Selasa, 02 Juni 2020

Jejak Cinta


Jika langit menyapa malam dengan bulan,
dan mentari menyapa siang dengan sinarnya,
aku telah menyapamu dengan rindu dan cintaku,
walau kau terus berlari menjauh.

Sekian helaan napas telah kulepas.
mencari bentuk dari rasa ini
mengejar jejak cintamu tanpa batas waktu
namun waktu memberiku batas untuk berhenti

Lalu, kucoba merangkai kata untuk tetap berucap,
langkah tak dapat berhenti di persimpangan,
aku harus menghapus jejakmu walau tak mampu,
dan menyimpan rindu ini dalam kegelapan.

Agar hatiku mengerti kau sudah jauh berlari,
tinggalkan seonggok rindu dan cinta dari hatiku,
kubiarkan malam menyapa halaman lain,
di sana wajahmu masih ada,
di sana jejakmu masih tersimpan,
aku hanya menatap dari kejauhan

tak ingin mendekat lagi.

~

Arief menatap Wini dari kejauhan. Untuk kesekian kali kakinya berhenti melangkah di depan rumah itu. Hatinya berdegup kencang, matanya tak mau berhenti mengikuti gerakan gadis itu. Menyapu halaman sambil sesekali menyibakkan rambut indahnya. Ketakutan di matanya setiap Arief menyatakan cintanya membuat pemuda itu semakin mencintai gadis itu. Perasaan ingin melindungi semakin kuat menguasai hati Arief.

"Mas Arief mau kuliah?" sapa Rena dengan tawa riangnya, mengagetkan Arief. Gadis itu sudah berdiri di sampingnya. Matanya mengerjap penuh makna pada pemuda tampan di depannya. Dan, tanpa malu-malu balas menatap mata Arief.

"Iya, kamu sendiri?"

"Aku sedang santai. Tadi lihat Mas Arief berhenti. Mau mampir, Mas?"

"Terima kasih, lain kali saja, ya. Salam," jawab Arief, kemudian cepat berlalu meninggalkan Rena termangu sendiri.

Wini melirik dengan ekor matanya. Tangannya mencengkeram hendak melambai, senyumnya meletup hendak mengembang dan wajahnya pias antara rindu dan takut.

"Jangan macam-macam, ya. Aku tak akan membiarkan dia jatuh ke tanganmu. Kau dengar?" Rena berbisik tajam di telinga Wini, lalu melenggang memasuki rumah diikuti pandangan ngeri dari balik punggungnya.

Wini hanya bisa menatap kakak sepupunya itu tanpa dapat berkata apapun. Matanya memerah sendu menyimpan pedih dan rindu. Hatinya berbisik penuh luka, "Tak dapatkah harapan berjalan beriringan? Pilihankah namanya untuk cinta yang sedang dipertaruhkan?" Lalu menatap di kejauhan punggung lelaki yang berjalan semakin menjauh sambil menundukkan kepalanya. "Andai aku boleh mengejarnya, akan kuberitahukan padanya bahwa aku juga mencintainya," bisiknya lagi sambil menggenggam gagang sapu.

*

Endang, sang kakak tertua dan pemilik rumah, duduk dengan tatapan tajam. Sudah bisa dipastikan perempuan itu sudah menerima laporan mengenai perebutan seorang pemuda di antara adik kandung dan adik sepupunya itu. Wini tak berani menatap dan hanya menundukkan wajahnya, sementara Rena menatap sinis penuh kemenangan.

"Untuk kesekian kalinya Kakak mengingatkan. Jangan sampai Kakak dengar lagi kalian memperebutkan cinta dengan cara yang tidak pantas."

"Aku mencintai Mas Arief dari sejak awal bertemu Kak, aku tak pernah merebutnya dari siapapun." Rena mencari pijakan pembenaran dirinya.

"Dan kau Wini, biarkan Kakakmu menemukan cintanya terlebih dahulu karena waktumu masih panjang," sela Endang.

"Baik, Kak." Menunduk.

"Lagipula aku duluan yang suka sama Mas Arief," sungut Rena.

"Ibumu menitipkan kamu di sini untuk mencari pekerjaan, meniti masa depan, bukan untuk mencari jodoh. Kalau mau cari jodoh tidak usah jauh-jauh, di kampung sana banyak lelaki yang bisa kamu pilih," sahut Endang ketus.

Alhasil, Wini semakin menunduk. Ada desir tajam di dadanya, namun diredamnya dengan sekuat tenaga. Kenyataan dirinya menumpang di rumah ini selalu menjadi pembahasan bahwa dia harus serba mengalah dan menyimpan kepentingannya, bahkan kepentingan hati dan cintanya. Wajah Arief terlintas, dengan senyumnya yang hangat menatap seolah ingin melindungi, namun apa daya dirinya tidak mampu melawan tatapan menghakimi dari dua pasang mata kakak sepupunya.

"Lebih baik kamu tekun mencari pekerjaan daripada memikirkan lelaki. Ingat tujuan utamamu datang ke sini, jangan sia-siakan waktumu."

"Akan saya ingat itu, Kak."

"Aku tidak mau cerita ini sampai ke keluarga di kampung. Kamu tidak usah membahas hal ini dengan siapapun, karena ini untuk kebaikanmu juga. Mengerti?"

"Mengerti, Kak."

Endang mengakhiri kalimatnya tanpa menunggu jawaban dari Wini, lalu meninggalkan ruangan itu dengan wajah penuh amarah. Rena tersenyum puas, mengambil majalah dan membuka halamannya tanpa ingin membacanya. Matanya sesekali tajam melirik Wini yang masih terduduk mencerna kata demi kata dan untaian cinta dalam hatinya. Tak dihiraukannya senyum sinis Rena, gadis itu beranjak dan menghilang ke dalam kamarnya.

*

Keesokan harinya, Wini memutuskan untuk mengakhiri saja hubungan cintanya dengan Arief yang belum sempat terjalin rapi dan terukir indah. Ditemuinya Arief sepulang dari pasar untuk menyampaikan niatnya, sekaligus memenuhi rindunya untuk yang terakhir kali.

"Mungkin ini pertemuan kita yang terakhir, Rief. Aku tidak mau menjadi anak yang tidak tahu berterima kasih."

"Kenapa kamu begitu takut pada mereka hingga tega mempertaruhkan cinta kita?"

"Aku bukan takut, tapi menghormati."

"Menghormati apa dan siapa?"

"Menghormati kedua orang tuaku yang telah menitipkan aku di rumah Kakak, dan menghormati Kakak sepupuku yang telah rela memberikan aku tumpangan selama di sini."

"Bukankah kalian bersaudara? Menurutku wajar kalau sesama saudara saling menolong."

"Juga menghormati tujuanku ke Jakarta ini, yaitu mencari pekerjaan."

"Alasan yang tidak masuk akal."

"Memang tidak masuk akal, tapi ini kenyataannya. Kita tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini."

"Aku tidak tahu, kenapa kamu jadi seperti ini?"

"Aku mohon kamu mengerti, Rief."

"Aku tidak bisa Win, dan tidak melihat alasan yang masuk akal. Kita saling mencintai. Kenapa harus tiba-tiba memutuskan hubungan tanpa sebab yang jelas?"

"Sudah jelas penyebabnya Rief, aku harus lebih konsentrasi mencari pekerjaan dulu."

"Selama ini apa hubungan kita mengganggu langkahmu dalam mencari pekerjaan?"

Wini terdiam, tak dapat berkata apa-apa. Ingin gadis itu mengatakan tidak, namun disimpannya saja kata-katanya. Bayangan kemarahan dari wajah Kakaknya membungkam bibirnya yang semakin bergetar.

"Tolong kamu jujur, Win. Ini tentang Rena, kan?"

"Aku takut, Rief." Akhirnya Wini menjawab pelan.

"Kenapa harus takut? Aku benar-benar tidak mengerti."

Wini menunduk, keduanya membisu kemudian. Tak ada lagi yang dapat diungkapkan dari sebuah ketidakberdayaan. Gadis itu ingin menceritakan, berbagi kepedihan, betapa setiap hari dirinya dihadapkan pada sidang yang dilakukan kedua kakaknya, Endang dan Rena. Betapa semakin hari semakin tajam dan menyakitkan kata-kata mereka, namun bayangan wajah kedua orang tuanya kembali membungkam bibirnya. Ditatapnya Arief yang semakin erat menggenggam tangannya. Dibiarkannya hatinya sejuk menikmati hangatnya genggaman tangan itu, lalu keduanya terlonjak kaget saat Rena sudah bertolak pinggang di depan mereka sambil matanya menatap tajam pada Wini.

"Di sini rupanya kamu, dan begini rupanya kelakuanmu di luar rumah."

Wajah Wini yang sudah pucat pasi menarik tangannya dari genggaman Arief, tak berani menatap Rena, hanya menunduk dan menahan gemetar tubuhnya. Sementara Arief menatap tajam pada Rena. Penuh kebencian.

"Pulang!" bentak Rena.

Wini menatap sekilas pada Arief, lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu sambil sekuat tenaga menyembunyikan air matanya. Arief hanya dapat memandangnya tak berdaya. Teriakannya tak dihiraukan oleh Wini yang semakin jauh berlari meninggalkan tempat itu, sementara Rena memandangi langkah Wini dengan tatapan penuh kebencian.

*

Arief melangkah gontai keluar dari rumah Endang. Rena mengikutinya dengan tatapan sinis. Wini tak ada lagi di rumah itu. Tak ada keterangan yang bisa didapatkan Arief, ke mana gadis itu pergi. Semua mengatakan tidak ada dan tidak tahu. Dicobanya untuk mengejar gadis pujaan hati ke kampung halaman. Sepanjang jalan dikirimnya doa agar langkahnya tidak terlambat untuk menemukan cintanya. Namun, tanpa hasil juga. Ya, perjalanan panjangnya tanpa hasil dan kepastian.

"Kami tidak tahu di mana Wini sekarang," jawab perempuan setengah baya itu dingin. Matanya tak mau menatap Arief seolah ingin menyembunyikan jendela hatinya yang terlihat menyimpan banyak kata.

"Tolong Bu, saya sangat mencintainya. Saya yakin Wini juga mencintai saya." Arif masih memohon sebelum keluar dari rumah itu.

"Itu bukan urusan saya, anak muda."

"Tapi, bukankah Wini putri Ibu? Apakah Ibu tidak menginginkan kebahagiaan untuk putri Ibu?"
"Pertanyaan bodoh."

"Maafkan saya, Bu. Untuk itu tolong beritahu saya di mana Wini? Saya akan menjemputnya dan mencarikan pekerjaan untuk dia. Saya yakin Wini membawa cinta saya."

"Maaf, saya tidak mempunyai cukup waktu untuk mendengarkan ceramah cintamu, anak muda, dan ingin kusampaikan, jangan ganggu Wini lagi dengan cerita cinta, biarkan dia melangkah meniti masa depannya." Kemudian tersenyum pahit dan menutup pintu tanpa berkata lagi.

Arief terpaku tanpa dapat berkata lagi. Kembali ditelusurinya jalanan beku mencari jejak cinta yang semakin menghilang. Matanya menerawang mencoba mengintip langkah cintanya, namun keheningan yang ditemuinya. "Mengapa?" desisnya perlahan dan kesakitan, "mengapa harus seperti ini? Aku tak bisa berjalan sendiri di sini, Wini." Kemudian membelokkan langkahnya tanpa menggenggam lagi harapan bertemu cintanya. Dia tinggalkan kota kecil itu, dia tinggalkan bangku kuliah dan impiannya, dia tinggalkan jejak cintanya yang menghilang. Arief bertekad, sampai ke ujung dunia akan dicobanya untuk menghilangkan jejak cinta yang masih berdiam dalam hatinya. Dalam kegelapan malam matanya menyala penuh amarah dan kecewa, kemudian melembut karena duka.

*

Gemerlap malam Kota Batam mengiringi langkah gontai Arief, perlahan menerobos pekat malam. Ditinggalkannya beberapa lembar uang untuk penjaga masjid yang sedang duduk di halaman. Ditinggalkannya rumah persinggahannya di sudut kota itu dengan hati lebih ringan. Rumah Cintanya, tempat dia menumpahkan aroma cinta dan rindu, tempat dia bercengkerama dengan lagu Cinta dan tanya. Kini tak ada lagi hati mencari, tak ada lagi kisah menanti, dan tak ada lagi jejak bermimpi. Indahnya telah direguk walau setetes dan pahitnya telah direkamnya, lalu dia simpan dalam peti cinta di hatinya. Matanya menatap lurus ke depan, menyongsong matahari walau dengan hati beku. Tak ada lagi tanya, tak ada lagi sisa menanti.
Ditutupnya pintu kamar perlahan, mengambil sepucuk surat yang tergeletak di lantai dekat pintu, membukanya dengan amarah dan membacanya dengan harapan ini adalah surat yang terakhir.

Apa kabar lagi Ariefku,
Aku berharap kau tak pernah bosan dengan surat-suratku ini dan berharap pintu cintamu suatu saat terbuka untukku.

Aku dengar dari temanku, kau berada jauh dariku, di Kota Batam. Aku yakin, sekarang kamu sedang membaca suratku, walau tak pernah ingin membacanya. Aku juga dengar berita, kamu akan terbang menggali ilmu ke Jepang, entah sampai kapan dan bersama siapa aku tak dapat mencari tahu, tapi aku masih berharap, kamu membawa hatiku ke kota sakura itu, dan kemanapun kamu mengayunkan langkahmu.

Cepat dilipatnya surat itu tanpa menyelesaikan isinya. Surat yang semakin membuatnya mendendam. Surat yang penulisnya membuatnya kehilangan harapan akan cinta.

"Kau hancurkan hidupku dengan mengusir cintaku, Rena. Kini kau tak pernah berhenti mengganggu ketenanganku," rutuk Arief sambil melempar surat itu ke dalam keranjang sampah di sudut ruangan, seperti yang sudah-sudah.

Dibukanya lagi surat yang sudah satu minggu tergeletak di meja kerjanya. Surat yang belum dapat dibalasnya, yang sangat menguras perhatian dan menuntutnya untuk segera mengambil keputusan. Tidak hanya mengambil keputusan, tapi terpaksa harus mengikuti keputusan kedua orangtuanya. Dibacanya lagi surat itu diam-diam. Tak ada lagi pilihan dan alasan untuk menolak perjodohan yang sudah dipersiapkan untuknya. Harapannya untuk dapat menemukan Wini sudah lenyap. Keinginannya untuk mengisi hatinya dengan cinta baru sudah hilang. Kemudian dikemasnya beberapa pakaian dan keperluan lain ke dalam koper.

"Semoga kelak aku tak menyesali keputusan ini," bisiknya dalam hati, lalu dihempaskannya tubuh ke pembaringan. Dipejamkannya mata, mencoba membayangkan apa yang akan dia lakukan dengan pernikahannya kelak.

*

Ditatapnya perempuan yang tergolek nyenyak di pembaringan. Sudah sekian tahun mereka hidup dalam ikatan perkawinan dan tak pernah sekalipun Arief mengatakan cintanya pada perempuan yang memperoleh status sebagai istrinya itu. Tak pernah.

"Maafkan aku, Rahmi," keluhnya dalam hati. "Aku tak tahu apakah aku bisa mencintaimu atau tidak, aku sendiri tak tahu apakah di hatiku masih bisa tumbuh perasaan cinta."

Didekatinya wajah tenang itu. Wajah yang pemiliknya tak pernah satu kali pun menuntut kata cinta. Ya, Rahmi tak pernah sekalipun meminta Arief untuk menyatakan cinta padanya. Yang mereka lakukan hanyalah sekedar mengikuti apa yang diinginkan kedua orang tua mereka.

"Aku belum bisa menghapus nama itu dari hatiku, maafkan."

Arief berjalan keluar rumah diam-diam. Dihirupnya angin malam dengan langkah panjang memecah keheningan malam. Satu per satu wajah-wajah silih berganti kembali menatap, menghiasi keheningan malam, semakin jauh menanggalkan jejak cintanya. Lelaki itu mulai berpikir, kenapa dia tidak belajar mencintai istrinya? Lelaki itu berpikir, mungkin ini yang bernama jodoh. Ya, Arief mencoba menyadarkan dirinya sendiri, untuk menghapus jejak cinta yang tak dapat lagi dikejarnya.

* di persimpangan jalan, Kit Rose

________________________________
Cinta tak harus memiliki. Indahnya akan kukirim bersama kincir yang selalu berputar di sana. Sakitnya terukir indah pada tiap kelopak mawar hitam. Teteskanlah setitik cinta untuk hati yang selalu menanti, cintamu untuk satu kelopak lain tak akan hilang. ~KR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar