Sabtu, 30 Mei 2020

Surat Bersampul Hitam


Saat kutemukan cinta pada masa yang salah,
aku tak tahu harus berbuat apa
aku tak tahu kenapa cinta ini datang tiba-tiba.
Ketika kurasakan rindu yang tak boleh kunikmati,
aku tak tahu harus mencarimu ke mana
Siapa yang dapat menjelaskan kenapa rindu ini datang mendera?

Aku tak ingin terus menjerit memanggil namamu.
Aku hanya ingin bertanya,
ketika kau tawarkan segelas penawar dahaga,
kenapa kau renggut hausnya tatkala kuingin meneguknya?

Cawanmu mengalir begitu deras pada lukaku,
melindas seluruh kalbu hingga aku tak inginkan apapun,
tidak juga rindumu, dirimu, dan cintamu.

~

"Kumbang."

Lelaki itu mengangsurkan tangannya dan menjabat tanganku dengan hangat. Matanya pun menatapku tak kalah hangat. Sejenak aku seperti terbius keinginan untuk menikmati kehangatan itu lebih lama, entah kenapa hatiku berdesir, lalu kusebutkan juga namaku.

"Mawar."

"Nama yang cantik, secantik orangnya."

"Ah, bisa aja."

"Benar, kamu memang cantik, secantik namamu."

Itulah awal perkenalanku dengan Kumbang di suatu sore di sebuah toko buku. Aku tidak tahu dari mana datangnya, tiba-tiba saja laki-laki itu sudah berada di hadapanku. Saat itu aku sedang membuang kejenuhan dan hendak mencari bacaan yang dapat membuatku bersemangat lagi menghadapi hari-hariku yang semakin suram.

Entah kenapa, semakin hari hubunganku dengan Mas Surya, suamiku, semakin dingin. Terlihat damai, tapi terasa gersang. Tiap aku berusaha untuk memperbaikinya, selalu berakhir dengan pertengkaran. Aku tidak ingin suatu saat pertengkaran kami diketahui anak-anak kami, maka dari itu aku mulai menahan diri untuk tidak membicarakan apa-apa lagi. Aku menelan segala hal dan setiap masalah dalam diam, lalu tidak ada lagi pertengkaran di antara kami. Tetapi, rasanya hati kami semakin hari semakin pudar dan jauh, sampai aku seringkali merasa tak mampu lagi untuk mendekat. Pernikahan kami lambat laun bagai gelas kristal tak berisi, hingga tak ada lagi yang perlu kami aduk di sana, tak ada rasa yang perlu kami satukan di sana.

*

"Halo, Mawar," sapa laki-laki bernama Kumbang itu saat aku kembali ke toko buku yang sama beberapa hari kemudian.

"Hei! Kok, bisa ketemu lagi, ya?" jawabku, tidak yakin dia benar-benar laki-laki yang kutemui waktu itu.

"Aku sering memperhatikan kamu dari jauh tiap kali kamu ke sini."

"Oh, ya? Kenapa rupanya?"

"Keren."

"Apanya?"

"Kita memiliki hobi yang sama. Aku juga suka menghabiskan waktu dengan belanja buku-buku."

Lalu, dia mengajakku duduk sebentar di bangku kecil di depan toko buku itu. Aku tidak menolak karena kakiku juga sudah mulai terasa pegal. Hampir seluruh lantai toko kami kelilingi sambil berbincang. Buku-buku yang dibelinya kebanyakan bertema sama dengan yang kubeli. Kembali hatiku berdesir menerima tatapan matanya yang hangat. Caranya menanyakan segala hal tentang diriku sungguh tidak membuatku bosan seharian di sana. Aku hampir tidak memiliki kesempatan untuk bertanya tentang dirinya.

*

Hari berikutnya aku sengaja datang lagi ke toko buku itu walaupun sebenarnya aku tak ingin membeli apapun. Ingin rasanya aku menghindar, tapi hatiku tetap berharap Kumbang juga ada di sana menanti kedatanganku seperti hari sebelumnya. Entah kenapa. Hatiku sungguh berdebar dan berbunga-bunga ketika dari ekor mataku aku melihat dia datang menghampiriku dan menyapa.

"Hai!"

"Eh, Mas Kumbang? Kebetulan lagi, ya?" Aku pura-pura terkejut.

"Aku sengaja menunggumu dari tadi."

"Kenapa?" Tentu saja pertanyaan itu kusampaikan dengan nada seolah terkejut, tanpa harus menunjukkan bahwa aku juga ingin bertemu lagi dengannya.

"Pake tanya, lagi! Ya, kangenlah!"

Betapa tersanjung aku mendengarnya. Tak kuhiraukan lagi betapa memalukannya sikapku ini. Sikap Kumbang yang berani dan terlihat natural itu sudah cukup membuatku senang. Kusingkirkan begitu saja betapa aku merasa sangat bersalah pada Mas Surya karena aku sangat mensyukuri pertemuan itu. Kami berbincang lebih akrab sambil berkililing toko buku lebih lama dari hari sebelumnya, namun kali ini kami sama-sama tidak membeli apapun.

"Kita makan malam di restoran sebelah, yuk. Nggak enak di sini ngobrol lama, diliatin orang," katanya sambil berjalan keluar dari toko buku.

Aku mengikutinya tanpa berusaha menolak, dan dengan sukacita kuberikan nomor ponselku ketika dia memintanya. Lagi-lagi, entah kenapa.

"Apa suamimu tidak marah kita bertemu seperti ini?"

"Kalau tahu mungkin marah," jawabku sambil menahan beribu rasa.

"Tadi pamitnya ke mana?"

"Kalau dia masih ingat, tujuanku satu-satunya ya, ke toko buku tiap pamit mau jalan-jalan."

"Jam segini apa dia belum pulang?"

Aku melirik jam tanganku sebelum menjawab, "Jam sembilan masih pagi buat Mas Surya. Apa Mas Kumbang mau pulang sekarang?"

"Aku?" Dia tertawa, "Bertemu dan ngobrol denganmu sangat menyenangkan. Makanya aku sengaja menunggumu. Apalagi aku masih bujangan, jadi bebas, nggak ada yang marah, yang aku pikirkan justru kamu."

Aku sangat mengerti dengan apa yang dikatakannya. Untuk itu, walaupun berat aku yang kemudian memutuskan untuk menyudahi pertemuan kami hari itu. Dia menolak awalnya. Ini tanpa kusadari sangat membuatku bahagia. Agak ragu-ragu, aku berharap hubungan kami akan terus berlanjut. Ternyata harapanku menjadi kenyataan. Setelah itu, hubungan kami berlanjut dengan pertemuan-pertemuan berikutnya yang tak dapat lagi kuhindari. Bahkan kemudian sangat kuinginkan. Tiap kali Kumbang menelpon dan mengajakku untuk bertemu, saat itulah aku merasakan perlahan-lahan semangat hidupku yang hampir hilang tumbuh kembali. Aku akan segera menemuinya tanpa berbasa-basi untuk menolaknya terlebih dahulu. Kegembiraan yang kurasakan benar-benar tak sanggup kututupi. Sungguh aku tidak tahu kenapa terjadi seperti ini. Aku benar-benar tidak tahu.

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari hubungan dan pertemuan-pertemuan kami yang berusia sangat muda itu. Kami hanya mengisinya dengan berbincang dan bercanda, kadang bertukar cerita tentang pengalaman masing-masing. Sesekali dia memujiku, dan aku membungkus tiap pujiannya dalam hatiku sebagai bekal untuk kegembiraanku di rumah, di depan suami dan anak-anakku. Tiap kalimat yang diucapkannya bagaikan percikan embun yang mampu menumbuhkan kuncup-kuncup bunga yang layu dan hampir mati. Kusiapkan sarapan Mas Surya dan anak-anak dengan wajah tak murung lagi. Kuselipkan sedikit kehangatan yang diberikan Kumbang di hatiku sebagai bekal untuk tetap menjadi yang terbaik buat suami dan anak-anakku. Perlahan kurangkai kembali keceriaan di rumahku, dan perlahan anak-anakku pun kembali hidup.

"Aduh, Mawar! Aku ingin dengar suaramu." Kalimatnya di telepon itu mengawali pagi hariku yang tiba-tiba menjadi begitu cerah. Jantungku berdegup kencang saat mendengarnya hingga aku tak dapat berkata-kata.

"Suami udah berangkat?"

"Sudah," jawabku sedikit kaget. Saat itu aku baru menyadari, entah sudah sejak kapan Mas Surya tidak pernah lagi mencium keningku sebelum berangkat kerja. Juga tak pernah lagi menelponku biarpun hanya untuk mengabarkan dia akan pulang pagi, bahkan entah sudah berapa lama Mas Surya tidak pernah lagi bercanda dengan anak-anak.

"Anak-anak?"

"Sudah juga."

"Sendiri dong, di rumah?"

"Ya, begini tiap hari. Kenapa memangnya?"

"Aku temenin, ya?"

Aku bingung harus menjawab apa, dan berangan-angan seandainya yang mengucapkan itu adalah Mas Surya. Namun, hatiku sekarang bergetar walaupun yang mengucapkan itu Kumbang.

"Hahaha.... Deg-degan, ya. Rasanya kayak gita cinta SMA, ya?"

"Ah, Mas Kumbang bisa aja."

Lalu, kami berbincang dan bercanda hingga jam makan siang tiba dan anak-anakku pulang sekolah. Begitulah selanjutnya hari-hariku tak pernah sepi lagi. Kumbang mengisi celah-celah kehidupanku yang kosong, menghibur dan memberiku semangat, meyakinkanku bahwa suamiku tidak mungkin tidak mencintaiku lagi. Sementara aku sering menggodanya untuk menyudahi patah hatinya dan mulai membuka hatinya bagi perempuan lain.

Awalnya aku tulus mendorong Kumbang untuk segera menikah. Usianya terpaut lima tahun di atasku, sudah seharusnya dia mengakhiri masa lajangnya. Tapi, entah kenapa lambat laun hatiku seperti tertusuk duri tiap kali dia bercerita tentang teman wanitanya. Aku seperti tidak ingin lagi mendengar dia menyebutkan nama perempuan manapun. Aku bahkan tidak bisa menjelaskan pada diriku sendiri kenapa aku merasa seperti ini.

*

Suatu hari Kumbang menemuiku dengan wajah murung yang disembunyikan, tapi tetap terbaca olehku. Dia lebih banyak diam dan tersenyum, tak ada lagi kalimat-kalimat dan tawanya yang lepas.

"Mawar, sahabat itu bagai tangan dan mata. Kamu sudah aku anggap sebagai sahabatku, bukan hanya sekedar teman," kata Kumbang tiba-tiba, dengan keceriaan yang kentara dipaksakan.

"Terima kasih Mas, aku hargai itu."

"Aku ingin berbagi cerita denganmu."

"Aku di sini dan siap mendengarkan."

Dia menceritakan segala hal tentang dirinya. Tentang tiga perempat hidupnya yang dihabiskannya di luar rumah, tentang kesendiriannya, kesepian, dan kebosanannya, juga tentang kehausannya akan cinta. Aku sangat bisa merasakan kesepian dan kesedihan yang berusaha ditutupinya. Saat itu juga aku menyadari bahwa aku mulai menyayanginya. Aku sangat ingin dia bahagia meskipun aku tidak tahu bagaimana caranya.

"Ngomong-ngomong, sudah ada calon belum, Mas?" Aku memberanikan diri bertanya.

"Kenapa tanya begitu?"

"Nggak apa-apa. Aku hanya berpikir, sampai kapan Mas menutup diri seperti ini?"

"Aku nggak menutup diri. Kan, ada kamu."

"Maksudku, untuk gadis yang bisa dijadikan teman hidup."

"Enggak, ah. Nggak berani."

"Kenapa? Di luar sana masih banyak gadis yang setia dan berhati baik, Mas. Jangan terbelenggu oleh masa lalu. Aku lihat teman Mas Kumbang juga cantik-cantik, tinggal pilih saja."

"Di mataku cuma kamu yang cantic, dan aku cocok sama kamu."

"Aku serius, Mas. Mas Kumbang harus segera membuka hati dan menentukan siapa calon pendamping hidup yang cocok buat Mas. Usia Mas makin hari kan makin bertambah."

"Aku juga serius. Aku maunya sama kamu saja."

"Aku? Nggak salah? Mas lupa aku sudah berkeluarga?"

Rasanya aku ingin pingsan saat itu juga mendengar begitu tegas suara Kumbang. Aku ingin menangis, terkoyak perasaan bahagia dan nestapa. Bagaimanapun aku dulu pernah mencintai Mas Surya. Jauhnya hati kami bukanlah alasan yang dapat kubenarkan untuk menghianati dia, ditambah dengan hadirnya putra putri kami dalam kehidupan kami. Kekeringan di antara kami memang menyakitkan dan membuatku merasa tak ada gunanya lagi terus mencoba bertahan di sampingnya. Namun, aku tak ingin kekeringan dan kehampaan yang kurasakan ini akhirnya menjebakku untuk melakukan sesuatu yang akan membuat suami dan putra putriku tersakiti. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap bersikap tenang.

"Ayolah, Mas. Apa aku yang pilihin?" kataku akhirnya untuk mencairkan suasana hatiku sendiri.

"Kamu mau berkelit, ya? Nggak ada calon dan nggak mau."

"Kenapa?"

"Sama kamu. Oke? Aku maunya sama kamu, Mawar. Alangkah bahagianya diriku andai kamu bisa mengerti ini. Tolong jangan pernah lagi bicarakan ini dan jangan memaksaku!"

Kumbang berdiri dan pergi meninggalkanku begitu saja setelah menyelesaikan kalimatnya. Aku bahkan tidak sempat mengatakan satu patah kata pun. Ketika aku hendak mengejarnya, mataku seolah terbakar oleh apa yang tak sengaja sedang kusaksikan. Suamiku sedang duduk di meja tak jauh dari tempat kami duduk. Tangannya melingkar erat dan mesra pada pundak seorang gadis yang duduk sambil bergelayut tak kalah mesra di bahunya. Aku buru-buru ke meja kasir dan berlari ke pintu keluar rumah makan, tapi Kumbang sudah menghilang. Airmataku tak dapat kutahan lagi, entah apa yang kutangisi. Kutinggalkan rumah makan itu, tak tahu harus ke mana. Aku berjalan tak tentu arah diiringi bayangan wajah Kumbang, Mas Surya, dan gadis di sebelahnya.

Jalanan yang masih ramai di sana terasa senyap bagiku. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi pada diriku. Aku bahkan tidak ingin tahu siapa gadis yang bersama suamiku. Aku juga tidak ingin tahu sejauh mana hubungan mereka. Aku tak peduli lagi apa yang dilakukan Mas Surya untuk menyakitiku. Aku sibuk mencerna kalimat Kumbang. Apakah maksudnya? Kepada siapa aku minta penjelasan? Rasanya aku sangat bahagia seandainya Kumbang benar-benar menginginkan diriku, tapi entah kenapa aku juga merasakan kesakitan yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku benar-benar merasakan kesakitan.

Setelah itu, selama satu minggu dia tidak menghubungiku lagi. Aku benar-benar dilanda kebingungan dan tanda tanya. Tiap saat kupandangi ponselku dengan cemas dan penuh harap, sampai aku sadar bahwa api harapanku yang menyala-nyala membakar jiwa ragaku ini harus segera kupadamkan, sebelum membakar anak-anakku juga. Bagaimana dan apapun caranya. Aku kembali dihempaskan ke dalam kesepian yang lebih menyakitkan. Hatiku lebih murung dari sebelumnya, tapi kali ini dengan sekuat tenaga kusembunyikan. Di hadapan anak-anak aku tetap bertahan dengan sikap ceria.

Waktu untuk sebaris kebahagiaan bersama Kumbang datang terlalu cepat padaku, hingga sebelum aku sempat menikmatinya sudah berakhir pula dengan cepat. Pertemuan kami yang baru dimulai seperti membawaku ke tengah lautan yang aku sendiri tidak menyadari kapan mulai berlayar dan ke mana hendak berlabuh. Aku tetap tersenyum dengan ramah tiap suamiku pulang dengan wewangian asing dan lipstik menempel di baju kerjanya. Begitu juga aku tetap menyiapkan semua keperluannya sebelum dan sepulang kerja. Dalam diam aku terisak tiap ingat Kumbang. Kata-kata manis dan harapan yang sempat diguyurkannya serasa meremukkan puing-puing dinding hatiku, begitupun kehangatannya, membahagiakan sekaligus memberangus jiwaku.

"Ya Tuhan, ampunilah segala dosa dan khilafku, juga suamiku. Berikanlah kami jalan terang yang baik dan benar buat masing-masing diri kami agar kami tidak lagi saling menyakiti. Berikanlah kebahagiaan di hati suamiku. Jika kebahagiaan itu adalah perempuan lain, aku mohon berikanlah suamiku perempuan yang baik dan dapat membuatnya bahagia. Jika hal itu sudah saatnya tiba, aku mohon siapkan dan ikhlaskanlah hatiku, Ya Tuhan. Bimbinglah kami agar dapat menyelesaikannya dengan tanpa menyakiti hati dan jiwa putra putri kami. Ya Tuhan, ampunilah segala dosa dan khilafku, juga Mas Kumbang. Jagalah dia dimanapun dia berada, jauhkanlah dia dari segala siksa dan marabahaya. Berikanlah juga dia kebahagiaan seperti Engkau memberikannya padaku dan pada suamiku."

Itulah doaku sebelum tidur di setiap malam-malam berikutnya, lalu kutuliskan sepucuk surat untuk Kumbang, kulipat dan kumasukkan ke dalam amplop berwarna hitam. Esoknya kukubur surat itu di bawah pohon-pohon mawar di taman belakang rumahku. Setiap malam setelah selesai berdoa, kutulis surat yang sama dan kukubur di tempat yang sama. Entah sudah berapa surat, aku tak ingin menghitungnya dan tak ingin berhenti menulisnya sampai aku bisa mengusir bayangan Kumbang dari hatiku. Sampai aku berhenti berharap, Kumbang akan datang kembali padaku dan sampai aku menemukan harapanku lagi tentang Mas Surya. Apa yang kulakukan ini mungkin hal gila bagi orang lain, atau kekanak-kanakan, aku tak peduli. Bagiku yang terpenting adalah, dapat melepaskan diri dari semua harapan yang tanpa kusadari telah kuukir walau aku tahu itu tak boleh kulakukan. Hingga pada suatu malam, aku memutuskan untuk menuliskan surat terakhirku, kali ini dengan senyum.

Mas Kumbang yang baik,
Saat membaca suratku ini aku berharap Mas Kumbang sedang dalam keadaan bahagia dan jauh dari masalah apapun dan dengan siapapun. Aku sengaja memakai amplop berwarna hitam agar Mas cepat tahu bahwa surat ini dariku. Pertama karena Mas tahu aku sangat mencintai warna hitam, seperti juga baru kusadari mungkin aku juga mencintaimu, hingga rasanya aku tak sanggup menunggumu lebih lama lagi. Kedua karena hidupku memang sudah lebih kelam dari warna hitam, hingga hampir menyeretmu ikut bersamaku ke dalam kegelapan.

Mas Kumbang yang entah berada di mana,
Sekarang tentu saja aku tidak akan dapat lagi mengganggumu, karena sebelum itu terjadi engkau sudah memutuskan untuk menjauh dan menghilang dariku. Hanya dengan cara itulah agar kau tidak sampai benar-benar terperangkap dalam gelora cintaku. Aku sadar bahwa aku tidak pantas terlalu berharap suatu ketika kau memang benar-benar mencintai dan menginginkanku. Aku tidak akan berhenti berdoa untuk segala yang kau inginkan dan untuk kebahagiaanmu.

Mas Kumbang yang mungkin benar aku cintai,
Tak masalah jika kau pernah menawarkan harapan padaku. Bukan salahmu kalau tiba-tiba aku terlalu berharap bahwa kau juga mencintai dan menginginkanku. Aku yang terlalu bodoh dan naif membiarkan rasa itu tumbuh pada orang, waktu, dan tempat yang salah. Aku sangat mengerti kenapa tiba-tiba kamu menghilang dari kehidupanku. Mungkin itulah yang terbaik untuk semua. Aku berdoa untuk diriku sendiri agar Tuhan memberiku waktu menyaksikan kebahagiaanmu dan juga suamiku. Aku hanya ingin menyampaikan bahwa aku baru menyadari betapa aku tak dapat menanggung siksa cinta ini tatkala mendapati diri lenyap dari hangatmu. Aku hanya ingin menyampaikan, kalau aku baru merasakan gelora rindu dan menikmati pedihnya ketika mendapatkan diri jauh dari sapamu.

Untuk terakhir kalinya, malam ini kutulis surat ini dan kutanam di bawah pohon mawar seperti surat-surat yang lain. Akan kusiapkan diriku untuk menghadapi hari esok yang lebih nyata. Akan kuperjuangkan cinta Mas Surya agar kembali seperti semula, demi anak-anakku dan tanggung jawab yang sudah digariskan untukku.

* di ceruk pintu, Kit Rose

__________________________________
Terlalu dini untuk mengatakan cinta pada ujung daun yang sedang kuncup. Memandang ke luar jendela di saat hujan rintik memang menyegarkan, tapi jangan lupa di sana pasti ada juga mendung dan badai yang kapan saja bisa datang menghampiri. Tutuplah jendela dan lihatlah pada ruangan sejuk ini. ~KR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar