Jumat, 29 Mei 2020

Cerai


                                                            Menyapa gelap dan hitam tak bercahaya
                                                kau kira mata tajamku tak awasi dari bailk remang
                                    petiklah satu kelopak mawar hitamku dan hancurkan
                        tak akan kau lihat perlawanan dari ruang hampa
            namun itu tak lama dan tak akan lama.
Sebentar akan kau rasakan duri tajam di jarimu
menusuk pada kedalaman yang kau miliki.
            Lalu, puaskan memandang kelopak menggelepar
                        di sana hanya ada luka dalam kasat matamu itu
                                    hanya ada rintihan dalam tipuan pendengaranmu
                                                hanya ada kesakitan, apa yang kau rasa kini?
                                                            Tak kan lama rasamu yang kau kira ada.
                                                            Sebentar puaskan diri pada luka di sini
                                                yang kau kira ada dan akan membunuh jiwaku
                                    dan rasakan darah mengalir dari celah hatimu.
                        Tak kan lama, yang kau kira ada kini menjadi tiada
            tak lama keniscayaan diriku pada tiap kelopak hitamku
tak akan lama dan kau akan segera tahu seberapa lama
semua tak lama... tak selamanya….

~~

"Tidak mungkin! Ini sangat tidak mungkin!" teriak Mantara dengan mata memerah.

Tangannya mengepal sambil berkali-kali menyakiti meja di depannya. Luapan amarah membuat lelaki itu tak merasakan bahwa yang sedang dia sakiti adalah tangannya sendiri. Sementara Kinasih duduk sambal meremas jemari menahan ketakutan. Hatinya tak henti bernyanyi menggenggam Cinta, matanya berusaha tersenyum menatap lelaki di depannya. Lelaki dengan mata kian memerah, penuh amarah dan mantra, yang mengatakan bahwa dirinya adalah sahabat keluarganya.

“Apanya yang nggak mungkin, Kak?" tanya Kinasih mencoba tenang.

Mantara menatapnya dengan mata kian menyala, meremas semua gulungan kertas yang terhampar berserakan di meja. Disulutnya sebatang kretek, ditatapnya lagi Kinasih, kali ini sambil memicingkan mata. Kinasih masih mencoba tenang. Dihirupnya kopi di meja, lalu disulutnya juga sebatang kretek mengikuti tamunya, berusaha tetap tenang.

"Kertas-kertas itu, kau apakan, Kinasih?" geram Mantara.

"Aku apakan? Apa maksud Kakak? Dari tadi kita duduk berhadapan, Kakak bisa mengawasi yang aku lakukan."

"Aku menuliskan kata yang sama pada seluruh gulungan kertas. Kenapa tiap gulungan yang kau ambil berisi tulisan yang tidak aku tuliskan, dan kosong? Ilmu apa yang sedang kau gunakan untuk melawanku?"

"Ilmu? Aku tidak mengerti maksud Kak Tara."

Mantara mendesis penuh amarah. Diraupnya gulungan-gulungan kertas yang berserakan di meja. Matanya memerah menatap tajam pada Kinasih. Kedua tangannya rapat menggenggam gulungan-gulungan kertas itu, lalu mulutnya komat-kamit entah sedang mengucapkan mantra apa. Ditiupkannya sekali hembus gulungan kertas kecil-kecil pada genggaman tangannya, dengan sepenuh keyakinan bahwa mantranya dapat mengatur segala yang diinginkannya. Lalu, diletakkannya kembali kertas-kertas itu di meja. Kini bibir kejinya mengulum senyum menyeringai, hampir merasa puas menatap Kinasih.

"Sekarang ambil lagi satu gulungan! Pusatkan pikiranmu pada apa yang aku katakan. Percayalah aku tak akan menyakitimu."

"Baiklah, tapi ini yang terakhir, ya? Aku sudah lelah, Kak."

"Kamu mengusirku?"

"Seharusnya Kak Tara mengerti, suamiku tidak di rumah."

"Kita bahkan berada di teras rumahmu, bukan di dalam ruang tamu yang biasa kau gunakan untuk menerima tamumu."

"Ini sudah malam, Kak. Aku sudah berjanji untuk tidak menerima tamu di dalam rumah saat suami sedang tidak berada di rumah."

"Aku sahabat suamimu."

"Datanglah nanti kalau suamiku sudah pulang."

"Dia tidak akan pulang, Asih. Sudah berapa kali aku katakan padamu, dia tidak akan pulang!"

"Aku akan tetap menunggunya, sampai dia sendiri yang mengatakan hal itu dan bukan Kak Tara."

"Sekarang kita buktikan. Ambil satu lagi gulungan kertas ini. Kau akan segera percaya padaku bahwa suamimu tidak akan pernah pulang."

"Yang mengatur hidupku adalah Dia Sang Pemilik Hidup, Kak, bukan kertas-kertas ini."

"Ambil saja!" Suara Mantara melengking.

Tubuh Kinasih bergetar tertahan, menghela napas sejenak, mengembuskan asap kretek masih mencoba tenang, lalu mengambil satu gulungan kertas. Ditatapnya malam dengan hati telanjang, dihembuskannya alunan Cinta pada batas malam yang tak berbatas, lalu diberikannya satu gulungan kertas kecil yang diambilnya dari meja pada Mantara. Lelaki itu dengan sigap membuka gulungan kertas dari tangan Kinasih dan segera membacanya. Untuk kesekian kalinya, wajah Mantara memerah, matanya meradang ganas, sekali hempas membuang gulungan kertas kecil itu, dan menatap Kinasih dengan mata lebih merah dari darah. Pekat.

Kinasih menggigil menyaksikan amarah yang seolah tak bertepi di mata lelaki itu, namun dicobanya untuk tetap tenang. Dengan sekali hentakan Mantara menggebrak meja hingga semua yang berada di sana berserak. Kinasih menjerit tertahan. Butir keringat mengucur deras di tubuhnya.

"Kamu akan menyesal, Kinasih. Akan aku pastikan itu," desisnya sambal berdiri.

"Aku tidak tahu harus menyesali apa, Kak Tara?"

Mantara tak menjawab dan segera berlalu dari rumah Kinasih. Lama menunggu, Kinasih ingin memastikan bahwa lelaki itu sudah benar-benar pergi meninggalkan rumahnya. Lalu, dikumpulkannya gulungan kertas-kertas itu dan dibukanya satu per satu. Sekejap wajahnya memucat, bibirnya bergetar. Kertas kecil-kecil itu berserakan di lantai, dan seluruhnya berisi tulisan "C E R A I."

Ya, Mantara menuliskan kata cerai pada semua gulungan kertas itu, membacakan mantranya, memaksa Kinasih percaya dan masuk dalam lingkaran keinginannya. Kinasih memejamkan mata, menengadahkan kepala, menatap malam yang kian pekat dengan hatinya. Senyum lembut berhias rasa syukur tak terlukis terukir di sudut bibirnya yang pucat. Dinyalakannya lagi sebatang kretek, dia hembuskan asap putihnya, lalu berjalan ke sudut taman di halaman rumahnya. Kinasih duduk di ayunan milik perjaka kecilnya, perlahan mengayunnya sambil membiarkan hatinya mengirimkan cinta dan doa untuk sang suami.

~

Satu minggu berlalu dan Kinasih belum juga mendapati suaminya pulang. Diajaknya hatinya untuk tidak menyesali bahkan berkeluh kesah, tentang malam ini yang masih dilewatinya sendiri dan tanpa satu pun kabar berita dari suaminya. Dialunkannya lagi doa untuk ketenangan hatinya, agar suaminya melenggang dengan tenang dalam perjalanannya. Dibasuhnya hatinya untuk mengusir segala pikiran buruk.

"Kenapa Papa belum pulang juga, Ma? Mama bilang, Papa kerja dan akan pulang tiap akhir pekan?" tanya Widuri, putri sulungnya.

"Kelihatannya Papa sibuk sekali, Sayang. Mudah-mudahan besok Papa sudah pulang. Besok hari Sabtu, bukan?"

"Benar, Ma? Benar besok Papa pulang?" tanya gadis kecil itu dengan mata berbinar.

Kinasih menjawab pertanyaan itu dengan tersenyum, menarik selimut jingga milik putrinya, mencium lembut kening gadis kecil itu, menghembuskan nyanyian Cinta di hatinya.

"Sekarang tidurlah. Percayakan semuanya pada Allah. Biarkan Allah yang bicara sama Papa kalau Widuri sudah rindu pada Papa."

"Baik, Ma. Widuri akan bicara sama Allah. Nite, Ma."

"Met bobok, Sayang. Mimpi indah bersama perbincanganmu dengan Allah, ya."

