Selasa, 18 Desember 2012

Aku Mencintaimu

Hammer Fall melengking dengan Glory to The Brave,
dan aku juga masih saja dengan suara parau,
hampir tak terdengar bahkan desirnya,
tak ingin siapapun curi dengar,
bahwa aku sangat mencintaimu.

Alunkan nada kebencian
pada tiap sudut malam dan hitam,
aku membencimu karena mencintaimu.

yang kuingin kau tahu hanya,
aku mencintaimu,
lalu,
akan kualunkan kembali nada rindu dalam diamku.

~~

Harum melangkah cepat menuju pelataran parkir gedung kantornya. Tak dihiraukannya Oasis yang mengejar sambil setengah berlari kecil di belakangnya. Diambilnya kunci mobil dari dalam tas, menyusul sebatang sigaret kesayangannya.

Oasis pun berhasil mengejar Harum dan buru-buru mengeluarkan korek api dari dalam kantong celananya. Dinyalakannya korek api ke arah sigaret yang sudah bertengger di bibir Harum. Lelaki itu tersenyum, lalu sedikit membungkukkan badan, berusaha mencari simpati, entahlah.

Harum tak membagikan sedikitpun senyum pada lelaki yang masih setia mengikutinya itu. Dibukanya pintu mobil, dinyalakannya tanpa menunggu Oasis selesai menutup pintu mobil dengan rapi. Segera Harum memacu mobilnya menerobos keramaian.

Lama keduanya berdiam diri menikmati sigaret masing-masing. Angin kencang berhembus dari kaca jendela yang sedikit terbuka. Harum tak menghiraukan rambutnya yang berantakan tertiup angin. Matanya lurus saja memandang ke jalanan, berusaha tak peduli dengan suasana hatinya yang gundah dan gelisah. Oasis menatapnya lama sebelum bertanya.

"Kamu kenapa sih, Rum?"
Harum mengembuskan asap sigaretnya dengan sekali hentakan. Tak dihiraukannya Oasis yang masih menatapnya menunggu jawaban.
"Tolong, Harum. Sudah dua hari ini sikapmu aneh. Menjauh dariku tanpa alasan yang aku tahu. Kenapa?" ulang Oasis.
"Kenapa? Nggak apa-apa, sehat kan, seperti yang kamu lihat."
"Tapi, sikapmu aneh belakangan ini."
"Aneh? Sikap yang mana yang menurutmu aneh?"
"Sikapmu yang belakangan selalu menghindar dariku, sikapmu yang belakangan ini lebih banyak diam dan cenderung dingin padaku."
"Menurutmu kenapa aku berubah?"
"Justru aku sedang bertanya padamu, kenapa kamu belakangan ini berubah?"
"Aku mencintaimu."
"Aku tahu, Harum, begitu juga denganku. Tapi, bukankah kita sudah sepakat untuk melupakan cinta itu dan menggantinya, atau tepatnya, mengubah perasaan itu menjadi persahabatan?"
"Aku tahu, makanya aku juga sekarang menganggapmu sebagai sahabat. Lalu, apa lagi yang aneh?"
"Setelah mendengar kabar dia akan datang berkunjung ke kota ini, kamu berubah sikap. Seperti ada nada cemburu."
"Wajar, kan?"
"Aku sudah memiliki kekasih, Harum. Aku tahu ini hanya sebuah perjodohan sepihak, tapi aku ingin menghormati keputusan bersama ini."
"Aku tak peduli."
"Kamu egois."
"Kenapa?"
"Memaksaku."
"Siapa memaksa dan memaksakan apa?"
"Kamu, barusan masih bilang mecintaiku."
"Pasang telingamu baik-baik. Aku mencintaimu. Itu saja."
"Nah, kan?"
"Apa?"
"Bukannya itu memaksa, namanya?"
"Aku nggak ngerti, sikapku mana yang memaksa?"
"Kamu memaksaku untuk mencintaimu juga."
"Aku mencintaimu, nggak peduli kamu juga masih mencintaiku atau tidak. Juga tidak memintamu untuk menjadi kekasihku. Paham?"
"Bagaimana mungkin?"
"Dan, bagaimana mungkin, kamu sudah memiliki kekasih, tapi masih bersamaku tiap saat?"
"Aku ingin bersahabat denganmu."
"Silakan saja, aku menghormati keinginanmu itu. Sekarang kenapa kamu tidak mencoba menghargai perasaanku yang sampai saat ini masih mencintaimu?" jawab Harum sambil tersenyum.
"Jadi aku boleh memberikan cintaku untuk kekasihku?"
"Aku tidak suka mendengar pertanyaan itu."
"Kenapa?"
"Tidak ada larangan untuk kalian saling mencintai, dan tidak ada larangan juga aku masih mencintaimu, bukan?"
"Mengapa kau katakan ini?"
"Agar kau tahu aku masih mencintaimu, itu saja."
"Cinta tidak hanya sebatas di sini kan, Rum?"
"Aku sudah bahagia jika kamu mengetahuinya," jawab Harum tanpa menengok, lalu menyalakan radio mobil dan segera Morbid Angel memenuhi ruangan mobil itu dengan Got of Emptiness.

Angin menatap jalanan penuh tanda tanya. Entah siapa di sana yang sudi memberi dan menerima begitu saja, tanpa bertanya adakah luka di sana.

~

Entah setelah berapa lama berputar, Harum menghentikan mobilnya di sisi jembatan di tengah kota. Oasis mematikan radio mobil, lalu menatap Harum entah dengan perasaan apa. Harum pun mencoba tak peduli.

"Aku akan menemuinya, Harum."
"Silakan."
"Kami sudah lama tidak bertemu. Aku tidak ingin dia dan keluarganya, juga keluargaku, beranggapan bahwa aku main-main dengan hubungan ini."
"Aku mengerti."
"Dia terlalu baik buatku."
"Aku tahu."
"Tapi, aku juga tidak bisa jika diharuskan untuk menjauh darimu."
"Seperti aku juga tidak bisa jika diharuskan menghentikan perasaan cintaku padamu."
"Maafkan aku."
"Tidak perlu minta maaf. Aku berubah sikap hanya agar kau segera menjauh dariku. Tapi, jika kamu tidak bisa melakukannya, ya sudah, aku tidak akan memaksamu."
"Terima kasih, ya."
"Mari kita sikapi perjodohan dan rasa hormatmu pada keluarga ini dengan dewasa."

Oasis melangkah perlahan meninggalkan Harum, menengok sebentar membagikan senyum hangatnya, lalu melambai dan meneruskan langkahnya. Harum melambaikan tangannya sambil tersenyum, lalu segera menghapus airmatanya dan menyalakan kembali sigaret yang tinggal satu batang. Diliriknya pedagang kaki lima yang menghampirinya dan menawarkan dagangannya, lalu hatinya menimbang.

"Rokok tinggal satu batang, kalau aku tak beli sekarang, tidak ada temanku merindu dalam perjalanan. Tapi, kalau kubeli di asongan, apakah dagangan anak ini masih baru?" desis Harum pada dirinya sendiri.

Tak lama dibelinya satu bungkus sigaret dan senyum pedagang asongan itu adalah satu lagi temannya untuk merindu. Dilaluinya hari itu dengan mengukur kepanjangan jalan-jalan di kota, walau tak ditemukannya juga ukuran yang pasti untuk penantian cinta dan rindunya. Sama tak pastinya dengan jalanan yang tak juga diketahuinya seberapa panjang.

Lubang besar, lubang kecil, dan lekukan di tiap sisi menghambatnya untuk memastikan panjang jalan, rindu, dan cintanya. Kembali dihampirinya pedagang asongan lain untuk membeli sebungkus terbaru, kali ini dengan membagikan senyum terindahnya. Esok akan dibukanya hati untuk hidup dengan lembaran baru, agar cinta lain dapat menyambut rindunya yang pada satu halaman ini telah terkoyak oleh sebuah perjodohan.

With love, Kit Rose

:: :: :: ::
Sebegitu rumitkah cinta dan rindu, hingga kita tak dapat menemukan batas akhir? Jika dengan tersenyum saja hidup sudah sangat indah, lalu mengapa masih ada cinta dan rindu yang tak ada alamat pastinya? Mengapa juga ada cemburu dan gelisah saat melihatmu berada di sana berdua?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar