Menyapa gelap dan hitam tak
bercahaya
kau kira mata tajamku
tak awasi dari bailk remang
petiklah satu kelopak mawar
hitamku dan hancurkan
tak akan kau lihat perlawanan dari ruang
hampa
namun itu tak lama dan tak akan lama.
Sebentar akan kau rasakan duri
tajam di jarimu
menusuk pada kedalaman yang
kau miliki.
Lalu, puaskan memandang kelopak menggelepar
di sana hanya ada luka dalam kasat matamu itu
hanya ada rintihan dalam tipuan
pendengaranmu
hanya ada kesakitan,
apa yang kau rasa kini?
Tak kan
lama rasamu yang kau kira ada.
Sebentar
puaskan diri pada luka di sini
yang kau kira ada dan
akan membunuh jiwaku
dan rasakan darah mengalir dari
celah hatimu.
Tak kan lama, yang kau kira ada kini menjadi
tiada
tak lama keniscayaan diriku pada tiap kelopak hitamku
tak akan lama dan kau akan
segera tahu seberapa lama
semua tak lama... tak
selamanya….
~~
"Tidak mungkin! Ini
sangat tidak mungkin!" teriak Mantara dengan mata memerah.
Tangannya
mengepal sambil berkali-kali menyakiti meja di depannya. Luapan amarah membuat
lelaki itu tak merasakan bahwa yang sedang dia sakiti adalah tangannya sendiri.
Sementara Kinasih duduk sambal meremas jemari menahan ketakutan. Hatinya tak
henti bernyanyi menggenggam Cinta, matanya berusaha tersenyum menatap lelaki di
depannya. Lelaki dengan mata kian memerah, penuh amarah dan mantra, yang
mengatakan bahwa dirinya adalah sahabat keluarganya.
“Apanya yang nggak mungkin,
Kak?" tanya Kinasih mencoba tenang.
Mantara menatapnya dengan mata
kian menyala, meremas semua gulungan kertas yang terhampar berserakan di meja.
Disulutnya sebatang kretek, ditatapnya lagi Kinasih, kali ini sambil
memicingkan mata. Kinasih masih mencoba tenang. Dihirupnya kopi di meja, lalu
disulutnya juga sebatang kretek mengikuti tamunya, berusaha tetap tenang.
"Kertas-kertas itu, kau
apakan, Kinasih?" geram Mantara.
"Aku apakan? Apa maksud
Kakak? Dari tadi kita duduk berhadapan, Kakak bisa mengawasi yang aku
lakukan."
"Aku menuliskan kata yang
sama pada seluruh gulungan kertas. Kenapa tiap gulungan yang kau ambil berisi
tulisan yang tidak aku tuliskan, dan kosong? Ilmu apa yang sedang kau gunakan
untuk melawanku?"
"Ilmu? Aku tidak mengerti
maksud Kak Tara."
Mantara mendesis penuh amarah.
Diraupnya gulungan-gulungan kertas yang berserakan di meja. Matanya memerah
menatap tajam pada Kinasih. Kedua tangannya rapat menggenggam gulungan-gulungan
kertas itu, lalu mulutnya komat-kamit entah sedang mengucapkan mantra apa.
Ditiupkannya sekali hembus gulungan kertas kecil-kecil pada genggaman
tangannya, dengan sepenuh keyakinan bahwa mantranya dapat mengatur segala yang
diinginkannya. Lalu, diletakkannya kembali kertas-kertas itu di meja. Kini
bibir kejinya mengulum senyum menyeringai, hampir merasa puas menatap Kinasih.
"Sekarang ambil lagi satu
gulungan! Pusatkan pikiranmu pada apa yang aku katakan. Percayalah aku tak akan
menyakitimu."
"Baiklah, tapi ini yang
terakhir, ya? Aku sudah lelah, Kak."
"Kamu mengusirku?"
"Seharusnya Kak Tara
mengerti, suamiku tidak di rumah."
"Kita bahkan berada di
teras rumahmu, bukan di dalam ruang tamu yang biasa kau gunakan untuk menerima
tamumu."
"Ini sudah malam, Kak.
Aku sudah berjanji untuk tidak menerima tamu di dalam rumah saat suami sedang
tidak berada di rumah."
"Aku sahabat
suamimu."
"Datanglah nanti kalau
suamiku sudah pulang."
"Dia tidak akan pulang,
Asih. Sudah berapa kali aku katakan padamu, dia tidak akan pulang!"
"Aku akan tetap
menunggunya, sampai dia sendiri yang mengatakan hal itu dan bukan Kak
Tara."
"Sekarang kita buktikan.
Ambil satu lagi gulungan kertas ini. Kau akan segera percaya padaku bahwa
suamimu tidak akan pernah pulang."
"Yang mengatur hidupku
adalah Dia Sang Pemilik Hidup, Kak, bukan kertas-kertas ini."
"Ambil saja!" Suara
Mantara melengking.
Tubuh Kinasih bergetar tertahan,
menghela napas sejenak, mengembuskan asap kretek masih mencoba tenang, lalu
mengambil satu gulungan kertas. Ditatapnya malam dengan hati telanjang,
dihembuskannya alunan Cinta pada batas malam yang tak berbatas, lalu
diberikannya satu gulungan kertas kecil yang diambilnya dari meja pada Mantara.
Lelaki itu dengan sigap membuka gulungan kertas dari tangan Kinasih dan segera
membacanya. Untuk kesekian kalinya, wajah
Mantara memerah, matanya meradang ganas, sekali hempas membuang gulungan kertas
kecil itu, dan menatap Kinasih dengan mata lebih merah dari darah. Pekat.
Kinasih menggigil menyaksikan
amarah yang seolah tak bertepi di mata lelaki itu, namun dicobanya untuk tetap
tenang. Dengan sekali hentakan Mantara menggebrak meja hingga semua yang berada
di sana berserak. Kinasih menjerit tertahan. Butir keringat mengucur deras di
tubuhnya.
"Kamu akan menyesal,
Kinasih. Akan aku pastikan itu," desisnya sambal berdiri.
"Aku tidak tahu harus
menyesali apa, Kak Tara?"
Mantara tak menjawab dan
segera berlalu dari rumah Kinasih. Lama menunggu, Kinasih ingin memastikan
bahwa lelaki itu sudah benar-benar pergi meninggalkan rumahnya. Lalu,
dikumpulkannya gulungan kertas-kertas itu dan dibukanya satu per satu. Sekejap
wajahnya memucat, bibirnya bergetar. Kertas kecil-kecil itu berserakan di
lantai, dan seluruhnya berisi tulisan "C E R A I."
Ya, Mantara menuliskan kata
cerai pada semua gulungan kertas itu, membacakan mantranya, memaksa Kinasih
percaya dan masuk dalam lingkaran keinginannya. Kinasih memejamkan mata,
menengadahkan kepala, menatap malam yang kian pekat dengan hatinya. Senyum
lembut berhias rasa syukur tak terlukis terukir di sudut bibirnya yang pucat.
Dinyalakannya lagi sebatang kretek, dia hembuskan asap putihnya, lalu berjalan
ke sudut taman di halaman rumahnya. Kinasih duduk di ayunan milik perjaka
kecilnya, perlahan mengayunnya sambil membiarkan hatinya mengirimkan cinta dan
doa untuk sang suami.
~
Satu minggu berlalu dan
Kinasih belum juga mendapati suaminya pulang. Diajaknya hatinya untuk tidak
menyesali bahkan berkeluh kesah, tentang malam ini yang masih dilewatinya
sendiri dan tanpa satu pun kabar berita dari suaminya. Dialunkannya lagi doa
untuk ketenangan hatinya, agar suaminya melenggang dengan tenang dalam
perjalanannya. Dibasuhnya hatinya untuk mengusir segala pikiran buruk.
"Kenapa Papa belum pulang
juga, Ma? Mama bilang, Papa kerja dan akan pulang tiap akhir pekan?" tanya
Widuri, putri sulungnya.
"Kelihatannya Papa sibuk
sekali, Sayang. Mudah-mudahan besok Papa sudah pulang. Besok hari Sabtu,
bukan?"
"Benar, Ma? Benar besok
Papa pulang?" tanya gadis kecil itu dengan mata berbinar.
Kinasih menjawab pertanyaan
itu dengan tersenyum, menarik selimut jingga milik putrinya, mencium lembut
kening gadis kecil itu, menghembuskan nyanyian Cinta di hatinya.
"Sekarang tidurlah.
Percayakan semuanya pada Allah. Biarkan Allah yang bicara sama Papa kalau
Widuri sudah rindu pada Papa."
"Baik, Ma. Widuri akan
bicara sama Allah. Nite, Ma."
"Met bobok, Sayang. Mimpi
indah bersama perbincanganmu dengan Allah, ya."
Sekali lagi Kinasih mencium
kening putrinya dan berlalu dari kamar itu. Diperiksanya kamar perjaka kecilnya
sekali lagi sebelum Kinasih berjalan menyusuri seluruh ruangan di rumahnya.
Diperiksanya seluruh jendela dan pintu, memastikan tak satu pun yang terlewat
dan lupa dikuncinya. Lalu, duduk diam-diam di teras belakang rumahnya.
Beberapa menit kemudian, belum
sampai dia nyalakan kreteknya, dari celah pintu samping rumah yang masih
terbuka, sekilas sudut matanya menangkap sesosok bayangan berkelebat di pintu
pagar rumahnya. Kinasih perlahan berjalan melewati samping rumahnya menuju
pintu pagar. Dilihatnya asap putih mengepul dari pojok taman, ayunan milik
putranya. Dada Kinasih bergemuruh dan berdetak kencang. Dia berhenti melangkah
dan menimbang, apakah dia harus meneruskan langkahnya? Tapi, di rumah besar itu
tak ada orang lain yang masih terjaga selain dirinya. Apa yang akan terjadi
jika dirinya membiarkan saja seseorang berada di halaman rumahnya? Lalu,
dahinya berkerut.
"Bukankah pintu pagar
sudah dikunci oleh Pak Mat? Aku sudah mengingatkannya tadi," bisik Kinasih
sambil menempelkan tubuhnya pada dinding. "Apa Pak Mat lupa?"
Kinasih segera memutuskan
untuk memberanikan diri melanjutkan langkahnya menuju taman. Sebelum
mengeluarkan suara, dari sela pintu diamatinya sosok yang sedang mengepulkan
asap sigaret sambil duduk di ayunan putranya. Dahinya berkerut sesaat. Bayangan
itu seperti dikenalnya, namun wajahnya tak dapat dilihatnya dengan jelas. Kaki
gemetar Kinasih hendak melangkah ke taman ketika sosok itu berdiri tiba-tiba,
dan menatapnya dengan tajam.
"Asih? Kamukah itu di
balik pintu?" Terdengar suara Tiran, suaminya, dari taman.
Hampir meledak dada Kinasih
mendengar suara itu. Berlari keluar dari persembunyiannya, Kinasih menghambur
ke hadapan suaminya, lalu mencium tangan suaminya dengan penuh hormat. Tiran
mencium kening istrinya dengan penuh kasih sayang, lalu memeluknya dan menarik
istrinya untuk ikut duduk di sebelahnya.
“Maaf ya, aku tadi masuk
diam-diam. Aku piker kamu sudah tidur.”
"Apa kabarmu, Kak?
Bagaimana keadaan di perkebunan?"
"Syukurlah tak ada
masalah berarti dalam pekerjaan, Asih. Hanya tinggal menangani para buruh yang
masih mogok, aku serahkan urusan itu pada Pak Karyo."
"Syukurlah kalau begitu.
Anak-anak merindukanmu, Kak."
"Maafkan aku juga soal
itu, ya. Seharusnya Minggu lalu aku sudah bisa pulang. Tapi, kabar dari Mantara
membuatku belok arah ke kota dia."
"Kabar dari Kak Mantara?
Kabar apa, Kak?"
Tiran menghela napas, diam
sejenak sambil menatap malam. Tangan kekarnya tiba-tiba bergetar. Kemudian
menatap lembut pada istrinya, "Mantara sakit seminggu
yang lalu."
"Sakit? Sakit apa? Satu
minggu lalu Kak Tara berkunjung ke sini dan terlihat sehat, segar bugar."
"Itu dia. Keluarganya
juga tak dapat menerima kondisi yang menimpa Mantara. Katanya kecelakaan saat
naik sepeda motor, tapi saat aku ke sana tubuhnya tak ada luka sedikitpun.
Hanya terlihat memar biru di dadanya."
"Lalu?"
"Mantara meninggal dua
hari setelah aku di rumahnya."
"Astaga…." Kinasih
mendekap mulutnya. Matanya hitam kelam menyaksikan malam kian larut. Di
kejauhan dilihatnya samar asap putih mengepul, meliuk semakin menjauh.
Sementara Tiran hanya diam memandang istrinya. Tak diceritakannya pada istrinya
bahwa pemogokan buruh dan kekacauan di perkebunan yang terjadi belakangan
adalah ulah Mantara, sahabatnya.
Selamat apa saja bersama kopi
dan kretek, Kit Rose
:: :: ::
Kau tak akan tahu seberapa
besar cintaku dan untuk siapa cinta itu, karena aku tak akan pernah memuaskan
dirimu dengan mengatakannya padamu. Kau juga tak akan tahu seberapa besar Alam
mencintaiku, karena kau memang tak tahu apapun tentang diriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar