," sergah perempuan itu, lalu menyudahi perdebatan dan meninggalkan Titan sendiri di kamarnya.

Bagi Titan, ini adalah pemandangan yang sungguh sangat menyiksa, melihat Mamanya pergi dengan isak dan kekecewaan yang tak lagi disembunyikan. Kedua orang tua yang berdiri di dua tempat dan keduanya menuntut pembenaran. Masing-masing tidak ingin beristirahat sejenak menengok ke kedalaman hati, agar dapat melihat apakah masih ada cinta yang selalu ingin memberi di sana? Titan bertanya pada dirinya sendiri, di saat pedih menerkam, mengapa cinta lantas disingkirkan? Kamar itu menjadi lebih hening dari sebelumnya, benar-benar senyap.

*

"Mengapa aku jadi ragu dengan pernikahan ini, ya?" Ramda bergumam sambil menatap Titan, berharap gadis itu bias sedikit membenarkan keinginannya, berharap gadis itu dapat menyelamatkannya dari apa yang tiba-tiba tak diinginkannya.

"Ragu?" tanya Titan heran.

Ramda masih menatapnya dengan sinar semakin membuai hati yang sedang kering. Titan juga menatap heran, berusaha menahan dan memadukan nyeri pun sakit menjadi nikmat, tak ingin berharap apapun.

"Semakin lama aku makin merasa cocok denganmu, Titan. Aku merasakan semakin jauh dari calon istriku, padahal pernikahan kami kurang dua bulan lagi. Menurutmu, apa yang akan terjadi jika rencana ini aku batalkan?"

"Menurutmu sendiri bagaimana?"

"Tentunya akan terjadi keributan antara dua keluarga."

"Bagaimana juga dengan kekasihmu?"

"Sedih dan sakit hati tentunya."

"Jadi, berapa banyak yang akan tersakiti dengan keputusanmu itu?"

Ramda terdiam, memandangi Titan tak berkedip. Di sana banyak sekali cinta, tetapi tak dapat diraihnya satu pun. Ramda mengeluh dalam hati, tak ada yang dapat menjelaskan padanya mengapa tumbuh perasaan beda pada gadis yang semula dianggapnya sebagai sahabat itu. Bahkan, tak ada yang dapat menjelaskan padanya mengapa mereka dipertemukan.

"Kamu memiliki banyak cinta, Titan. Maaf, aku tahu kamu sebenarnya juga mencintaiku, tapi mengapa tak kau berikan satu saja padaku?"

Titan menunduk.

“Mengapa, Titan?”

"Sudah kuberikan padamu sebanyak waktu kita bersama. Cinta tak harus meiliki, kan?”

“Tapi….”

“Kau raih satu cinta yang sebenarnya sudah kau dapatkan, tapi kau akan kehilangan banyak cinta dan kepercayaan, baik dari kekasihmu, kedua orang tua kalian, bahkan teman-teman kalian. Apakah itu yang kau inginkan?"

Ramda menggeser tubuhnya mendekati Titan, kemudian menggenggam jemari Titan dan menatap matanya, berusaha menyelami samudera biru di dalamnya. Dicobanya mencari di sana, adakah rintihan memanggil namanya? Tetapi, hanya pandangan penuh cinta yang didapatinya. Tak ada keharusan apapun.

"Nanti setelah aku menikah, apakah kamu masih mau menjadi sahabatku?" tanyanya kemudian.

Titan tersenyum dan mengangguk. Andai boleh dilakukannya, maka dia akan meminta kursi pelaminan itu untuknya. Tapi, hatinya mendesah mencoba mencari kebenaran, agar sakit yang dirasakannya tak menyakiti yang lain. Cintanya berbinar menuai perih, namun di sana masih ada senyum untuk sang pangeran. Akan ditunggunya sampai seorang pangeran benar-benar datang menyelamatkannya dari dekapan sepi, hitam, dan kelam, agar kakinya dapat menginjak tanah basah nun jauh di bawah ketinggian puri yang selalu mengirim duka padanya.

* di dasar cangkir kopi, Kit Rose

____________________________
Cinta akan selalu ada, namun tak akan menyakiti. Jangan pernah mengaturnya hanya untuk satu alasan, keinginan. Karena cinta bukan melulu tentang apa yang kau inginkan. ~KR



Tidak ada komentar:

Posting Komentar