Sekali lagi Kinasih mencium kening putrinya dan berlalu dari kamar itu. Diperiksanya kamar perjaka kecilnya sekali lagi sebelum Kinasih berjalan menyusuri seluruh ruangan di rumahnya. Diperiksanya seluruh jendela dan pintu, memastikan tak satu pun yang terlewat dan lupa dikuncinya. Lalu, duduk diam-diam di teras belakang rumahnya.

Beberapa menit kemudian, belum sampai dia nyalakan kreteknya, dari celah pintu samping rumah yang masih terbuka, sekilas sudut matanya menangkap sesosok bayangan berkelebat di pintu pagar rumahnya. Kinasih perlahan berjalan melewati samping rumahnya menuju pintu pagar. Dilihatnya asap putih mengepul dari pojok taman, ayunan milik putranya. Dada Kinasih bergemuruh dan berdetak kencang. Dia berhenti melangkah dan menimbang, apakah dia harus meneruskan langkahnya? Tapi, di rumah besar itu tak ada orang lain yang masih terjaga selain dirinya. Apa yang akan terjadi jika dirinya membiarkan saja seseorang berada di halaman rumahnya? Lalu, dahinya berkerut.

"Bukankah pintu pagar sudah dikunci oleh Pak Mat? Aku sudah mengingatkannya tadi," bisik Kinasih sambil menempelkan tubuhnya pada dinding. "Apa Pak Mat lupa?"

Kinasih segera memutuskan untuk memberanikan diri melanjutkan langkahnya menuju taman. Sebelum mengeluarkan suara, dari sela pintu diamatinya sosok yang sedang mengepulkan asap sigaret sambil duduk di ayunan putranya. Dahinya berkerut sesaat. Bayangan itu seperti dikenalnya, namun wajahnya tak dapat dilihatnya dengan jelas. Kaki gemetar Kinasih hendak melangkah ke taman ketika sosok itu berdiri tiba-tiba, dan menatapnya dengan tajam.

"Asih? Kamukah itu di balik pintu?" Terdengar suara Tiran, suaminya, dari taman.

Hampir meledak dada Kinasih mendengar suara itu. Berlari keluar dari persembunyiannya, Kinasih menghambur ke hadapan suaminya, lalu mencium tangan suaminya dengan penuh hormat. Tiran mencium kening istrinya dengan penuh kasih sayang, lalu memeluknya dan menarik istrinya untuk ikut duduk di sebelahnya.

“Maaf ya, aku tadi masuk diam-diam. Aku piker kamu sudah tidur.”

"Apa kabarmu, Kak? Bagaimana keadaan di perkebunan?"

"Syukurlah tak ada masalah berarti dalam pekerjaan, Asih. Hanya tinggal menangani para buruh yang masih mogok, aku serahkan urusan itu pada Pak Karyo."

"Syukurlah kalau begitu. Anak-anak merindukanmu, Kak."

"Maafkan aku juga soal itu, ya. Seharusnya Minggu lalu aku sudah bisa pulang. Tapi, kabar dari Mantara membuatku belok arah ke kota dia."

"Kabar dari Kak Mantara? Kabar apa, Kak?"

Tiran menghela napas, diam sejenak sambil menatap malam. Tangan kekarnya tiba-tiba bergetar. Kemudian menatap lembut pada istrinya, "Mantara sakit seminggu yang lalu."

"Sakit? Sakit apa? Satu minggu lalu Kak Tara berkunjung ke sini dan terlihat sehat, segar bugar."

"Itu dia. Keluarganya juga tak dapat menerima kondisi yang menimpa Mantara. Katanya kecelakaan saat naik sepeda motor, tapi saat aku ke sana tubuhnya tak ada luka sedikitpun. Hanya terlihat memar biru di dadanya."

"Lalu?"

"Mantara meninggal dua hari setelah aku di rumahnya."

"Astaga…." Kinasih mendekap mulutnya. Matanya hitam kelam menyaksikan malam kian larut. Di kejauhan dilihatnya samar asap putih mengepul, meliuk semakin menjauh. Sementara Tiran hanya diam memandang istrinya. Tak diceritakannya pada istrinya bahwa pemogokan buruh dan kekacauan di perkebunan yang terjadi belakangan adalah ulah Mantara, sahabatnya.

Selamat apa saja bersama kopi dan kretek, Kit Rose

:: :: ::
Kau tak akan tahu seberapa besar cintaku dan untuk siapa cinta itu, karena aku tak akan pernah memuaskan dirimu dengan mengatakannya padamu. Kau juga tak akan tahu seberapa besar Alam mencintaiku, karena kau memang tak tahu apapun tentang diriku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar