Saat kutemukan cinta pada masa
yang salah,
aku tak tahu harus berbuat apa
aku tak tahu kenapa cinta ini
datang tiba-tiba.
Ketika kurasakan rindu yang
tak boleh kunikmati,
aku tak tahu harus mencarimu
ke mana
Siapa yang dapat menjelaskan
kenapa rindu ini datang mendera?
Aku tak ingin terus menjerit
memanggil namamu.
Aku hanya ingin bertanya,
ketika kau tawarkan segelas
penawar dahaga,
kenapa kau renggut hausnya
tatkala kuingin meneguknya?
Cawanmu mengalir begitu deras
pada lukaku,
melindas seluruh kalbu hingga
aku tak inginkan apapun,
tidak juga rindumu, dirimu,
dan cintamu.
~
"Kumbang."
Lelaki itu mengangsurkan
tangannya dan menjabat tanganku dengan hangat. Matanya pun menatapku tak kalah
hangat. Sejenak aku seperti terbius keinginan untuk menikmati kehangatan itu
lebih lama, entah kenapa hatiku berdesir, lalu kusebutkan juga namaku.
"Mawar."
"Nama yang cantik,
secantik orangnya."
"Ah, bisa aja."
"Benar, kamu memang
cantik, secantik namamu."
Itulah awal perkenalanku
dengan Kumbang di suatu sore di sebuah toko buku. Aku tidak tahu dari mana
datangnya, tiba-tiba saja laki-laki itu sudah berada di hadapanku. Saat itu aku
sedang membuang kejenuhan dan hendak mencari bacaan yang dapat membuatku bersemangat
lagi menghadapi hari-hariku yang semakin suram.
Entah kenapa, semakin hari
hubunganku dengan Mas Surya, suamiku, semakin dingin. Terlihat damai, tapi
terasa gersang. Tiap aku berusaha untuk memperbaikinya, selalu berakhir dengan
pertengkaran. Aku tidak ingin suatu saat pertengkaran kami diketahui anak-anak
kami, maka dari itu aku mulai menahan diri untuk tidak membicarakan apa-apa
lagi. Aku menelan segala hal dan setiap masalah dalam diam, lalu tidak ada lagi
pertengkaran di antara kami. Tetapi, rasanya hati kami semakin hari semakin
pudar dan jauh, sampai aku seringkali merasa tak mampu lagi untuk mendekat.
Pernikahan kami lambat laun bagai gelas kristal tak berisi, hingga tak ada lagi
yang perlu kami aduk di sana, tak ada rasa yang perlu kami satukan di sana.
*
"Halo, Mawar," sapa
laki-laki bernama Kumbang itu saat aku kembali ke toko buku yang sama beberapa
hari kemudian.
"Hei! Kok, bisa ketemu
lagi, ya?" jawabku, tidak yakin dia benar-benar laki-laki yang kutemui
waktu itu.
"Aku sering memperhatikan
kamu dari jauh tiap kali kamu ke sini."
"Oh, ya? Kenapa
rupanya?"
"Keren."
"Apanya?"
"Kita memiliki hobi yang
sama. Aku juga suka menghabiskan waktu dengan belanja buku-buku."
Lalu, dia mengajakku duduk
sebentar di bangku kecil di depan toko buku itu. Aku tidak menolak karena
kakiku juga sudah mulai terasa pegal. Hampir seluruh lantai toko kami kelilingi
sambil berbincang. Buku-buku yang dibelinya kebanyakan bertema sama dengan yang
kubeli. Kembali hatiku berdesir menerima tatapan matanya yang hangat. Caranya
menanyakan segala hal tentang diriku sungguh tidak membuatku bosan seharian di
sana. Aku hampir tidak memiliki kesempatan untuk bertanya tentang dirinya.
*
Hari berikutnya aku sengaja
datang lagi ke toko buku itu walaupun sebenarnya aku tak ingin membeli apapun.
Ingin rasanya aku menghindar, tapi hatiku tetap berharap Kumbang juga ada di
sana menanti kedatanganku seperti hari sebelumnya. Entah kenapa. Hatiku sungguh
berdebar dan berbunga-bunga ketika dari ekor mataku aku melihat dia datang
menghampiriku dan menyapa.
"Hai!"
"Eh, Mas Kumbang?
Kebetulan lagi, ya?" Aku pura-pura terkejut.
"Aku sengaja menunggumu
dari tadi."
"Kenapa?" Tentu saja
pertanyaan itu kusampaikan dengan nada seolah terkejut, tanpa harus menunjukkan
bahwa aku juga ingin bertemu lagi dengannya.
"Pake tanya, lagi! Ya,
kangenlah!"
Betapa tersanjung aku
mendengarnya. Tak kuhiraukan lagi betapa memalukannya sikapku ini. Sikap
Kumbang yang berani dan terlihat natural itu sudah cukup membuatku senang.
Kusingkirkan begitu saja betapa aku merasa sangat bersalah pada Mas Surya
karena aku sangat mensyukuri pertemuan itu. Kami berbincang lebih akrab sambil
berkililing toko buku lebih lama dari hari sebelumnya, namun kali ini kami
sama-sama tidak membeli apapun.
"Kita makan malam di
restoran sebelah, yuk. Nggak enak di sini ngobrol lama, diliatin orang,"
katanya sambil berjalan keluar dari toko buku.
Aku mengikutinya tanpa
berusaha menolak, dan dengan sukacita kuberikan nomor ponselku ketika dia
memintanya. Lagi-lagi, entah kenapa.
"Apa suamimu tidak marah
kita bertemu seperti ini?"
"Kalau tahu mungkin
marah," jawabku sambil menahan beribu rasa.
"Tadi pamitnya ke
mana?"
"Kalau dia masih ingat,
tujuanku satu-satunya ya, ke toko buku tiap pamit mau jalan-jalan."
"Jam segini apa dia belum
pulang?"
Aku melirik jam tanganku
sebelum menjawab, "Jam sembilan masih pagi buat Mas Surya. Apa Mas Kumbang
mau pulang sekarang?"
"Aku?" Dia tertawa,
"Bertemu dan ngobrol denganmu sangat menyenangkan. Makanya aku sengaja
menunggumu. Apalagi aku masih bujangan, jadi bebas, nggak ada yang marah, yang
aku pikirkan justru kamu."
Aku sangat mengerti dengan apa
yang dikatakannya. Untuk itu, walaupun berat aku yang kemudian memutuskan untuk
menyudahi pertemuan kami hari itu. Dia menolak awalnya. Ini tanpa kusadari
sangat membuatku bahagia. Agak ragu-ragu, aku berharap hubungan kami akan terus
berlanjut. Ternyata harapanku menjadi kenyataan. Setelah itu, hubungan kami
berlanjut dengan pertemuan-pertemuan berikutnya yang tak dapat lagi kuhindari.
Bahkan kemudian sangat kuinginkan. Tiap kali Kumbang menelpon dan mengajakku
untuk bertemu, saat itulah aku merasakan perlahan-lahan semangat hidupku yang
hampir hilang tumbuh kembali. Aku akan segera menemuinya tanpa berbasa-basi
untuk menolaknya terlebih dahulu. Kegembiraan yang kurasakan benar-benar tak
sanggup kututupi. Sungguh aku tidak tahu kenapa terjadi seperti ini. Aku
benar-benar tidak tahu.
Sebenarnya tidak ada yang
istimewa dari hubungan dan pertemuan-pertemuan kami yang berusia sangat muda
itu. Kami hanya mengisinya dengan berbincang dan bercanda, kadang bertukar
cerita tentang pengalaman masing-masing. Sesekali dia memujiku, dan aku membungkus
tiap pujiannya dalam hatiku sebagai bekal untuk kegembiraanku di rumah, di
depan suami dan anak-anakku. Tiap kalimat yang diucapkannya bagaikan percikan
embun yang mampu menumbuhkan kuncup-kuncup bunga yang layu dan hampir mati.
Kusiapkan sarapan Mas Surya dan anak-anak dengan wajah tak murung lagi.
Kuselipkan sedikit kehangatan yang diberikan Kumbang di hatiku sebagai bekal
untuk tetap menjadi yang terbaik buat suami dan anak-anakku. Perlahan kurangkai
kembali keceriaan di rumahku, dan perlahan anak-anakku pun kembali hidup.
"Aduh, Mawar! Aku ingin
dengar suaramu." Kalimatnya di telepon itu mengawali pagi hariku yang
tiba-tiba menjadi begitu cerah. Jantungku berdegup kencang saat mendengarnya
hingga aku tak dapat berkata-kata.
"Suami udah
berangkat?"
"Sudah," jawabku
sedikit kaget. Saat itu aku baru menyadari, entah sudah sejak kapan Mas Surya
tidak pernah lagi mencium keningku sebelum berangkat kerja. Juga tak pernah
lagi menelponku biarpun hanya untuk mengabarkan dia akan pulang pagi, bahkan
entah sudah berapa lama Mas Surya tidak pernah lagi bercanda dengan anak-anak.
"Anak-anak?"
"Sudah juga."
"Sendiri dong, di
rumah?"
"Ya, begini tiap hari.
Kenapa memangnya?"
"Aku temenin, ya?"
Aku bingung harus menjawab
apa, dan berangan-angan seandainya yang mengucapkan itu adalah Mas Surya.
Namun, hatiku sekarang bergetar walaupun yang mengucapkan itu Kumbang.
"Hahaha.... Deg-degan,
ya. Rasanya kayak gita cinta SMA, ya?"
"Ah, Mas Kumbang bisa
aja."
Lalu, kami berbincang dan
bercanda hingga jam makan siang tiba dan anak-anakku pulang sekolah. Begitulah
selanjutnya hari-hariku tak pernah sepi lagi. Kumbang mengisi celah-celah
kehidupanku yang kosong, menghibur dan memberiku semangat, meyakinkanku bahwa
suamiku tidak mungkin tidak mencintaiku lagi. Sementara aku sering menggodanya
untuk menyudahi patah hatinya dan mulai membuka hatinya bagi perempuan lain.
Awalnya aku tulus mendorong
Kumbang untuk segera menikah. Usianya terpaut lima tahun di atasku, sudah
seharusnya dia mengakhiri masa lajangnya. Tapi, entah kenapa lambat laun hatiku
seperti tertusuk duri tiap kali dia bercerita tentang teman wanitanya. Aku
seperti tidak ingin lagi mendengar dia menyebutkan nama perempuan manapun. Aku
bahkan tidak bisa menjelaskan pada diriku sendiri kenapa aku merasa seperti
ini.
*
Suatu hari Kumbang menemuiku
dengan wajah murung yang disembunyikan, tapi tetap terbaca olehku. Dia lebih
banyak diam dan tersenyum, tak ada lagi kalimat-kalimat dan tawanya yang lepas.
"Mawar, sahabat itu bagai
tangan dan mata. Kamu sudah aku anggap sebagai sahabatku, bukan hanya sekedar
teman," kata Kumbang tiba-tiba, dengan keceriaan yang kentara dipaksakan.
"Terima kasih Mas, aku
hargai itu."
"Aku ingin berbagi cerita
denganmu."
"Aku di sini dan siap
mendengarkan."
Dia menceritakan segala hal
tentang dirinya. Tentang tiga perempat hidupnya yang dihabiskannya di luar
rumah, tentang kesendiriannya, kesepian, dan kebosanannya, juga tentang
kehausannya akan cinta. Aku sangat bisa merasakan kesepian dan kesedihan yang
berusaha ditutupinya. Saat itu juga aku menyadari bahwa aku mulai
menyayanginya. Aku sangat ingin dia bahagia meskipun aku tidak tahu bagaimana
caranya.
"Ngomong-ngomong, sudah
ada calon belum, Mas?" Aku memberanikan diri bertanya.
"Kenapa tanya
begitu?"
"Nggak apa-apa. Aku hanya
berpikir, sampai kapan Mas menutup diri seperti ini?"
"Aku nggak menutup diri.
Kan, ada kamu."
"Maksudku, untuk gadis
yang bisa dijadikan teman hidup."
"Enggak, ah. Nggak
berani."
"Kenapa? Di luar sana
masih banyak gadis yang setia dan berhati baik, Mas. Jangan terbelenggu oleh
masa lalu. Aku lihat teman Mas Kumbang juga cantik-cantik, tinggal pilih
saja."
"Di mataku cuma kamu yang
cantic, dan aku cocok sama kamu."
"Aku serius, Mas. Mas
Kumbang harus segera membuka hati dan menentukan siapa calon pendamping hidup
yang cocok buat Mas. Usia Mas makin hari kan makin bertambah."
"Aku juga serius. Aku
maunya sama kamu saja."
"Aku? Nggak salah? Mas
lupa aku sudah berkeluarga?"
Rasanya aku ingin pingsan saat
itu juga mendengar begitu tegas suara Kumbang. Aku ingin menangis, terkoyak
perasaan bahagia dan nestapa. Bagaimanapun aku dulu pernah mencintai Mas Surya.
Jauhnya hati kami bukanlah alasan yang dapat kubenarkan untuk menghianati dia, ditambah
dengan hadirnya putra putri kami dalam kehidupan kami. Kekeringan di antara
kami memang menyakitkan dan membuatku merasa tak ada gunanya lagi terus mencoba
bertahan di sampingnya. Namun, aku tak ingin kekeringan dan kehampaan yang
kurasakan ini akhirnya menjebakku untuk melakukan sesuatu yang akan membuat
suami dan putra putriku tersakiti. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap
bersikap tenang.
"Ayolah, Mas. Apa aku
yang pilihin?" kataku akhirnya untuk mencairkan suasana hatiku sendiri.
"Kamu mau berkelit, ya?
Nggak ada calon dan nggak mau."
"Kenapa?"
"Sama kamu. Oke? Aku
maunya sama kamu, Mawar. Alangkah bahagianya diriku andai kamu bisa mengerti
ini. Tolong jangan pernah lagi bicarakan ini dan jangan memaksaku!"
Kumbang berdiri
dan pergi meninggalkanku begitu saja setelah menyelesaikan kalimatnya. Aku bahkan tidak sempat mengatakan satu
patah kata pun. Ketika aku hendak mengejarnya, mataku seolah terbakar oleh apa
yang tak sengaja sedang kusaksikan. Suamiku sedang duduk di meja tak jauh dari
tempat kami duduk. Tangannya melingkar erat dan mesra pada pundak seorang gadis
yang duduk sambil bergelayut tak kalah mesra di bahunya. Aku buru-buru ke meja
kasir dan berlari ke pintu keluar rumah makan, tapi Kumbang sudah menghilang.
Airmataku tak dapat kutahan lagi, entah apa yang kutangisi. Kutinggalkan rumah
makan itu, tak tahu harus ke mana. Aku berjalan tak tentu arah diiringi
bayangan wajah Kumbang, Mas Surya, dan gadis di sebelahnya.
Jalanan yang masih ramai di
sana terasa senyap bagiku. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi pada
diriku. Aku bahkan tidak ingin tahu siapa gadis yang bersama suamiku. Aku juga
tidak ingin tahu sejauh mana hubungan mereka. Aku tak peduli lagi apa yang
dilakukan Mas Surya untuk menyakitiku. Aku sibuk mencerna kalimat Kumbang.
Apakah maksudnya? Kepada siapa aku minta penjelasan? Rasanya aku sangat bahagia
seandainya Kumbang benar-benar menginginkan diriku, tapi entah kenapa aku juga
merasakan kesakitan yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku benar-benar
merasakan kesakitan.
Setelah itu, selama satu
minggu dia tidak menghubungiku lagi. Aku benar-benar dilanda kebingungan dan
tanda tanya. Tiap saat kupandangi ponselku dengan cemas dan penuh harap, sampai
aku sadar bahwa api harapanku yang menyala-nyala membakar jiwa ragaku ini harus
segera kupadamkan, sebelum membakar anak-anakku juga. Bagaimana dan apapun
caranya. Aku kembali dihempaskan ke dalam kesepian yang lebih menyakitkan.
Hatiku lebih murung dari sebelumnya, tapi kali ini dengan sekuat tenaga
kusembunyikan. Di hadapan anak-anak aku tetap bertahan dengan sikap ceria.
Waktu untuk sebaris
kebahagiaan bersama Kumbang datang terlalu cepat padaku, hingga sebelum aku
sempat menikmatinya sudah berakhir pula dengan cepat. Pertemuan kami yang baru
dimulai seperti membawaku ke tengah lautan yang aku sendiri tidak menyadari
kapan mulai berlayar dan ke mana hendak berlabuh. Aku tetap tersenyum dengan
ramah tiap suamiku pulang dengan wewangian asing dan lipstik menempel di baju
kerjanya. Begitu juga aku tetap menyiapkan semua keperluannya sebelum dan sepulang
kerja. Dalam diam aku terisak tiap ingat Kumbang. Kata-kata manis dan harapan
yang sempat diguyurkannya serasa meremukkan puing-puing dinding hatiku,
begitupun kehangatannya, membahagiakan sekaligus memberangus jiwaku.
"Ya Tuhan, ampunilah
segala dosa dan khilafku, juga suamiku. Berikanlah kami jalan terang yang baik
dan benar buat masing-masing diri kami agar kami tidak lagi saling menyakiti.
Berikanlah kebahagiaan di hati suamiku. Jika kebahagiaan itu adalah perempuan
lain, aku mohon berikanlah suamiku perempuan yang baik dan dapat membuatnya
bahagia. Jika hal itu sudah saatnya tiba, aku mohon siapkan dan ikhlaskanlah
hatiku, Ya Tuhan. Bimbinglah kami agar dapat menyelesaikannya dengan tanpa
menyakiti hati dan jiwa putra putri kami. Ya Tuhan, ampunilah segala dosa dan
khilafku, juga Mas Kumbang. Jagalah dia dimanapun dia berada, jauhkanlah dia
dari segala siksa dan marabahaya. Berikanlah juga dia kebahagiaan seperti
Engkau memberikannya padaku dan pada suamiku."
Itulah doaku sebelum tidur di
setiap malam-malam berikutnya, lalu kutuliskan sepucuk surat untuk Kumbang,
kulipat dan kumasukkan ke dalam amplop berwarna hitam. Esoknya kukubur surat
itu di bawah pohon-pohon mawar di taman belakang rumahku. Setiap malam setelah
selesai berdoa, kutulis surat yang sama dan kukubur di tempat yang sama. Entah
sudah berapa surat, aku tak ingin menghitungnya dan tak ingin berhenti
menulisnya sampai aku bisa mengusir bayangan Kumbang dari hatiku. Sampai aku
berhenti berharap, Kumbang akan datang kembali padaku dan sampai aku menemukan
harapanku lagi tentang Mas Surya. Apa yang kulakukan ini mungkin hal gila bagi
orang lain, atau kekanak-kanakan, aku tak peduli. Bagiku yang terpenting
adalah, dapat melepaskan diri dari semua harapan yang tanpa kusadari telah
kuukir walau aku tahu itu tak boleh kulakukan. Hingga pada suatu malam, aku
memutuskan untuk menuliskan surat terakhirku, kali ini dengan senyum.
Mas Kumbang yang baik,
Saat membaca suratku ini aku
berharap Mas Kumbang sedang dalam keadaan bahagia dan jauh dari masalah apapun
dan dengan siapapun. Aku sengaja memakai amplop berwarna hitam agar Mas cepat
tahu bahwa surat ini dariku. Pertama karena Mas tahu aku sangat mencintai warna
hitam, seperti juga baru kusadari mungkin aku juga mencintaimu, hingga rasanya
aku tak sanggup menunggumu lebih lama lagi. Kedua karena hidupku memang sudah
lebih kelam dari warna hitam, hingga hampir menyeretmu ikut bersamaku ke dalam
kegelapan.
Mas Kumbang yang entah berada
di mana,
Sekarang tentu saja aku tidak
akan dapat lagi mengganggumu, karena sebelum itu terjadi engkau sudah
memutuskan untuk menjauh dan menghilang dariku. Hanya dengan cara itulah agar
kau tidak sampai benar-benar terperangkap dalam gelora cintaku. Aku sadar bahwa
aku tidak pantas terlalu berharap suatu ketika kau memang benar-benar mencintai
dan menginginkanku. Aku tidak akan berhenti berdoa untuk segala yang kau
inginkan dan untuk kebahagiaanmu.
Mas Kumbang yang mungkin benar
aku cintai,
Tak masalah jika kau pernah
menawarkan harapan padaku. Bukan salahmu kalau tiba-tiba aku terlalu berharap
bahwa kau juga mencintai dan menginginkanku. Aku yang terlalu bodoh dan naif
membiarkan rasa itu tumbuh pada orang, waktu, dan tempat yang salah. Aku sangat
mengerti kenapa tiba-tiba kamu menghilang dari kehidupanku. Mungkin itulah yang
terbaik untuk semua. Aku berdoa untuk diriku sendiri agar Tuhan memberiku waktu
menyaksikan kebahagiaanmu dan juga suamiku. Aku hanya ingin menyampaikan bahwa
aku baru menyadari betapa aku tak dapat menanggung siksa cinta ini tatkala
mendapati diri lenyap dari hangatmu. Aku hanya ingin menyampaikan, kalau aku
baru merasakan gelora rindu dan menikmati pedihnya ketika mendapatkan diri jauh
dari sapamu.
Untuk terakhir kalinya, malam
ini kutulis surat ini dan kutanam di bawah pohon mawar seperti surat-surat yang
lain. Akan kusiapkan diriku untuk menghadapi hari esok yang lebih nyata. Akan
kuperjuangkan cinta Mas Surya agar kembali seperti semula, demi anak-anakku dan
tanggung jawab yang sudah digariskan untukku.
* di ceruk pintu, Kit Rose
Terlalu dini untuk mengatakan
cinta pada ujung daun yang sedang kuncup. Memandang ke luar jendela di saat
hujan rintik memang menyegarkan, tapi jangan lupa di sana pasti ada juga
mendung dan badai yang kapan saja bisa datang menghampiri. Tutuplah jendela dan
lihatlah pada ruangan sejuk ini. ~KR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar