Kuingin hati yang dahaga,
dari lelaki yang berdiri di
lembah sepinya
di antara rimbun dan belantara
tempat ia menabur rasa untukku
Pahitnya kini mengoyak birahi,
mengarungi samudra cinta dan
mencari
hingga satu demi
satu bayangan ikut menikmati
gejolaknya
Aku akan selalu memelukmu
dalam setiap mimpiku
sampai di pemberhentian tempat
kita akan bertemu
Kekasihku,
tak peduli di sana ada lelah,
sakit, dan duka menghimpit
senyum ini adalah penawar
kelam
Selamat malam hatiku
biarkan cintamu menikmati
kebahagiaannya
kuminta esok engkau tidak
merintih lagi menahan apapun
kuingin esok engkau selesai
atas semuanya
dan kumau engkau mensyukuri
segala nikmat yang telah diberikan-Nya
Hitam atau putih jangan kau
lumuri yang sudah tertera
biarkan apa adanya
sampai datang padamu cinta
yang kau nanti
~
Kembali Samurai menorehkan
bait puisi pada batu kesayangannya di sebuah bukit yang menjadi tempat
pribadinya selama hampir satu tahun ini. Bait puisi yang sama, pada batu yang
sama, di hari yang sama, jam yang sama, di setiap minggu. Di batu itu Teratai
pernah menuliskan puisinya sebelum menghilang dan pergi meninggalkannya.
*
"Puisi yang indah
sekali," puji Samurai.
"Terima kasih, tapi aku
tersiksa olehnya," jawab Teratai.
"Aku menyukainya."
"Ingatlah dalam hatimu
jika kau masih menyukainya, dan hapuslah dari benakmu jika kau sudah menemukan
takdir baru dalam hatimu."
"Tak akan, Terataiku. Aku
sangat mencintaimu."
"Cintamu melebihi yang
sedang kurasakan." Teratai menyembunyikan air matanya dengan berbalik dan
membelakangi Samurai, namun Samurai terlalu mencintai wanita itu hingga dapat
merasakan getar kesakitan di balik punggungnya.
"Bolehkah aku
menyentuhmu?" tanyanya mengiba.
"Jangan!"
"Aku ingin menghapus
airmatamu."
"Jangan!"
"Mengapa?"
"Karena aku sangat
mencintaimu."
"Bukankah cinta untuk
bersatu?"
"Tidak selalu."
"Karena suamimu?"
"Anak-anakku."
"Aku akan membawa kalian
semua bersamaku. Anakmu anakku juga." Samurai tak tahan hendak mengayunkan
langkahnya, tapi Teratai menahan langkah cintanya dengan menjauh mendekati batu
besar di sampingnya.
"Jika benar kau
mencintaiku, janganlah kau sentuh diriku!"
"Mengapa, Teratai?
Mengapa! Cintamu membawa misteri bagiku!" Samurai hampir murka karena
putus asa.
"Bukankah hidup ini juga
misteri? Aku tidak tahu mengapa Tuhan memberiku suami yang berkhianat padaku.
Aku juga tidak tahu mengapa Tuhan mengirimkan dirimu yang tiba-tiba sangat
kucintai, tapi tak dapat kumiliki. Bahkan aku tidak tahu, mengapa Tuhan
membuatku ada."
"Kamu dapat memilikiku,
Teratai. Aku juga ingin memiliki dirimu seutuhnya. Izinkanlah aku."
"Cinta tidak harus
memiliki, Sayangku. Biarkanlah seperti ini. Kita nikmati sakit dan perihnya
seperti halnya kita menikmati indah dan madunya."
"Tidak bisakah kau
berikan cintamu sedikit saja padaku?"
"Tidak hanya sedikit,
Samuraiku. Tidakkah kau menyadarinya?"
Teratai membalikkan badan
menghadap Samurai. Airmatanya semakin deras mengalir hampir tanpa sela. Dengan
bahu berguncang dia berkata, "Bahkan sukmaku sudah berada dalam
genggamanmu hingga tak tersisa sedikitpun untuk diriku sendiri. Hampir saja aku
tidak dapat menahan langkahku untuk membawa hatimu bersamaku. Apakah buta
cintamu tidak melihat betapa tersiksanya diriku?"
Samurai menjatuhkan dirinya,
bersimpuh di kaki Teratai. Tangannya bergetar menahan rintihan cinta terlarang,
airmatanya pun mengalir memenuhi rongga hatinya. Menahan isak lelaki itu
berkata memelas, "Mengapa, Teratai? Mengapa kau persulit semua ini?
Mengapa kau halangi cinta kita untuk bersatu? Apakah aku harus membelah dadaku
agar kau tahu betapa aku sangat mencintaimu?"
"Bukan aku yang
mempersulit." Teratai bersimpuh pula di hadapan Samurai. "Tapi, cinta
kita yang melakukannya. Ada hal yang kadang tidak harus kita uraikan. Aku juga
tidak perlu menjelaskan padamu betapa terkoyaknya hatiku mendapati cintaku
berlabuh pada sampan yang akan koyak karena kehadiranku." Lalu, tangannya
yang halus menggenggam jemari Samurai dengan erat dan melanjutkan berkata,
"Kita yang mempersulit diri sendiri, karena membiarkan diri hanyut dalam
arus yang kita tidak tahu kedalamannya."
Setelah mengakhiri kalimatnya,
Teratai mencium tangan Samurai dan berdiri dengan cepat, mematahkan ranting
pohon di dekatnya, lalu menusuk jarinya satu per satu dengan bilah yang runcing
hingga masing-masing meneteskan darah segar. Samurai terpaku menatap Teratai.
Bagai raga tak bernyawa lelaki itu tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun, dan
tak dapat menggerakkan tubuhnya untuk mencegah Teratai.
"Aku tidak boleh
menyentuhmu, tapi aku telah melakukannya, agar kau tahu betapa aku sangat
mencintaimu. Dan, sekarang aku telah menghukum jemari yang telah melakukannya,
agar kau mengerti cintaku tak bisa aku jadikan alasan untuk menyakiti
siapapun."
Teratai berjalan perlahan
menuju ke batu besar di dekat mereka, lalu menuliskan sebaris puisi dengan
tetesan darah dari jemarinya, kemudian berlari menuruni bukit dan menghilang di
antara pepohonan. Samurai segera tersadar apa yang baru saja terjadi dan
berlari mengejar Teratai, namun sampai petang bergelayut menghiasi awan, tak
ditemukannya juga wanita pujaan hatinya itu. Hari berikutnya, minggu berikutnya,
dan berbulan-bulan kemudian Samurai tak juga menemukan Teratai.
Mengais harapan dengan
sembunyi-sembunyi, Samurai akhirnya mendapatkan keterangan dari para tetangga
dan warga desa bahwa Teratai dan keluarganya hijrah ke desa lain entah di mana.
Sejak itu Samurai mencoba mengerti keputusan yang diambil kekasihnya untuk
pergi darinya. Dirangkainya hari demi hari bersama istrinya yang entah mengapa
tak dapat menghapus bayangan Teratai dari kehidupannya. Tiap saat dicobanya
untuk mematikan gelora cinta yang menyiksa. Dipandanginya wajah istrinya yang
sedang terlelap, dicarinya cinta di sana, tapi tak jua ditemukannya. Selalu
berakhir di batu yang pernah dan akan selalu menjadi saksi bisu cintanya
bersama Teratai. Diukirnya kembali syair yang ditinggalkan Teratai untuknya.
Lagi dan lagi, memenuhi ruang-ruang kosong pada batu saksi bisu itu sambil
menanti bila suatu saat Teratai juga akan berkunjung ke sana menanti dirinya.
*
"Aku akan pergi dan menikah
dengan Andini," kata Barata sambil mengemas beberapa pakaian dalam tasnya
tanpa memandang sekilas pun pada Teratai, seolah berbicara pada angin lalu dan
di sana tak ada siapapun selain dirinya.
"Apakah aku masih bisa
mencegahmu?" tanya Teratai pelan.
"Apa kau
melarangku?"
"Demi anak-anak
kita."
"Aku tak perlu izin
darimu. Aku yang berkuasa di sini. Ini perahuku dan kamu hanya menumpang di
sini."
"Apa kau tidak
menceraikan aku terlebih dahulu?" Teratai menelan ludah.
"Apakah itu perlu?"
"Seperti pada saat kau
mengambilku dari pangkuan ibuku, maka saat itu juga kau memberikan status
untukku. Sekarang kau ingin pergi dan meninggalkanku, apakah kau tidak ingin
menghormatiku dengan memberikan status baru untukku?"
"Aku kan sudah bilang,
ini perahuku dan kau tidak berhak sedikitpun untuk mengaturku. Aku akan kembali
ke sini jika memerlukanmu nanti, tapi jangan lagi bertanya kapan saat itu.
Tugasmu adalah menjaga dan merawat kedua putriku dengan baik," jawab
Barata dingin, kemudian berlalu meninggalkan rumahnya dengan gagah dan rasa
kemenangan yang membiusnya. Tak lama kemudian sosoknya hilang dari pandangan
Teratai di antara rumah-rumah pedesaan dan pepohonan bisu.
"Aku akan menjaga dan
merawat darah dagingku tanpa kau minta! Dan, kelak jika mereka sudah dewasa,
aku tak akan melepaskan mereka dari pangkuanku pada lelaki sepertimu!"
jawab Teratai pada angin dan pepohonan di depan rumahnya. Mata dan hatinya
memandang kelam pada bayangan yang sangat dirindukannya. Hatinya ingin mencegah
langkah untuk kembali lagi ke batu itu, tapi cinta dan kesakitannya lebih kuat
mendorongnya ke sana dan ke sana lagi. Pada hari yang sama, jam yang sama, di
setiap minggu, di mana dilihatnya Samurai masih ke sana dan mengulang baris
puisi yang pernah dia pahat dengan darahnya.
Teratai menatap Samurai dari
balik pepohonan dengan bermandikan air mata kerinduan dan kesakitan.
Ditunggunya sampai Samurai pergi dari sana, lalu diusapnya lembut tiap syair
yang diukirkan kembali oleh Samurai, kemudian duduk bersandar pada batu itu,
memejamkan matanya yang lelah, kemudian berbisik, "Wahai batu saksi bisu
cintaku, sampai kapan aku harus tersiksa seperti ini? Aku tak sanggup
menyaksikan air mata istrinya yang sedang hamil jika kelak kusatukan cinta
kami."
*
"Bunda, apakah minggu ini
Bunga masih bisa menginap di rumah Nenek?" tanya si kecil dengan tatapan
penuh harap.
"Tentu saja bisa, Sayang.
Apa Bunda pernah melarangmu ke sana? Bunda sudah berjanji pada Nenek, kamu akan
menginap di sana setiap akhir pekan," jawab Teratai sambil memeluk putri
bungsunya.
"Tapi, Ayah nggak pernah
pulang lagi dan Bunga sekolah sampai menjelang sore, Kakak Agita juga, apa
Bunda nggak kesepian kalau tiap akhir pekan ditinggal?"
"Ayah kan harus bekerja
di tempat yang jauh, Sayang. Nanti kalau Ayah sudah nggak sibuk pasti
pulang."
"Nanti Kakak nggak nginap
deh, biar bisa nemenin Bunda," sela Agita.
"Nggak usah. Kalian
menginap di rumah Nenek saja, Bunda nggak apa-apa. Lagi pula, akhir pekan besok
rumah makan kita yang baru sudah mulai dibuka. Pasti Bunda akan lebih sibuk
dari biasanya tiap akhir pekan. Jadi, Bunda nggak akan kesepian."
*
Seperti biasanya, sepulang
dari mengantar kedua putrinya ke rumah ibunya, Teratai berhenti di sebuah toko
kelontong di perbatasan desa untuk berbelanja keperluan selama satu minggu.
Sambil memilih barang-barang yang hendak dibeli, sudut matanya mengawasi sebuah
rumah di seberang toko. Tak seperti biasanya, rumah itu kali ini kelihatan
ramai. Di teras ada beberapa ibu dan anaknya sedang bercengkerama dan bersenda
gurau. Dilihatnya Samurai dan istrinya sesekali keluar untuk menemani mereka.
Teratai menikmati pemandangan itu sambil menekan desir di hatinya. Ingin dia
berlari ke sana dan menyatukan diri dalam kebahagiaan yang pernah ditawarkan
padanya.
"Kenapa, Bu?" tegur
pemilik toko.
"Oh, nggak apa-apa."
Buru-buru menghapus air matanya.
"Kok, menangis?"
"Melihat mereka, saya
jadi kangen sama anak-anak saya yang sedang bersama neneknya. Ada apa, ya?
Kenapa di rumah itu ramai sekali?"
"Oh. Itu, putra bungsu
Pak Samurai berulang tahun yang pertama. Mereka mengadakan kenduri, teman-teman
serta ibunya diundang."
"Jadi, sudah satu tahun
lebih kami tidak pernah lagi saling bertemu. Aku cuma bisa memandangnya dari
jauh," bisik Teratai dalam hati.
"Ibu mengenal
mereka?"
"Oh, enggak. Berapa Bu,
semuanya?" Teratai membayar belanjaannya dan keluar dari toko itu sambil
menundukkan kepala. Langkahnya dipercepat dan berhenti di balik pohon berdahan
rindang, matanya tak mau lepas dari rumah yang semakin ramai oleh tamu itu,
dengan air mata berlinang penuh harap. Hari ini adalah hari di mana keduanya
biasa bertemu dalam bisu dan bersatu dalam syair di batu cinta mereka, tapi
dilihatnya Samurai begitu sibuk dengan keluarganya.
"Apakah Samurai telah
melupakan hari ini?" rintih Teratai dalam hati. Diletakkannya bungkusan
belanjaan di tanah, tangannya gemetar mencengkeram batang pohon dengan hati
kesakitan. Kepalanya menunduk, bersandar pada pohon yang semakin kencang dalam
cengkeramannya.
"Aku tidak boleh seperti
ini. Kekasihku sudah berada di tempat yang seharusnya. Pernikahan yang
diberikan padaku dan dia hanyalah perantara atas kehidupan kami. Aku tidak
berhak memelihara cinta yang datang pada waktu yang salah ini. Kerinduan dan
cintaku harus kusimpan dalam dan rapi agar aku tidak terus mengintip
kebahagiaannya," hibur Teratai pada dirinya sendiri, lalu diambilnya
belanjaan dan memandang sekali lagi ke rumah di ujung jalan.
Ditelusurinya jalanan menuju
ke bukit di mana batu cintanya menunggu. Langkahnya limbung menahan pedih dan
hampa, hatinya merintih tak tahu hendak ke mana lagi melabuhkan lelah
penantian. Hampir penuh batu besar itu oleh syair yang pernah digoreskannya di
sana. Samurai terus mengulang syair yang pernah dituliskan Teratai pada
pertemuan terakhir mereka. Teratai mendapatkan sedikit ruang kosong pada ujung
batu, mencari bongkahan tanah merah, dan memenuhi ruang kosong pada batu itu
untuk menuliskan syair perpisahan.
Teratai menatap sekali lagi
pada batu cintanya, lalu meninggalkan tempat itu dengan hati hampa. Sambil
berjalan limbung perempuan itu berjanji pada dirinya sendiri, akan dirajutnya
kehidupan tanpa sakit bersama Lagu Cinta di setiap waktu bercengkerama
dengan-Nya. Teratai berusaha membujuk dirinya sendiri, banyak hal indah di
depan sana yang telah disediakan untuknya bersama kedua putrinya. Maka
dipaksakannya bibirnya menyungging sebuah senyuman. Angin lembut bertiup
mengiringi langkah Teratai meninggalkan batu cintanya.
*di jalanan berliku, Kit Rose
______________________________________
Indahnya cinta janganlah
merusak apa yang telah tertata dengan rapi pada ruang lain kehidupan kita. Kita
nikmati pedihnya karena tak dapat memiliki seutuhnya cinta itu. Niscaya akan
datang keindahan lain dari-Nya untuk kita. ~kr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar