Sabtu, 30 Mei 2020

Batu Cinta


Kuingin hati yang dahaga,
dari lelaki yang berdiri di lembah sepinya
di antara rimbun dan belantara
tempat ia menabur rasa untukku
Pahitnya kini mengoyak birahi,
mengarungi samudra cinta dan mencari
hingga satu demi
satu bayangan ikut menikmati gejolaknya
Aku akan selalu memelukmu dalam setiap mimpiku
sampai di pemberhentian tempat kita akan bertemu

Kekasihku,
tak peduli di sana ada lelah, sakit, dan duka menghimpit
senyum ini adalah penawar kelam
Selamat malam hatiku
biarkan cintamu menikmati kebahagiaannya
kuminta esok engkau tidak merintih lagi menahan apapun
kuingin esok engkau selesai atas semuanya
dan kumau engkau mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan-Nya
Hitam atau putih jangan kau lumuri yang sudah tertera
biarkan apa adanya
sampai datang padamu cinta yang kau nanti

~

Kembali Samurai menorehkan bait puisi pada batu kesayangannya di sebuah bukit yang menjadi tempat pribadinya selama hampir satu tahun ini. Bait puisi yang sama, pada batu yang sama, di hari yang sama, jam yang sama, di setiap minggu. Di batu itu Teratai pernah menuliskan puisinya sebelum menghilang dan pergi meninggalkannya.

*

"Puisi yang indah sekali," puji Samurai.

"Terima kasih, tapi aku tersiksa olehnya," jawab Teratai.

"Aku menyukainya."

"Ingatlah dalam hatimu jika kau masih menyukainya, dan hapuslah dari benakmu jika kau sudah menemukan takdir baru dalam hatimu."

"Tak akan, Terataiku. Aku sangat mencintaimu."

"Cintamu melebihi yang sedang kurasakan." Teratai menyembunyikan air matanya dengan berbalik dan membelakangi Samurai, namun Samurai terlalu mencintai wanita itu hingga dapat merasakan getar kesakitan di balik punggungnya.

"Bolehkah aku menyentuhmu?" tanyanya mengiba.

"Jangan!"

"Aku ingin menghapus airmatamu."

"Jangan!"

"Mengapa?"

"Karena aku sangat mencintaimu."

"Bukankah cinta untuk bersatu?"

"Tidak selalu."

"Karena suamimu?"

"Anak-anakku."

"Aku akan membawa kalian semua bersamaku. Anakmu anakku juga." Samurai tak tahan hendak mengayunkan langkahnya, tapi Teratai menahan langkah cintanya dengan menjauh mendekati batu besar di sampingnya.

"Jika benar kau mencintaiku, janganlah kau sentuh diriku!"

"Mengapa, Teratai? Mengapa! Cintamu membawa misteri bagiku!" Samurai hampir murka karena putus asa.

"Bukankah hidup ini juga misteri? Aku tidak tahu mengapa Tuhan memberiku suami yang berkhianat padaku. Aku juga tidak tahu mengapa Tuhan mengirimkan dirimu yang tiba-tiba sangat kucintai, tapi tak dapat kumiliki. Bahkan aku tidak tahu, mengapa Tuhan membuatku ada."

"Kamu dapat memilikiku, Teratai. Aku juga ingin memiliki dirimu seutuhnya. Izinkanlah aku."

"Cinta tidak harus memiliki, Sayangku. Biarkanlah seperti ini. Kita nikmati sakit dan perihnya seperti halnya kita menikmati indah dan madunya."

"Tidak bisakah kau berikan cintamu sedikit saja padaku?"

"Tidak hanya sedikit, Samuraiku. Tidakkah kau menyadarinya?"

Teratai membalikkan badan menghadap Samurai. Airmatanya semakin deras mengalir hampir tanpa sela. Dengan bahu berguncang dia berkata, "Bahkan sukmaku sudah berada dalam genggamanmu hingga tak tersisa sedikitpun untuk diriku sendiri. Hampir saja aku tidak dapat menahan langkahku untuk membawa hatimu bersamaku. Apakah buta cintamu tidak melihat betapa tersiksanya diriku?"

Samurai menjatuhkan dirinya, bersimpuh di kaki Teratai. Tangannya bergetar menahan rintihan cinta terlarang, airmatanya pun mengalir memenuhi rongga hatinya. Menahan isak lelaki itu berkata memelas, "Mengapa, Teratai? Mengapa kau persulit semua ini? Mengapa kau halangi cinta kita untuk bersatu? Apakah aku harus membelah dadaku agar kau tahu betapa aku sangat mencintaimu?"

"Bukan aku yang mempersulit." Teratai bersimpuh pula di hadapan Samurai. "Tapi, cinta kita yang melakukannya. Ada hal yang kadang tidak harus kita uraikan. Aku juga tidak perlu menjelaskan padamu betapa terkoyaknya hatiku mendapati cintaku berlabuh pada sampan yang akan koyak karena kehadiranku." Lalu, tangannya yang halus menggenggam jemari Samurai dengan erat dan melanjutkan berkata, "Kita yang mempersulit diri sendiri, karena membiarkan diri hanyut dalam arus yang kita tidak tahu kedalamannya."

Setelah mengakhiri kalimatnya, Teratai mencium tangan Samurai dan berdiri dengan cepat, mematahkan ranting pohon di dekatnya, lalu menusuk jarinya satu per satu dengan bilah yang runcing hingga masing-masing meneteskan darah segar. Samurai terpaku menatap Teratai. Bagai raga tak bernyawa lelaki itu tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun, dan tak dapat menggerakkan tubuhnya untuk mencegah Teratai.

"Aku tidak boleh menyentuhmu, tapi aku telah melakukannya, agar kau tahu betapa aku sangat mencintaimu. Dan, sekarang aku telah menghukum jemari yang telah melakukannya, agar kau mengerti cintaku tak bisa aku jadikan alasan untuk menyakiti siapapun."

Teratai berjalan perlahan menuju ke batu besar di dekat mereka, lalu menuliskan sebaris puisi dengan tetesan darah dari jemarinya, kemudian berlari menuruni bukit dan menghilang di antara pepohonan. Samurai segera tersadar apa yang baru saja terjadi dan berlari mengejar Teratai, namun sampai petang bergelayut menghiasi awan, tak ditemukannya juga wanita pujaan hatinya itu. Hari berikutnya, minggu berikutnya, dan berbulan-bulan kemudian Samurai tak juga menemukan Teratai.

Mengais harapan dengan sembunyi-sembunyi, Samurai akhirnya mendapatkan keterangan dari para tetangga dan warga desa bahwa Teratai dan keluarganya hijrah ke desa lain entah di mana. Sejak itu Samurai mencoba mengerti keputusan yang diambil kekasihnya untuk pergi darinya. Dirangkainya hari demi hari bersama istrinya yang entah mengapa tak dapat menghapus bayangan Teratai dari kehidupannya. Tiap saat dicobanya untuk mematikan gelora cinta yang menyiksa. Dipandanginya wajah istrinya yang sedang terlelap, dicarinya cinta di sana, tapi tak jua ditemukannya. Selalu berakhir di batu yang pernah dan akan selalu menjadi saksi bisu cintanya bersama Teratai. Diukirnya kembali syair yang ditinggalkan Teratai untuknya. Lagi dan lagi, memenuhi ruang-ruang kosong pada batu saksi bisu itu sambil menanti bila suatu saat Teratai juga akan berkunjung ke sana menanti dirinya.

*

"Aku akan pergi dan menikah dengan Andini," kata Barata sambil mengemas beberapa pakaian dalam tasnya tanpa memandang sekilas pun pada Teratai, seolah berbicara pada angin lalu dan di sana tak ada siapapun selain dirinya.

"Apakah aku masih bisa mencegahmu?" tanya Teratai pelan.

"Apa kau melarangku?"

"Demi anak-anak kita."

"Aku tak perlu izin darimu. Aku yang berkuasa di sini. Ini perahuku dan kamu hanya menumpang di sini."

"Apa kau tidak menceraikan aku terlebih dahulu?" Teratai menelan ludah.

"Apakah itu perlu?"

"Seperti pada saat kau mengambilku dari pangkuan ibuku, maka saat itu juga kau memberikan status untukku. Sekarang kau ingin pergi dan meninggalkanku, apakah kau tidak ingin menghormatiku dengan memberikan status baru untukku?"

"Aku kan sudah bilang, ini perahuku dan kau tidak berhak sedikitpun untuk mengaturku. Aku akan kembali ke sini jika memerlukanmu nanti, tapi jangan lagi bertanya kapan saat itu. Tugasmu adalah menjaga dan merawat kedua putriku dengan baik," jawab Barata dingin, kemudian berlalu meninggalkan rumahnya dengan gagah dan rasa kemenangan yang membiusnya. Tak lama kemudian sosoknya hilang dari pandangan Teratai di antara rumah-rumah pedesaan dan pepohonan bisu.

"Aku akan menjaga dan merawat darah dagingku tanpa kau minta! Dan, kelak jika mereka sudah dewasa, aku tak akan melepaskan mereka dari pangkuanku pada lelaki sepertimu!" jawab Teratai pada angin dan pepohonan di depan rumahnya. Mata dan hatinya memandang kelam pada bayangan yang sangat dirindukannya. Hatinya ingin mencegah langkah untuk kembali lagi ke batu itu, tapi cinta dan kesakitannya lebih kuat mendorongnya ke sana dan ke sana lagi. Pada hari yang sama, jam yang sama, di setiap minggu, di mana dilihatnya Samurai masih ke sana dan mengulang baris puisi yang pernah dia pahat dengan darahnya.

Teratai menatap Samurai dari balik pepohonan dengan bermandikan air mata kerinduan dan kesakitan. Ditunggunya sampai Samurai pergi dari sana, lalu diusapnya lembut tiap syair yang diukirkan kembali oleh Samurai, kemudian duduk bersandar pada batu itu, memejamkan matanya yang lelah, kemudian berbisik, "Wahai batu saksi bisu cintaku, sampai kapan aku harus tersiksa seperti ini? Aku tak sanggup menyaksikan air mata istrinya yang sedang hamil jika kelak kusatukan cinta kami."

*

"Bunda, apakah minggu ini Bunga masih bisa menginap di rumah Nenek?" tanya si kecil dengan tatapan penuh harap.

"Tentu saja bisa, Sayang. Apa Bunda pernah melarangmu ke sana? Bunda sudah berjanji pada Nenek, kamu akan menginap di sana setiap akhir pekan," jawab Teratai sambil memeluk putri bungsunya.

"Tapi, Ayah nggak pernah pulang lagi dan Bunga sekolah sampai menjelang sore, Kakak Agita juga, apa Bunda nggak kesepian kalau tiap akhir pekan ditinggal?"

"Ayah kan harus bekerja di tempat yang jauh, Sayang. Nanti kalau Ayah sudah nggak sibuk pasti pulang."

"Nanti Kakak nggak nginap deh, biar bisa nemenin Bunda," sela Agita.

"Nggak usah. Kalian menginap di rumah Nenek saja, Bunda nggak apa-apa. Lagi pula, akhir pekan besok rumah makan kita yang baru sudah mulai dibuka. Pasti Bunda akan lebih sibuk dari biasanya tiap akhir pekan. Jadi, Bunda nggak akan kesepian."

*

Seperti biasanya, sepulang dari mengantar kedua putrinya ke rumah ibunya, Teratai berhenti di sebuah toko kelontong di perbatasan desa untuk berbelanja keperluan selama satu minggu. Sambil memilih barang-barang yang hendak dibeli, sudut matanya mengawasi sebuah rumah di seberang toko. Tak seperti biasanya, rumah itu kali ini kelihatan ramai. Di teras ada beberapa ibu dan anaknya sedang bercengkerama dan bersenda gurau. Dilihatnya Samurai dan istrinya sesekali keluar untuk menemani mereka. Teratai menikmati pemandangan itu sambil menekan desir di hatinya. Ingin dia berlari ke sana dan menyatukan diri dalam kebahagiaan yang pernah ditawarkan padanya.

"Kenapa, Bu?" tegur pemilik toko.

"Oh, nggak apa-apa." Buru-buru menghapus air matanya.

"Kok, menangis?"

"Melihat mereka, saya jadi kangen sama anak-anak saya yang sedang bersama neneknya. Ada apa, ya? Kenapa di rumah itu ramai sekali?"

"Oh. Itu, putra bungsu Pak Samurai berulang tahun yang pertama. Mereka mengadakan kenduri, teman-teman serta ibunya diundang."

"Jadi, sudah satu tahun lebih kami tidak pernah lagi saling bertemu. Aku cuma bisa memandangnya dari jauh," bisik Teratai dalam hati.

"Ibu mengenal mereka?"

"Oh, enggak. Berapa Bu, semuanya?" Teratai membayar belanjaannya dan keluar dari toko itu sambil menundukkan kepala. Langkahnya dipercepat dan berhenti di balik pohon berdahan rindang, matanya tak mau lepas dari rumah yang semakin ramai oleh tamu itu, dengan air mata berlinang penuh harap. Hari ini adalah hari di mana keduanya biasa bertemu dalam bisu dan bersatu dalam syair di batu cinta mereka, tapi dilihatnya Samurai begitu sibuk dengan keluarganya.

"Apakah Samurai telah melupakan hari ini?" rintih Teratai dalam hati. Diletakkannya bungkusan belanjaan di tanah, tangannya gemetar mencengkeram batang pohon dengan hati kesakitan. Kepalanya menunduk, bersandar pada pohon yang semakin kencang dalam cengkeramannya.

"Aku tidak boleh seperti ini. Kekasihku sudah berada di tempat yang seharusnya. Pernikahan yang diberikan padaku dan dia hanyalah perantara atas kehidupan kami. Aku tidak berhak memelihara cinta yang datang pada waktu yang salah ini. Kerinduan dan cintaku harus kusimpan dalam dan rapi agar aku tidak terus mengintip kebahagiaannya," hibur Teratai pada dirinya sendiri, lalu diambilnya belanjaan dan memandang sekali lagi ke rumah di ujung jalan.

Ditelusurinya jalanan menuju ke bukit di mana batu cintanya menunggu. Langkahnya limbung menahan pedih dan hampa, hatinya merintih tak tahu hendak ke mana lagi melabuhkan lelah penantian. Hampir penuh batu besar itu oleh syair yang pernah digoreskannya di sana. Samurai terus mengulang syair yang pernah dituliskan Teratai pada pertemuan terakhir mereka. Teratai mendapatkan sedikit ruang kosong pada ujung batu, mencari bongkahan tanah merah, dan memenuhi ruang kosong pada batu itu untuk menuliskan syair perpisahan.

Teratai menatap sekali lagi pada batu cintanya, lalu meninggalkan tempat itu dengan hati hampa. Sambil berjalan limbung perempuan itu berjanji pada dirinya sendiri, akan dirajutnya kehidupan tanpa sakit bersama Lagu Cinta di setiap waktu bercengkerama dengan-Nya. Teratai berusaha membujuk dirinya sendiri, banyak hal indah di depan sana yang telah disediakan untuknya bersama kedua putrinya. Maka dipaksakannya bibirnya menyungging sebuah senyuman. Angin lembut bertiup mengiringi langkah Teratai meninggalkan batu cintanya.

*di jalanan berliku, Kit Rose

______________________________________
Indahnya cinta janganlah merusak apa yang telah tertata dengan rapi pada ruang lain kehidupan kita. Kita nikmati pedihnya karena tak dapat memiliki seutuhnya cinta itu. Niscaya akan datang keindahan lain dari-Nya untuk kita. ~kr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar