Rembulan menyapa wajah
malu-malu
dalam remang dan indahnya
Angin malam membelai dinding
hati
membisikkan cinta penuh mesra.
Redup bintang mengukirkan
lukisan hangat
pada senyap yang kian rakus
menggerogoti sunyinya mimpi.
Di sini aku masih menatap
kelam
Aku tetap memeluk mimpi
Aku merintih kedinginan di
tengah alunan cinta
Dan aku mencari
di mana sang kekasih hati
hendak menjemput?
Aku juga masih merajut dongeng
pangeran pujaan hati singgah
di hati yang tak pernah bicara ini
Adakah tersisa dongeng itu
untukku walau hanya sekejap?
Aku akan menunggu sampai
kering hausku
dan lenyap dibawa nyanyian
bisu.
Aku masih bersama Cinta
merangkai hari-hari indah
~
Titan duduk di teras rumahnya,
sendiri seperti kebanyakan hari-harinya. Sesekali gadis itu terlonjak kaget
oleh suara petasan di jalanan. Di sana ramai orang sedang merayakan malam tahun
baru, tak kalah ramai dengan mereka yang menghujat karena merasa terganggu.
Mata Titan menatap sayu, untuk kesekian kali malam ini dilewatinya seorang
diri, diam membisu di tengah ramai perayaan dan gelas-gelas bersulang para
keluarga.
"Aku sangat
kesepian," desahnya pada angin malam, "tapi aku tak ingin siapapun
menemaniku. Aku hanya ingin menangis, ke mana engkau, wahai airmataku?"
Gerimis menyapa Titan dari
kegelapan, rintiknya tak pernah lelah mengingatkan betapa merdu Irama Cinta. Di
sana segala rasa dan rupa terburai menjadi tak ada, namun sisanya tetap terasa
dan hitamnya menyimpan berjuta kata juga cerita.
"Pada siapa aku akan
bercerita?" Titan kembali mendesah perlahan, mencari air mata yang tak
kunjung datang.
Tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat, semakin dekat, dan
menyapa Titan dengan senyum hangatnya. Titan berdiri dan berjalan mendekat,
membukakan pintu pagar untuk tamu tak diundang itu.
"Namaku Ramda," sapa
tamu itu seraya mengulurkan tangan. "Kamu Titan, kan?" Digenggamnya
erat tangan halus gadis itu.
Titan mendapatkan tangan itu tiba-tiba
menghantarkan rasa yang tak dapat dipahaminya. Hatinya yang sepi dan dingin
mendadak menghangat bersama genggaman dan tatapan hangat di depannya. Tak ingin
dipersoalkannya apa nama rasa itu, tiba-tiba hatinya telah mensyukuri hal itu,
dan gadis ini memutuskan tak akan meminta yang lain.
"Kamu siapa?" tanya
Titan perlahan. Hatinya heran berbaur senang. Ada sedikit cairan empedu
tergulir dari pedihnya. Menimbang rasa yang sedang menggelora, ditatapnya wajah
asing berhias senyum itu dengan takjub.
"Apakah lelaki ini
pangeranku yang sudah diturunkan dari langit? Atau, ini hanya lamunanku
saja?" bisiknya dalam hati. "Dari mana datangnya lelaki ini, dan
apakah dia ingin bercengkerama denganku dalam sepi? Mengapa hatiku tiba-tiba
tak sepi lagi?"
"Titan? Kenapa
bengong?" Ramda mendekat dan menatap Titan dengan senyum semakin hangat.
Matanya meneliti dan menikmati wajah cantik itu dengan hati berbinar.
“Hah? Apa? Eh, iya, aku senang
kok." Titan tak dapat menyembunyikan terkejut dan gembiranya. Hatinya
sungguh takjub pada sorot mata lelaki di hadapannya. Hati gadis itu berdendang
lembut, berharap malam semakin lambat berangsur.
"Senang apa? Tadi aku
bilang aku tetangga barumu."
"Oh, begitu? Maaf ya, aku
tak begitu mendengar tadi." Titan menyembunyikan gugupnya dengan mengambil
kursi untuk sang tamu. Sedetik kemudian gadis itu dihinggapi kesadaran bahwa
pemuda itu baru saja mengatakan dia adalah tetangga barunya. "Apa?
Tetangga baru?" serunya malu.
Ramda tertawa memperlihatkan
sederet gigi putih dan rapi, semakin manis memberikan senyum hangatnya pada
Titan. "Iya, aku tetangga barumu. Rumahku berjarak dua rumah dari
sini."
"Oh. Selamat datang kalau
begitu."
"Tadi aku lihat kamu
sendirian di sini, nggak jalan-jalan menikmati malam tahun baru?"
"Kamu sendiri?"
"Aku habis jalan-jalan,
putar-putar sebentar lalu pulang. Jalanan macet dan bising oleh suara petasan,
jadi lebih baik pulang saja."
"Jalan-jalan
sendiri?"
"Dengan teman."
"Perempuan?"
"Ya."
"Pacar?"
"Boleh dibilang
begitu."
Titan menatap Ramda tak
berkedip. Hatinya bergetar kedinginan dan mendesah pelan, "Mengapa kecewa
Titan? Mengapa?" tanya dalam hati, lalu mengangguk dan mempersilakan
tamunya duduk. Ditekuninya suara-suara bising dari hatinya agar mengerti satu
keinginan yang sedang tak mau didengarkannya. Hatinya semakin bergemuruh menerima
tatapan Ramda yang hangat bagai bara di atas batu es.
"Kamu tinggal sendiri di
sini?"
"Nggak selalu sendiri
sih, kadang ditemani Mama." Segera Titan menjerit dalam hati setelah
mengucapkan kalimat itu, mencari tempat bersembunyi dari pertanyaan berikut
yang benar-benar tak ingin didengarnya. "Ya Allah, jangan biarkan lelaki
ini menanyakan keluargaku. Bolehkah aku meminta, Tuhan? Aku tak ingin
mengabarkan kesalahan yang tak sadar telah dilakukan kedua orang tuaku,"
bisiknya kemudian.
"Sekarang Mamamu ke
mana?"
"Di rumah Nenek."
"Kok, kamu nggak
ikut?"
"Biasa, dapat giliran
jaga rumah." Segera Titan berdoa lagi agar lelaki yang tiba-tiba membuat
hatinya tak sepi ini segera pergi saja dari hadapannya. Angin sepoi bagai badai
menerpa wajahnya yang halus tersiram cahaya purnama.
"Gadis cantik di rumah
sendiri. Kenapa pangerannya nggak menemani?" tanya Ramda selanjutnya.
Titan hanya menggeleng tak
ingin lagi menambah kata yang kelak bakal menuai duka. Kemudian malam yang
kering itu mencair tanpa disadari keduanya, sampai Ramda menyatakan rasa
gembiranya bertemu dan dapat berbincang akrab dengan Titan. Tak lama kemudian Ramda
mengundurkan diri, menyisakan rintihan panjang lebih pedih dari yang seharusnya
di hati Titan. Titan menutup pintu gerbang dengan hati berbunga bercampur
nyeri. Matanya tak mau lepas meneliti di rumah mana lelaki itu berhenti, lalu
sunyi. Malamnya kembali terasa sunyi. Tak ada pangeran yang selalu dinanti
untuk menyelamatkannya dari puing-puing kesepian.
*
Titan membuka buku agendanya
sambil meregangkan leher yang menjadi lebih kaku dari sebelumnya. Tidurnya
semakin hari semakin terganggu oleh pangeran yang tak boleh tahu perasaannya
itu. Mulai diisinya lembar demi lembar buku saksi bisu cintanya.
"Apakah aku bersalah
ketika membiarkan hati yang kosong ini tiba-tiba berharap? Bergerak lambat
namun pasti, aku berharap dia benar-benar pangeranku. Berjalan pelan, tapi
menerobos bagai badai, aku merasa cinta ini tak dapat kutolak lagi. Apa aku
harus mencarikan nama lain untuk cinta ini agar tidak ada rasa sakit? Tapi, itu
tak penting, dan tak harus kupermasalahkan nama untuk perasaan yang diam-diam
mengisi kekosongan ini. Biarlah cinta ini kunikmati walau dari kejauhan. Dia
sudah melangkah pada persimpangan di depanku, jangan aku merusak yang telah
hadir sebelum aku datang. Bukan salah siapapun jika tiba-tiba hati ini
menganggapnya pangeran. Aku akan tetap tersenyum padanya, karena hanya ini yang
bisa kulakukan," tulisnya dengan senyum tipis.
"Titan, ada yang cari
tuh." Mamanya berdiri di pintu kamar dengan dandanan sudah rapi.
"Mama mau pergi
lagi?" tanyanya sambil menutup agenda.
Mamanya tak menjawab, mendekatinya,
lalu memegang tangannya dengan mata hampir berair. Titan cukup mengerti kenapa
Mamanya tak sekuat dan setegar sebelumnya.
"Mama terpaksa harus
minta pengertianmu lebih banyak, Sayang. Mama ingin duduk bersamamu dengan hati
benar-benar sudah ringan."
"Tidak bisakah Mama
berbagi kesedihan dengan Titan, Ma?"
Mamanya menunduk.
"Rasa kehilangan Papa
bukan hanya milik Mama, tapi milik Titan juga. Kenapa Mama masih ingin terus
berlari?"
Mamanya masih diam dan
membiarkan air mengalir deras dari mata cantiknya yang sudah mulai dihinggapi
gurat ketuaan.
"Tidak bisakah kita
hadapi ini berdua, Ma? Papa sudah bahagia di sana dengan istri barunya. Kita
doakan agar mereka benar-benar bahagia."
Mamanya bergeming. Titan tak
tahu apa yang sedang dipikirkan perempuan yang sangat dicintainya itu, namun
hati dan jiwanya bisa merasakan kepedihan yang bersembunyi di balik wajah tua
itu. Ingin gadis itu berlari memeluknya, namun kesedihan membuat Mamanya seolah
semakin sulit dijangkaunya.
"Titan tahu bagaimana
perasaan Mama. Tapi, jika memang Papa bahagia, kita nikmati juga kebahagiaan
Papa. Memang sulit. Buat Titan juga sulit, tapi kita minta saja pada Tuhan agar
hati kita mudah menerimanya."
"Mama sudah berusaha
Sayang, tapi Mama belum bisa memaafkan perbuatan Papamu. Mudah-mudahan suatu
saat bisa Mama lakukan."
"Sampai kapan Mama akan
seperti ini? Membawa lari duka dan kecewa. Tiap hari Mama pergi sampai larut
malam. Titan nggak pernah tahu ke mana Mama pergi. Mau sampai kapan, Ma?"
"Entahlah, Mama akan
terus berusaha membujuk hati Mama." Mamanya melepaskan genggaman, berjalan
ke meja rias Titan, mengambil tisue dan mengusap matanya di depan cermin. Titan
ingin berlari memeluk Mamanya. Dibiarkannya rasa itu sampai suatu saat Mamanya
mengerti bahwa dirinya pun tak ingin kehilangan. "Mama pergi dulu, ya.
Kasihan temanmu sudah lama menunggu. Temui sana. Dagh, Sayang."
Titan mengikuti Mamanya sambil
mendekap hatinya yang meronta ingin menikmati kesedihan. Dibujuknya agar
sebongkah genangan di dalam sana bersenandung indah, menghantar ketenangan pada
hati luka Mamanya. Ditatapnya sang mama, berharap hari ini adalah hari terakhir
Mamanya mencari senyuman yang sudah lama menghilang.
"Sore Tante," sapa
Ramda ramah dan sopan.
"Sore. Tante tinggal
dulu, ya."
Titan menahan lesu di hatinya agar
dapat berbagi senyum dengan pangeran yang sedang mematung memandangi dirinya.
Raut wajahnya tak bisa ditebak, sedang memikirkan apa lelaki itu gerangan?
"Pantas kamu cantik.
Keturunan rupanya. Mamamu cantik sekali."
"Terima kasih."
"Sayang aku sudah mempunyai
calon."
"Aku sudah mengucapkan
kalimat itu saat pertama kali bertemu denganmu pangeranku," bisik Titan
dalam hati. "Silahkan duduk," jawabnya kemudian.
Dialihkannya pandangan pada
buku-buku yang dipegang Ramda untuk menyimpan pedih hatinya mendapati tatapan
mata Ramda yang semakin hangat dan mesra. "Buku-buku apa itu?"
"Ini katalog baju-baju
pengantin. Aku mau minta tolong kamu yang memilihkannya untuk kami
berdua."
"Aku?"
"Ya. Kamu." Ramda
mengangguk sambil tersenyum.
"Kenapa bukan kalian
sendiri yang memilih? Selera kita kan, beda."
"Aku lebih suka seleramu.
Aku berpacaran hampir dua tahun, selalu diwarnai pertengkaran dalam memutuskan
sesuatu. Tapi, selama hampir satu tahun ini bersahabat denganmu, apa yang kita
inginkan kebanyakan sama. Untuk itu tolong pilihkan salah satu yang sesuai
untukku."
Kemudian keduanya sibuk dengan
berbagai macam gambar baju dan pernak pernik pernikahan. Titan lebih banyak
tertawa agar airmatanya tidak sampai mengalir. Dilihatnya dengan teliti pakaian
yang indah dan anggun untuk sang pangeran dan pasangannya. Nyeri tak
dirasakannya, yang ada hanya ingin berbagi kebahagiaan. Tusukan-tusukan pedih
di setiap pori-pori kulitnya pun tak dirasakannya agar kebahagiaan benar-benar
dapat dinikmatinya.
"Jangan biarkan hati ini
merintih, Tuhan. Pangeranku tak tahu bahwa sikapnya ini membuatku pedih.
Izinkan aku berbagi kebahagiaan dengannya dan damaikan hatiku, agar aku
benar-benar bahagia untuknya." Lagi-lagi Titan berisik dalam hati.
*
Pada hari kesekian Titan masih
harus kecewa menemukan Mamanya belum juga bisa berdamai dengan kenyataan yang
mereka hadapi. Juga untuk kesekian kalinya dia masih melihat airmata di wajah
cantik itu. Wajah yang telah kehilangan senyum bahagia, wajah yang masih
berlari mencari maaf untuk cinta yang berlalu tiba-tiba. Dan, untuk kesekian
kali Mamanya tidak mengizinkan dia menemui Papanya walau hanya sekedar mengucap
rindu. Mamanya masih belum bisa mengerti bahwa kerinduan di hatinya tak dapat
diusir begitu saja.
"Maafkan Titan, Ma. Titan
tahu Papa telah menyakiti kita berdua, tapi bukan hak Titan untuk mengadili
Papa. Apapun kesalahan Papa terhadap Mama, Titan tetap anak Papa dan Mama.
Sudah seharusnya Titan hormat pada Papa dan Mama."
"Kamu tidak tahu
bagaimana rasanya dikhianati Titan, bagaimana rasa kehilangan cinta dan
kepercayaan."
"Titan tahu Ma, sangat
tahu bagaimana rasanya, tapi tetap saja sama. Titan di sini hanya sebagai anak,
yang tak boleh tak hormat pada orang tua, bisakah Mama mengerti ini?"
"Anak dari seorang Papa
yang tak pernah lagi memberi penghidupan? Anak dari seorang Papa yang tak lagi
peduli mau ke mana dan jadi apa anaknya itu?"
"Izinkan Titan menemui
Papa, Ma. Mungkin dengan begitu Papa akan kembali mengingat kehadiran kita di
sisi lain hidupnya, mengingat bahwa kita adalah salah satu lembaran hidup yang
tak bisa dia lupakan begitu saja."
"Tak bisakah kamu
memberikan sedikit lagi kelonggaran waktu untuk Mama, Sayang? Mama hanya ingin
mengobati dulu luka ini. Mama hanya ingin yakin bahwa Mama tak akan kehilanganmu
juga."
Hening sejenak. Titan
membiarkan Mamanya menghabiskan tangis, lalu dipeluknya perempuan cantik itu
dengan lembut.
"Tolonglah Mama mengerti
apa yang sedang Titan coba untuk hayati. Titan tidak mengingkari bahwa Papa
menyakiti kita. Tapi, biarlah itu menjadi urusan Papa dengan Tuhan. Kita sama
sekali tidak berhak untuk mengadili, karena kita juga tidak tahu apakah hanya
Papa yang benar-benar memiliki kesalahannya."
"Hanya kamu yang seolah
ingin membenarkan perselingkuhan dan penghianatan ini. Mama juga ingin memiliki
pembenaran dan maaf untuk Papamu, tapi Mama tetap tidak mengizinkan kamu datang
berkunjung ke rumah Papamu yang baru," sergah perempuan itu, lalu
menyudahi perdebatan dan meninggalkan Titan sendiri di kamarnya.
Bagi Titan, ini adalah
pemandangan yang sungguh sangat menyiksa, melihat Mamanya pergi dengan isak dan
kekecewaan yang tak lagi disembunyikan. Kedua orang tua yang berdiri di dua
tempat dan keduanya menuntut pembenaran. Masing-masing tidak ingin beristirahat
sejenak menengok ke kedalaman hati, agar dapat melihat apakah masih ada cinta
yang selalu ingin memberi di sana? Titan bertanya pada dirinya sendiri, di saat
pedih menerkam, mengapa cinta lantas disingkirkan? Kamar itu menjadi lebih
hening dari sebelumnya, benar-benar senyap.
*
"Mengapa aku jadi ragu
dengan pernikahan ini, ya?" Ramda bergumam sambil menatap Titan, berharap
gadis itu bias sedikit membenarkan keinginannya, berharap gadis itu dapat
menyelamatkannya dari apa yang tiba-tiba tak diinginkannya.
"Ragu?" tanya Titan
heran.
Ramda masih menatapnya dengan
sinar semakin membuai hati yang sedang kering. Titan juga menatap heran,
berusaha menahan dan memadukan nyeri pun sakit menjadi nikmat, tak ingin
berharap apapun.
"Semakin lama aku makin
merasa cocok denganmu, Titan. Aku merasakan semakin jauh dari calon istriku,
padahal pernikahan kami kurang dua bulan lagi. Menurutmu, apa yang akan terjadi
jika rencana ini aku batalkan?"
"Menurutmu sendiri
bagaimana?"
"Tentunya akan terjadi
keributan antara dua keluarga."
"Bagaimana juga dengan
kekasihmu?"
"Sedih dan sakit hati
tentunya."
"Jadi, berapa banyak yang
akan tersakiti dengan keputusanmu itu?"
Ramda terdiam, memandangi
Titan tak berkedip. Di sana banyak sekali cinta, tetapi tak dapat diraihnya
satu pun. Ramda mengeluh dalam hati, tak ada yang dapat menjelaskan padanya
mengapa tumbuh perasaan beda pada gadis yang semula dianggapnya sebagai sahabat
itu. Bahkan, tak ada yang dapat menjelaskan padanya mengapa mereka
dipertemukan.
"Kamu memiliki banyak
cinta, Titan. Maaf, aku tahu kamu sebenarnya juga mencintaiku, tapi mengapa tak
kau berikan satu saja padaku?"
Titan menunduk.
“Mengapa, Titan?”
"Sudah kuberikan padamu
sebanyak waktu kita bersama. Cinta tak harus meiliki, kan?”
“Tapi….”
“Kau raih satu cinta yang
sebenarnya sudah kau dapatkan, tapi kau akan kehilangan banyak cinta dan
kepercayaan, baik dari kekasihmu, kedua orang tua kalian, bahkan teman-teman
kalian. Apakah itu yang kau inginkan?"
Ramda menggeser tubuhnya
mendekati Titan, kemudian menggenggam jemari Titan dan menatap matanya,
berusaha menyelami samudera biru di dalamnya. Dicobanya mencari di sana, adakah
rintihan memanggil namanya? Tetapi, hanya pandangan penuh cinta yang
didapatinya. Tak ada keharusan apapun.
"Nanti setelah aku
menikah, apakah kamu masih mau menjadi sahabatku?" tanyanya kemudian.
Titan tersenyum dan
mengangguk. Andai boleh dilakukannya, maka dia akan meminta kursi pelaminan itu
untuknya. Tapi, hatinya mendesah mencoba mencari kebenaran, agar sakit yang
dirasakannya tak menyakiti yang lain. Cintanya berbinar menuai perih, namun di
sana masih ada senyum untuk sang pangeran. Akan ditunggunya sampai seorang
pangeran benar-benar datang menyelamatkannya dari dekapan sepi, hitam, dan
kelam, agar kakinya dapat menginjak tanah basah nun jauh di bawah ketinggian
puri yang selalu mengirim duka padanya.
* di dasar cangkir kopi, Kit
Rose
____________________________
Cinta akan selalu ada, namun
tak akan menyakiti. Jangan pernah mengaturnya hanya untuk satu alasan,
keinginan. Karena cinta bukan melulu tentang apa yang kau inginkan. ~KR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar