Jika langit menyapa malam
dengan bulan,
dan mentari menyapa siang
dengan sinarnya,
aku telah menyapamu dengan
rindu dan cintaku,
walau kau terus berlari
menjauh.
Sekian helaan napas telah
kulepas.
mencari bentuk dari rasa ini
mengejar jejak cintamu tanpa
batas waktu
namun waktu memberiku batas
untuk berhenti
Lalu, kucoba merangkai kata
untuk tetap berucap,
langkah tak dapat berhenti di
persimpangan,
aku harus menghapus jejakmu
walau tak mampu,
dan menyimpan rindu ini dalam
kegelapan.
Agar hatiku mengerti kau sudah
jauh berlari,
tinggalkan seonggok rindu dan
cinta dari hatiku,
kubiarkan malam menyapa
halaman lain,
di sana wajahmu masih ada,
di sana jejakmu masih
tersimpan,
aku hanya menatap dari kejauhan
tak ingin mendekat lagi.
~
Arief menatap Wini dari
kejauhan. Untuk kesekian kali kakinya berhenti melangkah di depan rumah itu.
Hatinya berdegup kencang, matanya tak mau berhenti mengikuti gerakan gadis itu.
Menyapu halaman sambil sesekali menyibakkan rambut indahnya. Ketakutan di matanya
setiap Arief menyatakan cintanya membuat pemuda itu semakin mencintai gadis
itu. Perasaan ingin melindungi semakin kuat menguasai hati Arief.
"Mas Arief mau
kuliah?" sapa Rena dengan tawa riangnya, mengagetkan Arief. Gadis itu
sudah berdiri di sampingnya. Matanya mengerjap penuh makna pada pemuda tampan
di depannya. Dan, tanpa malu-malu balas menatap mata Arief.
"Iya, kamu sendiri?"
"Aku sedang santai. Tadi
lihat Mas Arief berhenti. Mau mampir, Mas?"
"Terima kasih, lain kali
saja, ya. Salam," jawab Arief, kemudian cepat berlalu meninggalkan Rena
termangu sendiri.
Wini melirik dengan ekor
matanya. Tangannya mencengkeram hendak melambai, senyumnya meletup hendak
mengembang dan wajahnya pias antara rindu dan takut.
"Jangan macam-macam, ya.
Aku tak akan membiarkan dia jatuh ke tanganmu. Kau dengar?" Rena berbisik
tajam di telinga Wini, lalu melenggang memasuki rumah diikuti pandangan ngeri
dari balik punggungnya.
Wini hanya bisa menatap kakak
sepupunya itu tanpa dapat berkata apapun. Matanya memerah sendu menyimpan pedih
dan rindu. Hatinya berbisik penuh luka, "Tak dapatkah harapan berjalan
beriringan? Pilihankah namanya untuk cinta yang sedang dipertaruhkan?"
Lalu menatap di kejauhan punggung lelaki yang berjalan semakin menjauh sambil
menundukkan kepalanya. "Andai aku boleh mengejarnya, akan kuberitahukan
padanya bahwa aku juga mencintainya," bisiknya lagi sambil menggenggam
gagang sapu.
*
Endang, sang kakak tertua dan
pemilik rumah, duduk dengan tatapan tajam. Sudah bisa dipastikan perempuan itu
sudah menerima laporan mengenai perebutan seorang pemuda di antara adik kandung
dan adik sepupunya itu. Wini tak berani menatap dan hanya menundukkan wajahnya,
sementara Rena menatap sinis penuh kemenangan.
"Untuk kesekian kalinya
Kakak mengingatkan. Jangan sampai Kakak dengar lagi kalian memperebutkan cinta
dengan cara yang tidak pantas."
"Aku mencintai Mas Arief
dari sejak awal bertemu Kak, aku tak pernah merebutnya dari siapapun."
Rena mencari pijakan pembenaran dirinya.
"Dan kau Wini, biarkan
Kakakmu menemukan cintanya terlebih dahulu karena waktumu masih panjang,"
sela Endang.
"Baik, Kak."
Menunduk.
"Lagipula aku duluan yang
suka sama Mas Arief," sungut Rena.
"Ibumu menitipkan kamu di
sini untuk mencari pekerjaan, meniti masa depan, bukan untuk mencari jodoh.
Kalau mau cari jodoh tidak usah jauh-jauh, di kampung sana banyak lelaki yang
bisa kamu pilih," sahut Endang ketus.
Alhasil, Wini semakin
menunduk. Ada desir tajam di dadanya, namun diredamnya dengan sekuat tenaga.
Kenyataan dirinya menumpang di rumah ini selalu menjadi pembahasan bahwa dia
harus serba mengalah dan menyimpan kepentingannya, bahkan kepentingan hati dan
cintanya. Wajah Arief terlintas, dengan senyumnya yang hangat menatap seolah
ingin melindungi, namun apa daya dirinya tidak mampu melawan tatapan menghakimi
dari dua pasang mata kakak sepupunya.
"Lebih baik kamu tekun
mencari pekerjaan daripada memikirkan lelaki. Ingat tujuan utamamu datang ke
sini, jangan sia-siakan waktumu."
"Akan saya ingat itu,
Kak."
"Aku tidak mau cerita ini
sampai ke keluarga di kampung. Kamu tidak usah membahas hal ini dengan
siapapun, karena ini untuk kebaikanmu juga. Mengerti?"
"Mengerti, Kak."
Endang mengakhiri kalimatnya
tanpa menunggu jawaban dari Wini, lalu meninggalkan ruangan itu dengan wajah
penuh amarah. Rena tersenyum puas, mengambil majalah dan membuka halamannya
tanpa ingin membacanya. Matanya sesekali tajam melirik Wini yang masih terduduk
mencerna kata demi kata dan untaian cinta dalam hatinya. Tak dihiraukannya senyum
sinis Rena, gadis itu beranjak dan menghilang ke dalam kamarnya.
*
Keesokan harinya, Wini
memutuskan untuk mengakhiri saja hubungan cintanya dengan Arief yang belum
sempat terjalin rapi dan terukir indah. Ditemuinya Arief sepulang dari pasar
untuk menyampaikan niatnya, sekaligus memenuhi rindunya untuk yang terakhir
kali.
"Mungkin ini pertemuan
kita yang terakhir, Rief. Aku tidak mau menjadi anak yang tidak tahu berterima
kasih."
"Kenapa kamu begitu takut
pada mereka hingga tega mempertaruhkan cinta kita?"
"Aku bukan takut, tapi
menghormati."
"Menghormati apa dan
siapa?"
"Menghormati kedua orang
tuaku yang telah menitipkan aku di rumah Kakak, dan menghormati Kakak sepupuku
yang telah rela memberikan aku tumpangan selama di sini."
"Bukankah kalian
bersaudara? Menurutku wajar kalau sesama saudara saling menolong."
"Juga menghormati
tujuanku ke Jakarta ini, yaitu mencari pekerjaan."
"Alasan yang tidak masuk
akal."
"Memang tidak masuk akal,
tapi ini kenyataannya. Kita tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini."
"Aku tidak tahu, kenapa
kamu jadi seperti ini?"
"Aku mohon kamu mengerti,
Rief."
"Aku tidak bisa Win, dan
tidak melihat alasan yang masuk akal. Kita saling mencintai. Kenapa harus
tiba-tiba memutuskan hubungan tanpa sebab yang jelas?"
"Sudah jelas penyebabnya
Rief, aku harus lebih konsentrasi mencari pekerjaan dulu."
"Selama ini apa hubungan
kita mengganggu langkahmu dalam mencari pekerjaan?"
Wini terdiam, tak dapat
berkata apa-apa. Ingin gadis itu mengatakan tidak, namun disimpannya saja
kata-katanya. Bayangan kemarahan dari wajah Kakaknya membungkam bibirnya yang
semakin bergetar.
"Tolong kamu jujur, Win.
Ini tentang Rena, kan?"
"Aku takut, Rief."
Akhirnya Wini menjawab pelan.
"Kenapa harus takut? Aku
benar-benar tidak mengerti."
Wini menunduk, keduanya membisu
kemudian. Tak ada lagi yang dapat diungkapkan dari sebuah ketidakberdayaan.
Gadis itu ingin menceritakan, berbagi kepedihan, betapa setiap hari dirinya
dihadapkan pada sidang yang dilakukan kedua kakaknya, Endang dan Rena. Betapa
semakin hari semakin tajam dan menyakitkan kata-kata mereka, namun bayangan
wajah kedua orang tuanya kembali membungkam bibirnya. Ditatapnya Arief yang
semakin erat menggenggam tangannya. Dibiarkannya hatinya sejuk menikmati
hangatnya genggaman tangan itu, lalu keduanya terlonjak kaget saat Rena sudah
bertolak pinggang di depan mereka sambil matanya menatap tajam pada Wini.
"Di sini rupanya kamu,
dan begini rupanya kelakuanmu di luar rumah."
Wajah Wini yang sudah pucat
pasi menarik tangannya dari genggaman Arief, tak berani menatap Rena, hanya
menunduk dan menahan gemetar tubuhnya. Sementara Arief menatap tajam pada Rena.
Penuh kebencian.
"Pulang!" bentak
Rena.
Wini menatap sekilas pada
Arief, lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu sambil sekuat tenaga
menyembunyikan air matanya. Arief hanya dapat memandangnya tak berdaya.
Teriakannya tak dihiraukan oleh Wini yang semakin jauh berlari meninggalkan
tempat itu, sementara Rena memandangi langkah Wini dengan tatapan penuh
kebencian.
*
Arief melangkah gontai keluar
dari rumah Endang. Rena mengikutinya dengan tatapan sinis. Wini tak ada lagi di
rumah itu. Tak ada keterangan yang bisa didapatkan Arief, ke mana gadis itu
pergi. Semua mengatakan tidak ada dan tidak tahu. Dicobanya untuk mengejar
gadis pujaan hati ke kampung halaman. Sepanjang jalan dikirimnya doa agar
langkahnya tidak terlambat untuk menemukan cintanya. Namun, tanpa hasil juga.
Ya, perjalanan panjangnya tanpa hasil dan kepastian.
"Kami tidak tahu di mana
Wini sekarang," jawab perempuan setengah baya itu dingin. Matanya tak mau
menatap Arief seolah ingin menyembunyikan jendela hatinya yang terlihat
menyimpan banyak kata.
"Tolong Bu, saya sangat
mencintainya. Saya yakin Wini juga mencintai saya." Arif masih memohon
sebelum keluar dari rumah itu.
"Itu bukan urusan saya,
anak muda."
"Tapi, bukankah Wini
putri Ibu? Apakah Ibu tidak menginginkan kebahagiaan untuk putri Ibu?"
"Pertanyaan bodoh."
"Maafkan saya, Bu. Untuk
itu tolong beritahu saya di mana Wini? Saya akan menjemputnya dan mencarikan
pekerjaan untuk dia. Saya yakin Wini membawa cinta saya."
"Maaf, saya tidak
mempunyai cukup waktu untuk mendengarkan ceramah cintamu, anak muda, dan ingin
kusampaikan, jangan ganggu Wini lagi dengan cerita cinta, biarkan dia melangkah
meniti masa depannya." Kemudian tersenyum pahit dan menutup pintu tanpa
berkata lagi.
Arief terpaku tanpa dapat
berkata lagi. Kembali ditelusurinya jalanan beku mencari jejak cinta yang
semakin menghilang. Matanya menerawang mencoba mengintip langkah cintanya, namun
keheningan yang ditemuinya. "Mengapa?" desisnya perlahan dan
kesakitan, "mengapa harus seperti ini? Aku tak bisa berjalan sendiri di
sini, Wini." Kemudian membelokkan langkahnya tanpa menggenggam lagi
harapan bertemu cintanya. Dia tinggalkan kota kecil itu, dia tinggalkan bangku
kuliah dan impiannya, dia tinggalkan jejak cintanya yang menghilang. Arief
bertekad, sampai ke ujung dunia akan dicobanya untuk menghilangkan jejak cinta
yang masih berdiam dalam hatinya. Dalam kegelapan malam matanya menyala penuh
amarah dan kecewa, kemudian melembut karena duka.
*
Gemerlap malam Kota Batam
mengiringi langkah gontai Arief, perlahan menerobos pekat malam.
Ditinggalkannya beberapa lembar uang untuk penjaga masjid yang sedang duduk di
halaman. Ditinggalkannya rumah persinggahannya di sudut kota itu dengan hati
lebih ringan. Rumah Cintanya, tempat dia menumpahkan aroma cinta dan rindu,
tempat dia bercengkerama dengan lagu Cinta dan tanya. Kini tak ada lagi hati
mencari, tak ada lagi kisah menanti, dan tak ada lagi jejak bermimpi. Indahnya
telah direguk walau setetes dan pahitnya telah direkamnya, lalu dia simpan
dalam peti cinta di hatinya. Matanya menatap lurus ke depan, menyongsong
matahari walau dengan hati beku. Tak ada lagi tanya, tak ada lagi sisa menanti.
Ditutupnya pintu kamar
perlahan, mengambil sepucuk surat yang tergeletak di lantai dekat pintu,
membukanya dengan amarah dan membacanya dengan harapan ini adalah surat yang
terakhir.
Apa kabar lagi Ariefku,
Aku berharap kau tak pernah
bosan dengan surat-suratku ini dan berharap pintu cintamu suatu saat terbuka
untukku.
Aku dengar dari temanku, kau
berada jauh dariku, di Kota Batam. Aku yakin, sekarang kamu sedang membaca
suratku, walau tak pernah ingin membacanya. Aku juga dengar berita, kamu akan
terbang menggali ilmu ke Jepang, entah sampai kapan dan bersama siapa aku tak
dapat mencari tahu, tapi aku masih berharap, kamu membawa hatiku ke kota sakura
itu, dan kemanapun kamu mengayunkan langkahmu.
Cepat dilipatnya surat itu
tanpa menyelesaikan isinya. Surat yang semakin membuatnya mendendam. Surat yang
penulisnya membuatnya kehilangan harapan akan cinta.
"Kau hancurkan hidupku
dengan mengusir cintaku, Rena. Kini kau tak pernah berhenti mengganggu
ketenanganku," rutuk Arief sambil melempar surat itu ke dalam keranjang
sampah di sudut ruangan, seperti yang sudah-sudah.
Dibukanya lagi surat yang
sudah satu minggu tergeletak di meja kerjanya. Surat yang belum dapat
dibalasnya, yang sangat menguras perhatian dan menuntutnya untuk segera
mengambil keputusan. Tidak hanya mengambil keputusan, tapi terpaksa harus
mengikuti keputusan kedua orangtuanya. Dibacanya lagi surat itu diam-diam. Tak
ada lagi pilihan dan alasan untuk menolak perjodohan yang sudah dipersiapkan
untuknya. Harapannya untuk dapat menemukan Wini sudah lenyap. Keinginannya
untuk mengisi hatinya dengan cinta baru sudah hilang. Kemudian dikemasnya
beberapa pakaian dan keperluan lain ke dalam koper.
"Semoga kelak aku tak
menyesali keputusan ini," bisiknya dalam hati, lalu dihempaskannya tubuh
ke pembaringan. Dipejamkannya mata, mencoba membayangkan apa yang akan dia
lakukan dengan pernikahannya kelak.
*
Ditatapnya perempuan yang
tergolek nyenyak di pembaringan. Sudah sekian tahun mereka hidup dalam ikatan
perkawinan dan tak pernah sekalipun Arief mengatakan cintanya pada perempuan
yang memperoleh status sebagai istrinya itu. Tak pernah.
"Maafkan aku,
Rahmi," keluhnya dalam hati. "Aku tak tahu apakah aku bisa
mencintaimu atau tidak, aku sendiri tak tahu apakah di hatiku masih bisa tumbuh
perasaan cinta."
Didekatinya wajah tenang itu.
Wajah yang pemiliknya tak pernah satu kali pun menuntut kata cinta. Ya, Rahmi
tak pernah sekalipun meminta Arief untuk menyatakan cinta padanya. Yang mereka
lakukan hanyalah sekedar mengikuti apa yang diinginkan kedua orang tua mereka.
"Aku belum bisa menghapus
nama itu dari hatiku, maafkan."
Arief berjalan keluar rumah
diam-diam. Dihirupnya angin malam dengan langkah panjang memecah keheningan
malam. Satu per satu wajah-wajah silih berganti kembali menatap, menghiasi
keheningan malam, semakin jauh menanggalkan jejak cintanya. Lelaki itu mulai
berpikir, kenapa dia tidak belajar mencintai istrinya? Lelaki itu berpikir,
mungkin ini yang bernama jodoh. Ya, Arief mencoba menyadarkan dirinya sendiri,
untuk menghapus jejak cinta yang tak dapat lagi dikejarnya.
* di persimpangan jalan, Kit
Rose
________________________________
Cinta tak harus memiliki.
Indahnya akan kukirim bersama kincir yang selalu berputar di sana. Sakitnya
terukir indah pada tiap kelopak mawar hitam. Teteskanlah setitik cinta untuk
hati yang selalu menanti, cintamu untuk satu kelopak lain tak akan hilang. ~KR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar